Seorang rekan saya saat kuliah pernah mengutarakan humor yang menarik. Menurutnya pekerjaan paling menantang bukan wartawan perang, penulis perjalanan atau tentara yang bertugas di daerah konflik. Baginya yang paling menantang adalah menjadi seorang penjaga rental DVD. Ia tidak sedang bertendensi menjadi penjaga rental cum movie geek yang berbincang intim seputar cult movies pada para pelanggannya. Justru ia menganggap yang menarik dari hal itu adalah karena itu pekerjaan yang teratur. Datang pukul sekian, memberi film pada pelanggan, mengurus hitung-hitungan pendapatan, lantas pulang. Ia mencari keteraturan yang indah.
Rekan saya yang lain, seorang mantan guru di daerah Maluku Tenggara Barat (MTB). Tempat nan eksotis dengan pantai dan warna kulit khas Indonesia Timur. Ia tinggal mengemas cerita pengalamannya laksana lukisan Mooi Indie maka status penulis buku best seller bisa saja melekat pada dirinya. Namun ia memiliki sebuah pilihan yang sunyi. “Aku mau menemani ibu mengurus Gereja di Malang, kasihan ia sendirian,” ujarnya pada saya. Eksotisme cerita kalah oleh sebuah ritual sederhana menemani ibu yang hidup sendirian. Sekali lagi yang dicari sebuah keteraturan.
Saya tak menaruh perhatian pada tokoh sentral di novel Pulang karya terbaru Leila. Dimas Surya, Lintang Utara pun Alam sama sekali tak menarik perhatian saya. Justru tokoh Aji Surya yang membuat emosi saya membuncah. Ia memilih menjadi seorang peneliti laboratorium daripada bermesraan dengan dunia politik. Ia memilih menyingkir. Ia hidup dalam keteraturan khas laboratorium. Padanya keteraturan memiliki seni tersendiri.
Menjadi berbeda berarti menjadi bohemian, mungkin itu kamus utama pemuda saat ini. Coba kulik buku kreatifitas atau buku yang mengumbar kata passion bak jamur di musim hujan. Semua menghindari keteraturan. Mereka yang teratur adalah mereka yang tak bebas. Sangat tidak bohemian. Keteraturan seperti benalu dalam hidup. Menjadi teratur berarti kutukan.
Pun kita terbiasa mengutuk mitos keteraturan, sebut saja Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau pekerja nine to five. Semua seperti sebuah keseragaman yang kita kutuk bagai seragam putih merah yang sudah lusuh saat kita sekolah dulu. Pada keteraturan mitos dibentuk.
Ini cerita tentang bapak dan ibu. Sudah sejak setahun lalu bapak saya sakit. Penglihatannya terganggu, itu membuat aktifitasnya terganggu. Ibu yang menjalankan semua aktifitas ekonomi. Sementara bapak karena faktor penglihatan diminta dokter tak boleh menyetir kini hanya menjalankan pekerjaan rumah. Ada pertukaran peran dari konsensus konservatif peran rumah tangga.
Polanya begini. Pagi hari ibu dan bapak saya akan bangun tepat saat subuh. Bapak mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakan. Ibu memasak untuk kami. Menjelang siang ibu akan bersiap membuka toko kami di Pasar Jatinegara. Bapak mengerjakan pekerjaan pagi hari rutin di rumah. Mencuci, menyapu lantai atau pekerjaan lain yang tak memerlukan aktifitas mengangkat beban karena dapat mengganggu saraf matanya. Lantas siang hari ibu berdagang di toko. Bapak di rumah. Malamnya kami akan mengobrol di depan televisi, membincangkan hal remeh temeh seputar hari itu. Begitu terpola. Kami menjalani keteraturan dan karenanya kami sama sekali bukan keluarga bohemian.
Setelah saya ingat-ingat ini waktu terlama saya tinggal di Jakarta semenjak lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) pada tahun 2006. Dalam kurun waktu 2006-2012 mengutip istilah Leila di novelnya saya seperti burung camar yang lupa pulang. Berusaha menjadi seorang rantau, menjadi manusia bebas, dengan sedikit tendensi dianggap keren. Bohemian. Kini sudah hampir tiga bulan saya di Jakarta menyaksikan ritual keluarga saya. Polanya sama, begitu teratur, dan saya tak tahu apakah saya menikmati hal tersebut.
Satu yang saya tahu, orangtua saya menikmati itu. Mungkin tak hanya ibu dan bapak. Penjaga rental DVD ala teman saya, rekan saya yang sedang menemani ibunya di gereja, pun Aji Surya dalam novel Pulang. Mereka adalah orang-orang yang senang dengan sebuah hidup yang lurus-lurus saja. Tanpa plot menukik atau romantisme khas anak muda. Nyatanya hidup memang seperti garis linear, tanpa puncak dan lembah laksana grafik.
Dan ya orang-orang teratur yang tidak bohemian ini boleh jadi justru manusia bebas yang sesungguhnya. Mereka tak terkungkung dengan sebuah mitos. Mereka tak sibuk membangun panggung mereka. Yang mereka lakukan hanya menjalani sebuah skenario keseharian. Seperti ibu yang memasak, lantas mandi untuk kemudian pergi membuka toko. Malamnya kami mengobrol apa saja. Begitu terus setiap hari. Keteraturan boleh jadi bukan kutukan.
Malam ini ketika ibu menuangkan bawang goreng dalam mie rebus buatannya saya berpikir sejenak. Jangan-jangan kita yang takut pada keteraturan adalah kita yang takut membangun panggung di rumah sendiri. Membangun panggung atas kehidupan keseharian kita. Lantas bertualang dengan berbagai cara, membangun panggung di tempat lain. Merangkainya penuh eksotika. Namun setiap panggung butuh cerita. Sayangnya kita sering menampik bercerita soal keteraturan. Bercerita soal diri kita sendiri.
saya yang konon bakal jadi PNS kelak, telah terbiasa takut pada hantu yang bernama rutinitas, tapi tulisan ini benar-benar, ah. Terima kasih mas telah memperlihatkan sudut lain itu pada saya 🙂
LikeLike
Sungguh mencerahkan…
Salam kenal, mampir perdana 🙂
LikeLike
Selamat menjalani rutinitas mas 🙂
LikeLike
Wah terimakasih sudah sudi mampir mas 😀
LikeLike
semakin yakin buat, em, semacam membangung panggung sendiri tanpa sibuk memikirkan mana yang lebih keren: antara berkutat dg rutinitas atau tidak, setelah baca bagian ini mas, “Mereka tak sibuk membangun panggung mereka”. sepertinya malah jadi tenang yah, dengan, tanpa memikirkan bagaimana kita dilihat orang atau apa yang orang pikirkan ketika melihat kita. 😀
LikeLike