Sebelum menulis ini, saya baru saja menyelesaikan sebuah buku karya Soleh Solihun. Sang penulis merupakan salah satu jurnalis musik terbaik yang dimiliki negeri ini, sayangnya kini ia tak lagi menulis. Soleh melahirkan karya “otobiografis populer” yang ia beri judul Kastana. Ceritanya tentang Kif Kastana, alter ego Soleh Solihun, dalam menaklukkan kota Jakarta dengan profesinya sebagai penulis.
Mengikuti perjalanan Kif Kastana alias Soleh Solihun di buku ini seperti mencari ujung jalan sebuah proses penulisan. Kif telah malang melintang di dunia penulisan, bermula dari sebuah majalah franchise musik, majalah pria dewasa, hampir pindah ke majalah islami, dan berlabuh di majalah yang terletak di kawasan Ampera, sebuah majalah yang dalam bahasanya adalah mimpi bagi para pecandu musik yang senang menulis. Setelah menjalani mimpi itu, Kif menarik diri, ia memilih profesi lain yang sedikit jauh dari kerja berbasis tulisan.
Ada satu catatan menarik dari buku tersebut, ia memulainya dari hal sederhana. Dari menulis tugas mata kuliah yang dosennya killer, juga menulis blog. Menulis tugas mata kuliah membuatnya paham bagaimana cara menulis yang benar. Menulis blog sempat mengantarkannya ke London menyaksikan Maroon 5 untuk advertorial minuman ringan. Saya tidak akan menarik premis bahwa menulis blog bisa mengantarkanmu ke London dan mencapai puncak kesuksesan, tidak. Saya menarik cerita Kif eh Soleh Solihun jauh ke belakang.
Soleh Solihun dalam laman blog multiplynya pernah menulis sebuah hal yang menurut saya simpel tapi menarik. Ia mengkategorikan penulis blog dalam tiga fase penting.
Fase pertama adalah ketika penulis blog tersebut menulis untuk dirinya sendiri. Di fase ini penulis blog tidak peduli apakah ada orang yang suka atau tidak, yang penting ia menulis dan menulis, perasaan lega biasanya yang dicari di fase ini. Fase kedua adalah fase ketika penulis blog mulai memikirkan apa kata pembaca. Biasanya hal ini disebabkan oleh mulai banyaknya follower blog tersebut. Percayalah, ketika follower blog menyentuh angka taruhlah lebih dari seratus maka ada perasaan ingin memuaskan para pengikut tersebut. Ada perasaan, mana tulisan yang disenangi oleh pengikut maupun yang tidak disenangi. Fase ketiga hadir ketika blog telah memberi profit (biasanya material) ke penulisnya. Misalnya ada pesanan tulisan advertorial dari sebuah produk atau bentuk-bentuk promosi lainnya. Tentu hal ini disebabkan karena penulis blog tersebut sudah memiliki banyak pengikut dan pengaruh besar di kelompoknya. Kif Kastana alias Soleh Solihun sudah melewati tiga fase tersebut.
Dua tahun lalu, beberapa rekan di Komunikasi UGM membuat program #31HariMenulis. Ini merupakan sebuah proyek adopsi dari apa yang pernah dilakukan beberapa rekan lain di blog multiply. Konsepnya sederhana, setiap orang yang berkomitmen ikut akan diminta menulis maraton selama 31 hari. Yang gagal menuntaskan tugas tersebut maka akan dikenakan denda untuk kelalaiannya. Denda tersebut akan diakumulasi dan menjadi hadiah bagi seorang pemenang yang terpilih.
Kini, hajatan itu kembali hadir. Katanya, sudah hampir 50 orang yang mendaftar. Semua ikut bergabung dengan sukarela, tanpa tahu mereka bisa saja kena denda banyak, mereka bisa saja kurang tidur karena harus menulis setiap malam. Yang tergambar dari itu adalah semangat untuk merayakan aktifitas menulis.
Meminjam kategori yang dibuat oleh Soleh Solihun, semua peserta #31HariMenulis sedang kembali ke fase pertama. Mereka sedang mencoba untuk membicarakan kembali apa yang ingin dibicarakan lewat blog masing-masing. Tanpa ada tendensi untuk memuaskan pembaca, tanpa ada tendensi berubah status menjadi seleb blogger yang lebih ribet mengurus gimmick daripada konten tulisan itu sendiri.
Program #31HariMenulis adalah sebuah upaya untuk kembali bertanya mengenai fase awal itu. Bertanya mengapa kita menulis blog, bertanya mengapa kita rela berbagi bersama lewat medium tulisan, dan bertanya apakah kita sanggup untuk menyelesaikan maraton tulisan ini.
Saya kembali mengingat kisah Kif Kastana, ia menulis blog tanpa tendensi apa-apa. Ia menulis blog awalnya sekadar untuk berbagi. Namun siapa sangka kini ia berhasil dalam istilahnya menaklukkan Jakarta! Kisah Kif bisa jadi pesan klise motivator untuk melihat kesuksesan penulis blog.
Nyatanya Kif Kastana tak sukses lewat blog. Ia sukses karena ia senang menulis. ia mencintai proses penulisan, terlihat sekali dari tulisannya yang jujur dan ciamik. Bagi saya Kif tetaplah penulis blog di fase pertama, ia tetap menjadi dirinya sendiri. Itu yang membuatnya begitu spesial.
Dua tahun lalu #31HariMenulis dibuat dengan semangat yang sederhana. Layaknya Kif memulai semuanya. Di tahun ketiga, program ini kembali mengajak kita merayakan hal simpel itu, kembali ke fase pertama. Kembali menulis karena kita menyenangi prosesnya, sesederhana itu.
***
Selamat mengikuti #31HariMenulis tahun ketiga. Saya pamit tidak ikut di tahun ini, karena banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Apresiasi juga untuk para panitia tahun ini. Semoga sukses menjalani #31HariMenulis. Lebih lanjut mengenai siapa saja peserta #31HariMenulis dapat menengok laman berikut ini 🙂