Teman satu ruangan saya saat mengedit video, Dika, tiba-tiba mengangkat gagang telpon dengan mimik sebal. Ia kemudian mengomel dengan nada yang lumayan cepat. “Enak ya ngomelin orang,” ujarnya disertai tawa kecil. Saya hanya tersenyum menanggapi perkataannya.
Siang itu Dika sebagai salah satu penanggung jawab koneksi internet di kantor pusing bukan kepalang. Koneksi internet kantor mengalami gangguan dan semua orang mengadu padanya. Sebentar-sebentar pintu ruangan dibuka disertai pertanyaan dengan tema besar, “Internet kenapa Dik?”. Maka dengan sopan ia akan menjawab macam, “Iya Pak/Bu ini lagi aku benerin”. Sampai pada akhirnya ia menyadari masalah ada di penyedia layanan internet.
Tanpa pikir panjang maka ia mengomel kepada customer service penyedia layanan internet. Meski tak ada perubahan dengan koneksi internet namun ia lumayan puas. Ia berhasil mengeluarkan amarahnya pada orang lain, pada customer service penyedia layanan internet.
Beberapa minggu lalu saya menemui Dika versi lain. Saat itu saya bersama seorang rekan akrab semasa SMA, Niko, sedang melakukan pengambilan gambar untuk sebuah video. Kami butuh bajaj untuk diambil gambarnya. Maka datanglah supir bajaj langganan saya, yang biasa saya sapa dengan Pak Urip. Kami mengambil gambar lewat berbagai arah di bajajnya, begitu lancar dan mengasyikkan.
Sayang, saat sore menjelang keasyikan tersebut menjadi sebuah kesialan. Saat melintas jembatan layang kawasan Kampung Melayu, sebuah motor menyeruduk bajaj kami. Bagian depan motor bebek tersebut baret cukup panjang. Ia marah-marah kepada Pak Urip. “Ayo ikut gw ke rumah, tanggung jawab lo!” ujar sang pengendara motor penuh amarah sambil menunjuk Pak Urip. Karena tak enak kami menemani Pak Urip sampai ke daerah kediaman sang pengendara motor. “Udah Mas Ardi, Mas Niko, tunggu ujung gang aja, biar saya yang ngadepin sendiri, entar Mas Ardi sama Mas Niko malah keseret-seret,” ujarnya bijak. Niko dan saya menyetujui hal itu, maka kami menunggu di ujung gang sambil menjaga bajajnya.
Kawasan sang pengendara motor adalah sebuah daerah padat penduduk. Lebar gang-gang di kawasan tersebut tak lebih dari dua buah motor dijejer, gang senggol dalam istilah yang lebih populer. Anak-anak banyak yang tak mengenakan sandal saat berlarian. Kios-kios warung kopi kecil bertebaran. Di tiap kios tersebut banyak pemuda dan bapak-bapak mengobrol sambil main kartu. Sebuah kawasan yang bagi sutradara orientalis bisa dijadikan scene pembuka film tentang kerasnya Jakarta.
Niko kemudian melontarkan sebuah pernyataan menarik. Menurutnya orang Jakarta sangat keras di jalan. Di jalan semua orang seperti berkompetisi. Ini satu-satunya saluran di mana si kaya dan si miskin sama. “Keras men, lo bisa ngomelin sembarang orang di jalan padahal enggak ada hubungannya sama hidup lo,” ujar Niko. Ia mencontohkan pengendara motor yang ditabrak Pak Urip. “Dia bisa bilang baik-baik kan sebenarnya, tapi dia marah-marah mulu,” tambah Niko.
Calon bankir itu kemudian melanjutkan hipotesisnya dengan hal yang menurut saya menarik. Ia mengibaratkan kemarahan orang-orang kecil adalah puncak gunung es dari masalah keseharian. “Kalo lo bos, lo bisa marahin anak buah lo kan? Anak buah marahin Office Boy-nya juga bisa. Tapi kaya office boy mau marah ke siapa coba?” tambah Niko. Saya mengangguk menanggapi Niko, ia ada benarnya, boleh jadi kemarahan ada stratanya. Yang tinggi berhak memarahi yang di bawah. Sementara yang di bawah butuh momen untuk memarahi orang lain.
Dika dan pengendara motor adalah sketsa kecil itu. Sketsa kecil bahwa setiap orang butuh objek kemarahan. Halusnya setiap orang butuh objek untuk melimpahkan kerasnya hidup keseharian. Pak Urip dan costumer service penyedia layanan internet boleh jadi juga punya objek kemarahannya masing-masing. Relasi yang marah dan dimarahi akan selalu ada.
Mungkin tanpa sadar kita akan selalu merawat relasi tersebut. Boleh jadi saya objek kemarahan si A dan juga bersiap menciptakan objek bagi kemarahan saya sendiri, mungkin si B atau C. Seperti sebuah samsak, kita selalu meyediakan diri kita untuk dipukul, untuk dimarahi. Untungnya kita bukan samsak yang diam saja. Kita akan menjadi orang lain sebagai samsak kita.
Saya ingat ketika Dika selesai menelepon wajahnya sedikit lebih cerah. “Ngomelin orang enak ya men?” kata saya mencoba merepetisi ucapannya tadi. Kami kemudian tertawa bersama. Mungkin kami sedang memukul samsak bernama customer service penyedia layanan internet dengan sangat keras. Lantas kami merayakannya bersama, tentunya dengan gelak tawa. Sayang di tengah tawa berderai tersebut saya teringat kejadian ketika Pak Urip keluar dari gang.
Ia keluar dengan kepala menunduk ke bawah. “Mas Ardi, Mas Niko, kita sholat maghrib dulu aja ya biar tenang,” pintanya saat itu. Saya dan Niko menundukkan kepala tanda setuju. Selesai sholat supir bajaj asal Kuningan itu tak langsung pulang. Ia memanjatkan doa cukup lama. Mungkin Pak Urip tak punya sebuah samsak untuk dipukul. Atau doa adalah samsak dalam konteks yang lain? Saya tak tahu. Seperti halnya saya tak tahu ada berapa manusia di kota ini yang tak punya samsak untuk dipukul.
selalu suka postingmu mas. tentang hal-hal kecil yang sering luput dari perhatian ❤
LikeLike
blogku dikomen blogger angker, aku terharu tenan iki 🙂
LikeLike
apa ini yang disebut proyeksi dalam psikoanalisis Freud?
LikeLike
waduh kulo malah mboten retos mas, ndak begitu dalemin freud saya 🙂
LikeLike