Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Sulit rasanya memulai tulisan ini. Biasanya saya akan menggunakan kalimat pembuka seperti itu ketika saya benar-benar tak tahu harus memulai cerita dari mana. Bisa jadi karena terlalu kompleks, namun saya mencoba merangkainya satu per satu.
Saya meninggalkan Jogja ketika saya mengikuti pelatihan untuk menjadi guru. Seingat saya pertengahan tahun 2011. Diantar oleh kedua teman terbaik saya selama di Jogja, Mayda dan Rocky, saya melambaikan tangan pada kota ini. Kota yang penuh dengan cerita khas mahasiswa. Di kereta saya berucap takkan pernah kembali ke kota ini lagi, entah sampai kapan. Kota ini terlalu melenakan bagi saya.
Waktu berlalu dan saya terus menyimpan rasa itu, Jogja seperti sebuah shelter. Saya merasa ia bukan destinasi saya. Tinggal di shelter jelas bukan pilihan menarik bagi saya, meski setiap peralihan pasti memiliki ceritanya masing-masing. Seorang teman saya yang tinggal di Bandung, meninggalkan kota paling dicintainya itu, ia ke Jakarta dan merasa semua harus selesai, kenangan masa muda harus dikubur dalam-dalam. Saatnya beranjak ke Jakarta, menghadapi apa yang dinamakan dengan katanya “kehidupan normal”.
Belum lama ini saya keluar dari pekerjaan saya. Ada alasan prinsipil yang tak bisa saya sebutkan di sini. Saya memulai kehidupan saya dari nol lagi. Memulai semuanya dari kosong. Dan ya saya tahu hanya Jogja yang bisa menjawab hal tersebut. Maka janji di kereta ketika pulang hanya jadi bualan pemuda twenty something belaka. Saya pulang.
Ada ketakutan ketika pulang. Saya mencoba berdamai lagi dengan kota ini. Kali ini saya tak menghindarinya, saya menemuinya, vis a vis. Janggal rasanya. Tak terasa seperti pulang kampung, lebih pada perasaan, “Ya saya kalah”. Ada rasa lelah untuk terus menghindar, untuk mengatakan bahwa kota ini yang memenuhi seluruh ekspektasi saya.
Tepat ketika menjejakkan kaki di stasiun saya berhenti selama lima belas menit di samping kereta yang membawa saya. Saya mengingat pertanyaan Avianti Armand untuk Eko Prawoto dalam buku Studio Talk: Home. Avianti bertanya, “Kita sering bertemu dengan pensiunan, yang setelah pensiun berusaha membeli hal-hal yang direnggut dari dia pada saat masih muda. Dia membeli Joglo, kemudian dia memilih tinggal di Jogja, lalu dia membeli semua hal yang punya kaitan dengan masa lalunya. Apakah yang anda lakukan sekarang justru mau menangkap memori itu sekarang, bukannya nanti?”
Saya suka pertanyaan Avianti. Jogja adalah memori yang hilang bagi para perantau seperti saya. Ia seperti memori yang baru bisa kita undang ketika kita sudah sukses. Ketika kita menggandeng anak dan mengatakan, “Dulu bapak kuliah di sini, nah di tempat ini bapak …” ada memori yang tertinggal di sana. Kebanyakan dari kita meninggalkannya untuk kemudian membelinya nanti, entah kapan. Jarang ada diantara kita yang mau mengarungi kota ini bukan sebagai sebuah panggilan balik karena kesuksesan.
Maka, untuk menjawab itu Jakarta adalah sebuah harapan dengan tudung saji bernama realitas. Kita bekerja dengan peluh keringat di dalamnya, berharap suatu saat bisa kembali membeli memori itu. Membeli apa yang sudah direnggut oleh ibu kota dan kembali pulang ke memori itu bermula, Jogja. Tak ada yang salah dengan itu semua.
Sebelum seorang teman saya membangunkan saya dari lamunan di stasiun, saya ingat jawaban menarik Eko saat menjawab Avianti. Ia berucap, “Dalam mengukuhkan identitas cerita, kumpulan memori penting. Rumah lebih dari sekadar objek”. Mungkin itu kenapa kita begitu terobsesi membeli klangenan, membeli kenangan terdahulu. Meski dengan peluh di ibukota. Ironisnya kita mengobjektifikasi diri kita untuk membeli memori yang sangat personal.
Saya kemudian memutuskan berjalan ke pintu keluar stasiun. Seorang teman menjemput saya dengan ramah. Sebelumnya dalam pesan pendek, saya meminta dirinya menjemput dengan mobil, karena barang bawaan saya lumayan banyak. Dari dalam mobil saya memandang kota ini lagi. Dalam kacamata yang begitu berjarak, saya tak lagi menjadi bagian dari kota ini. Saya pemandang yang meski mencoba terlibat, seperti dimentahkan begitu saja, hanya memori-memori kecil yang membuat saya dapat terlibat dengan kota ini.
Mungkin justru itu yang membuat Jogja menarik bagi perantau. Seperti Hertzberger yang selalu membuat karya rumah yang setengah jadi. Hal itu justru memberi ruang lebih untuk manusia yang tinggal di dalamnya. Kemungkinan-kemungkinan lain. Jogja memberikan hal tersebut, ia hadir tepat ketika sosok-sosok hidup bernama mahasiswa butuh beragam kemungkinan. Ia kemudian matang di kota ini tapi ia menjadi sosok yang half-finished.
Kebanyakan dari kami kemudian meneguhkannya di Jakarta, menyelesaikannya di kota yang berjarak 528 Km dari Jogja. Tapi ibukota tetap sebuah pelengkap yang terlalu selesai, ia tak membuka kemungkinan ruang lain. Ia seperti seorang kaya yang bisa mendapatkan apa saja dengan tinggal tunjuk. Kecuali satu hal yang tak bisa ditunjuk, memori personalnya sendiri. Kita takut menjadi setengah jadi lagi, menjadi titik awal dari sesuatu yang sebenarnya sudah selesai.
Saya kemudian mengunjungi kampus, tempat di mana banyak memori tertinggal. Bangunannya besar, namun ia rapuh. Rapuh bagi orang-orang yang pernah mengenyam memori di sana, ia tak menampung memori kolektif lagi. Ia hanya sebuah bangunan yang begitu saja terjadi. Ia menyediakan ruang namun tak menyediakan kemungkinan sama sekali. Ironis, mengingat kampus adalah sebuah bangunan yang semestinya menyediakan beragam kemungkinan bahkan kalaupun itu adalah sebuah kecelakaan khas masa muda.
Sampai di rumah saya termenung di rumah pakde saya. Bangunan itu kini sedang dibangun menjadi sebuah hotel empat lantai. Saya termenung menyaksikan kemegahannya. Tapi saya merasa asing, sekali lagi saya bukan bagian darinya. Saya seperti orang yang berziarah dengan papan nisan bertulis, memori personal.
Saya mencoba berdamai dengan semuanya. Mencoba melihat Jogja dengan kacamata terlibat. Mencoba untuk membuka kemungkinan tinggal di kota ini (lagi). Tapi apakah kita bisa tinggal dengan berbekal memori? Jawabnya sulit, karena Jogja tak lagi sebuah half-finished bagi saya. Kini di “kunjungan kedua” saya menyelesaikan kota ini. Saya sudah berdamai dengannya.
Tepat ketika menyadari itu, seorang teman yang saya pinjami buku Studio Talk: Home,berkata pada saya, ada satu bagian menarik dari buku itu yang ia suka. “Apa yang kita bayangkan cenderung romantis, berorientasi pada masa lalu. Sedangkan sebetulnya kualitas “menghuni” yang dibutuhkan bergerak dari konteks kini ke masa depan”. Saya tergelitik membaca itu.
Menengok Jogja seperti menjawab kegelisahan tersebut. Kita tak akan pernah bisa selamanya tinggal dalam memori yang tertinggal, memori yang half-finished. Mengunjungi kota ini sekali lagi telah menyelesaikan bagian yang hilang tersebut.
Ketika meninggalkan Jogja di kunjungan kedua saya tahu memori itu kini telah selesai. Saya tak lagi mengutuknya. Sebagai rumah ia telah membuat saya menyelesaikan diri saya sendiri. Ia menegur saya dengan cara yang ramah, dengan cara yang begitu menggelitik. Dan kini saya tahu, Jogja bukan hanya sebuah shelter. Ia tetaplah sebuah kota yang bisa ditinggali, kapan saja. Tentu dengan memandangnya dengan cara yang lain. Bukan dengan cara memandang penuh kenangan yang romantik. Melainkan memandang  dengan cara yang biasa, sangat biasa, seperti cara kita memandang seorang teman.

8 thoughts on “Kunjungan Kedua

  1. cya says:

    aku mengerti perasaan ini! bedanya aku terlalu lama denial, butuh bertahun-tahun untuk merasa “selesai” dengan Jogja. Tapi lama kelamaan jarak antara aku dan Jogja makin lebar dan akhirnya kunjunganku ke sana menjadi sama asing, dan sama akrab, dengan pergi ke kota-kota lainnya.

    Like

  2. Ardi Wilda says:

    mungkin ada yg memilih memutus jarak dan membiarkan jarak itu ada. saya mungkin memilih yang pertama, sementara Mbak Cya yang kedua, mungkin 🙂

    Like

  3. Oalah we.. kebalikan dong kita. Ngopo koe bali meneh. Arep ngeband :))

    Like

  4. Ardi Wilda says:

    ora bali meneh kok Crit, hanya berdamai dengan Kota Jogja nek istilah macak sinetron e. Awak e dewe gawe band wae yo 🙂

    Like

  5. gandes says:

    “Doakan. Saya akan menulis tentang Jogja tanpa harus pergi ke sana.” Kira-kira seperti ini bunyi tweet Bung Awe pada 2012 silam. Saya kagum. Sebulan yang lalu, saya menulis surat cinta kepada Jogja:

    “Setahun sekali bisa bertemu saja sudah bersyukur,” pikirku waktu itu. Namun, aku terlalu yakin dan congkak. Nyatanya, selama ini kau telah kutemui sebanyak lima kali, atau lebih.

    Saya telah memilih untuk menjaga jarak, namun entah mengapa selalu ada alasan untuk kembali ke sana. Alasan yang tak pernah sengaja dihadirkan, namun sulit diabaikan.

    Atau, Jogja sendiri tak butuh alasan bagi para perantau yang ingin datang kembali?

    Like

  6. Ardi Wilda says:

    Wah senang Mbak Gandes mampir ke blog ini. Iya rencananya tahun ini saya memang tak ke Jogja sama sekali, tapi entah kenapa kemarin terpikir untuk pergi ke sana. Bisa juga, mungkin memang tak pernah perlu alasan untuk datang kembali 🙂

    Like

  7. speechless…. seperti kebanyakan orang, saya mencintai kota ini tapi saya tahu kota ini hanya persinggahan, dan suatu hari nanti saya harus menghadapi realitas.

    sungguh memberi inspirasi

    Like

  8. Ardi Wilda says:

    banyak yg seperti kita, nek ben benan le paling ketok pengaruh relasi jogja lan jakartane yo bangkutaman hehehe..salam kenal mas 🙂

    Like

Leave a comment