Ada sebuah nukilan menarik dalam buku Jurnalis Berkisah karya Yus Ariyanto. Buku karya Mas Yus, begitu saya biasa menyapanya, berisi sepuluh cerita jurnalis dalam negeri yang ditulis secara mendalam. Nukilan itu datang dari Maria Hartiningsih, jurnalis senior Kompas. Berikut akan sedikit saya sarikan kembali bagian tulisan paling menarik mengenai Maria (atau boleh jadi paling menarik dari seluruh buku ini).
“Terkadang, Maria ‘terlalu serius’ saat di lapangan. Pada 2004, fisiknya terganggu menjelang peringatan tragedi Mei. Saat itu, ia menemui banyak saksi korban untuk menulis ulang peristiwa itu. Ternyata, tanpa sadar, ia menyerap penderitaan mereka,” tulis Yus di bukunya.
Kemudian Maria dibawa ke RS Pertamina, obat dokter tak menyembuhkannya. Sampailah ia berobat secara tradisional melalui akupuntur dan acupressure. Sejak itu pula Maria rajin belajar meditasi. Dengan meditasi, ia belajar memandang dan merasakan, tapi tak lagi menyerap.
Apa yang Maria pelajari menarik. Ia mencoba sekedar memandang dan merasakan, tanpa sekali lagi menyerap. Hal ini mengingatkan saya pada sebuah workshop dalam rangkaian World Press Photo 2009 yang diselenggarakan Pannafoto di Universitas Atmajaya Jakarta. Ada satu materi menarik dalam rangkaian workshop tiga hari tersebut.
Premis utama workshop itu menarik, “Apakah orang yang ikut menyaksikan juga dapat terkena imbas dari sebuah bencana?”. Tentu kata menonton merujuk pada jurnalis dalam konteks workshop tersebut. Jawabnya ternyata kebanyakan iya. Faktanya banyak jurnalis pasca Tsunami Aceh mengalami goncangan pada dirinya, mereka tak sekedar menonton.
Kisah Maria dan jurnalis pasca tsunami bagai sebuah kaca besar bagi saya. Satu tahun lalu saya mulai meninggalkan Jakarta ke sebuah desa di kawasan Lampung. Saya percaya saat seseorang hijrah seperti membeli sebuah busa pembersih piring. Tempat hijrahnya akan menetesi sedikit demi sedikit spon tersebut. Seperti sabun pembersih yang menetesi spon, semakin lama akan berbusa. Busa itu lantas menjadi bagian dari semestanya. Semakin lama bergumul maka busa tersebut akan semakin banyak muncul.
Busa itu juga menghadirkan sebuah jarak besar. Memandang Jakarta dari jarak jauh tentu berbeda dengan mengarungi Jakarta. Dari kacamata desa, Jakarta adalah sebuah prasangka. Tentang harapan akan adanya pekerjaan. Tentang janji akan adanya modernitas. Mereka kemudian hijrah ke kota ini, menjadi pembantu rumah tangga (PRT), pelayan toko atau restoran pun seorang cleaning service pusat perbelanjaan. Di sana saya bertemu orang-orang yang dulu saya sebut “mereka”.
Saya bersyukur pernah bergaul dengan mereka. Sampai entah karena alasan apa tiga hari lalu saya mengutuk keras seseorang di mal besar yang melintasi lantai sedang dipel tanpa permisi. Saya sempat adu mulut dengan orang tersebut. Bahkan ketika si tukang pel tak masalah dengan hal tersebut. Pun selanjutnya saya sebal dengan orang-orang yang tak pernah mengucapkan terimakasih saat seorang security membukakan pintu. Yang tentu sang satpam sendiri tak pernah mempermasalahkan masalah tersebut.
Mungkin “mereka” kini memiliki irisan dengan diri saya, seperti sebuah diagram venn. Saya ingat Mamak, begitu saya menyapa salah satu induk semang saya di kampung pernah bercerita soal Jakarta, “Wah mumet nang Jakarta, uwong e ra seneng ngobrol (Pusing hidup di Jakarta, orangnya tidak suka mengobrol),” tuturnya. Ia pernah bekerja di Jakarta selama sekitar dua tahun menjadi PRT. Karena alasan tak betah ia kemudian kembali pulang kampung. Saya hanya tersenyum kecut mendengar keluhan “Mamak”. Jelas sekali Mamak adalah bagian dari “mereka” khas Jakarta.
Sampailah saya menemukan apa yang dirasakan Maria. Memandang dan merasakan adalah perkara mudah. Tapi menyerap perkara yang lain. Menyerap soal pergumulan. Ia seperti membentengi spon dari sabun pembersih agar tak berbusa, sulit. Seperti Maria dengan korban tragedi Mei, seperti saya dengan Mamak. Mereka yang bergumul berarti telah mengganti “mereka” dengan “kita”.
Saat menulis ini saya berada di sebuah kawasan toko buku besar. Di luar terlihat seorang kasir sedang melayani para pembeli alat tulis. Tangannya begitu cepat memasukkan belanjaan ke kantung plastik. Wajahnya lelah dan bergerak dengan senyuman yang sangat template. Dalam hati saya berpikir dari mana kasir ini berasal dan siapa yang menunggunya di rumah. Kini saya tahu tak mudah berpikir seperti Maria.
*Mr. Grey adalah sebuah lagu dari Andre Harihandoyo. Lagu ini bercerita soal manusia yang berpikir dirinya Alien. Konsep yang mirip dengan apa yang ditulis Linda Christanty ketika menulis cerita soal “Hikayat Kebo”.