Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Kamis lalu, ibu saya sedikit bingung di depan televisi. “Oalah hari ini ngaji tho,” ujarnya sesaat setelah menyaksikan rekan-rekan pengajiannya berjalan di gang depan rumah. Setiap Malam Jumat, daerah di rumah saya memang mengadakan pengajian ibu-ibu. Ibu saya termasuk yang kerap datang meski tidak setiap minggu menampakkan wajahnya di forum tersebut.
“Sekarang pengajian sepi Wil, paling cuma ada 8 orang, Ibu Sodikoh udah enggak di sini soalnya,” bukanya pada saya. Ibu Sodikoh adalah pemimpin pengajian yang berprofesi sebagai guru agama. Dulu saat duduk di bangku sekolah menengah ia adalah guru agama saya. Rumahnya sangat dekat dengan kediaman kami. Kini, ia pindah ke Palembang, mengikuti anaknya yang bekerja di sana. Ibarat organisasi tanpa ketua, forum pengajian ini menjadi sepi. 
Sejak saya kecil Ibu Sodikoh sudah memimpin forum tersebut. Dulu, almarhum suaminya bernama Pak Rahman juga memimpin forum serupa untuk bapak-bapak. Pak Rahman berprofesi sebagai guru ngaji bagi para narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang. Saya ingat dalam sebuah momen ia berkata pada saya yang masih kecil, “Buat apa ngajarin ngaji ke orang yang udah taat, kasihan itu narapidana enggak ada yang ngajarin ngaji,” ujarnya. Dulu saya tidak memahami kalimatnya, kini saya hanya bisa tersenyum saat mengingatnya. Malam itu kami kehilangan dua sosok tersebut, mereka hijrah.
Katanya perpindahan adalah sebuah indokator penting perubahan. Kanjeng Nabi melakukan hijrah, ia berpindah menuju Tanah Harapan baru. Mungkin, hal itu benar adanya. Setiap dari kita pasti akan berpindah, menuju tanah harapannya masing-masing. Kita kemudian baru akan menyadarinya ketika telah berpindah, keberadaan kita boleh jadi justru terlihat ketika kita sudah tak terlihat. Tapi, esoknya saya digelitik oleh satu hal kecil.
Kawasan rumah saya adalah perumahan padat penduduk. Setiap pedagang bebas berlalu lalang di depan rumah. Ketoprak, bakso, sol sepatu sampai pedagang sandal bisa mondar mandir dalam sehari. Pagi itu, saya mengenal suara itu lagi, “Yam Ayam, Ayamnya Bu,” ujar wanita paruh baya itu dengan intonasi naik turun.
Kami memanggil penjual ayam tersebut dengan sebutan “Yuk” dengan pelafalan huruf “K” yang menurun di bagian akhir, pengucapannya seperti sebuah ajakan. Sejak kecil Si Yuk ini sudah berdagang ayam potong. Ia sudah membumbui ayamnya dengan racikan bumbu buatannya. Ayamnya akan menjadi berwarna kuning, dan pelanggan tinggal menggorengnya, ia memudahkan proses memasak. Mungkin karena alasan itu dagangannya lumayan laris.
Saya bertanya pada ibu saya, “Itu Yuk yang dulu, apa beda orang Bu?”. Ibu saya menganggukkan kepala sebagai ganti jawaban bahwa itu adalah Yuk yang dulu. Ia kemudian menambahkan, “Tukang otak-otak sama cakue juga masih sama kok Wil, ketoprak topi menir juga masih yang dulu,” jelasnya. Saya membayar penjelasannya dengan anggukan kecil.
Sepanjang hari itu, saya mencorongkan daun telinga dan memasang mata saya ke luar rumah. Tentu untuk membuktikan apakah para pedagang itu masih sama seperti yang dulu. Nyatanya, apa yang dikatakan ibu benar, semuanya masih sama. Mereka juga masih mengenali saya, ada perasaan aneh ketika kembali menyapa mereka yang kini sudah berlipat umurnya, terhitung saat saya membeli panganannya ketika kecil. Mereka tetap sosok yang sama, tapi pada sosok yang sama dan tetap itu saya justru merasakan perubahan yang begitu besar.
Seno Gumira pernah menulis perihal tukang-tukang di depan gang ini. Ia mengamati bagaimana tukang Buntil menyuarakan dagangannya. Pencipta Sukab ini menulis, “Kreasi tukang buntil pun sama nilainya dengan komposisi kelas dunia: bahwa manusia menyampaikan sesuatu kepada dunia, sehingga dunia ini menjadi cukup bermakna bagi manusia yang hidup di dalamnya”. Pada tulisan itu pula, Seno menulis bahwa mungkin hanya orang yang kena PHK yang bisa benar-benar memperhatikan suara-suara tukang dagang di gang-gang sempit.
Menarik apa yang ditulis Sukab eh Seno. Perihal kecil ini boleh jadi memang jarang dilihat oleh orang. Sehingga mereka terasa seperti tak ada, anonim, mereka yang tak berubah.
Perasaan berubah pada diri sendiri kadang memang ditentukan oleh yang meninggalkan daripada tetap. Ibu misalnya merasa perubahan terjadi ketika Ibu Sodikoh hijrah. Sementara saya, justru menempelkan perubahan pada sosok yang tetap. sosok yang tetap namun sebenarnya berubah.
Sekali lagi saya jadi ingat bagaimana Umar Kayam mengilustrasikan perubahan dan sistem yang ajeg. Ia sering memakai dialog antara Pak Ageng dan Mas Joyoboyo. Nama terakhir adalah pedagang ayam yang rutin dibeli Pak Ageng. Mas Joyoboyo adalah pribadi yang konvensional. Pak Ageng sering berbicara perihal sistem ekonomi Keynes padanya. Biasanya si pedagang ayam ini bisa membalas teori dengan argumen sederhana yang mantap. Alhasil Pak Ageng hanya bisa diam seribu bahasa, ia kembali pada kehidupan kesehariaannya, melepaskan seragam intelektualitasnya.
Saya membayangkan bila Yuk, Pedagang Buntil dan Joyoboyo bertemu dalam sebuah forum. Tiga orang yang rutin melakukan itu-itu saja, tidak hijrah dan tetap dengan pemikiran sederhananya. Kita mungkin akan bingung, mengapa mereka masih bisa bertahan. Sementara, kita pontang-panting, hijrah sana-sini. Namun, saat bertemu mereka, kita menelan ludah, menemui fakta miris, perubahan boleh jadi terjadi hanya di pikiran, saat kita merelasikan hidup kita dengan yang tetap. Sementara yang tetap hanya akan meledek kita dengan panggilan, “Yam Ayam”.  

5 thoughts on “Yam Ayam

  1. temukonco says:

    Fuuuuu… Mas e ngece yaa.. :))

    Like

  2. Ardi Wilda says:

    Duh malah dibilang ngece, hehe..kulo yo merasa diece secara ndak langsung sama Si Yuk tukang ayam e mas 😛

    Like

  3. Budi says:

    Dan mereka (saya duga) bahagia. Ketika kita sibuk pontang-panting mengejar karier, pulang kelelahan sambil menggenggam erat-erat smartphone, dicek lagi-dan-lagi bahkan hingga sekian detik sebelum (ke)tidur(an) dengan pikiran besok-pagi-ngetweet-apa-lagi-ya selain 'selamat pagii! tetap semangaat!' yang sepertinya lebih ditujukan untuk diri sendiri, lalu memulai (dan mengakhiri) lagi hari-hari seperti segerombolan zombie; maka Yuk, Pedagang Buntil, dan Pak Joyoboyo akan tetap bangun pagi-pagi untuk bikin buntil, ayam bumbu kuning, dan penggeng eyem, seperti biasa, sebagaimana mestinya, tanpa bertanya apa-apa. Demikian pula besok-besoknya, seterusnya, dan mereka baik-baik saja.

    Like

  4. Ardi Wilda says:

    Dan apakah album pertama yang dibeli oleh mereka ya Mas? hehehe 🙂

    Like

  5. tulisan yg indah mas 🙂 saya jadi teringat para penjual makanan yang suka melintas di depan rumah saya 🙂 *jadi lapar

    Like

Leave a comment