Saya ingat pagi itu, Achi, salah satu teman akrab saya meminta saya mencarikannya taksi. Saat itu sekitar pukul setengah enam pagi, saya dan Achi baru saja menginjakkan kaki di ibukota. Kami berdua selesai menyaksikan konser ulang tahun ke 19 Pure Saturday di Bandung malam sebelumnya. “Gw meeting pagi nih,” ujar Aci singkat pagi itu, saya hanya membalasnya dengan, “Gw juga cuy,” dan kita hanya menelan ludah. “Surem nih nasib,” tambah saya. Detik selanjutnya kami berdua tergelak di tengah kebingungan mencari taksi.
Tiga atau empat tahun lalu menyaksikan konser adalah sebuah ritual. Mengunjunginya seperti sesuatu yang biasa. Konser jadi sesuatu yang sangat taken for granted, ada konser band A saya datang, konser si B saya datang, relasinya mirip dengan rutinitas. Saya menikmati saat-saat itu. Pun Achi juga mengalami hal itu.
Kami lantas hijrah dalam artian geografis dan sosiologis. Saya dan Achi sama-sama pergi ke Jakarta dari Jogja. Secara sosiologis Achi kini lebih banyak mengenyam relasi dengan biro iklan dan orang-orang di korporasi. Pekerjaannya di bagian pemasaran salah satu media bisnis nasional membuat tabiatnya sedikit berubah. “Gw itungannya udah paling enggak rapi ini di kantor,” ujarnya saat kami berdua di travel. “Gw enggak kebayang nyet lo pakai hak tinggi,” balas saya, dan kami kembali tertawa menertawakan diri kami berdua.
Seminggu sebelumnya saya menerima pesan pendek darinya. “We, Pure Saturday maen di Bandung, hajar enggak nih?” tanyanya sedikit memancing. “Hajar!” jawab saya singkat. Seminggu kemudian kami berdua berada di satu mobil travel membicarakan hal-hal yang kami sebut dengan kepenatan khas usia 25.
***
“Mas, namamu disebut sama Mas Ugo lho,” sebuah pesan pendek dari Astrini masuk ke aplikasi whatsapp di telepon selular saya. Astrini adalah adik kelas saya, sementara Ugo sendiri adalah sebutan untuk Ugoran Prasad, vokalis Melancholic Bitch (Melbi). Saya sempat mewawancarainya beberapa tahun lalu untuk situs Jakartabeat. Secara pribadi saya senang dengan pemikiran Mas Ugo dan dalam koridor lain menaruhnya pada tempat yang menyerupai “canon”. Andai pesan dari Astrini datang beberapa tahun silam mungkin akan menghadirkan senyum khas mahasiswa yang merasa tahu segalanya, sayangnya pesan itu datang tahun ini.
Beberapa hari kemudian saya kembali menyaksikan Melancholic Bitch di @america. Saya menyaksikannya dari posisi paling belakang. Saya menikmati malam itu. Saya masih sing along di bagian lagu “Mars Penyembah Berhala” saya masih melompat-lompat kecil saat “Distopia” dimainkan. Tapi saya tak sama lagi seperti beberapa tahun silam saat menyaksikan band ini. Saya memandangnya dalam koridor lain, menyaksikannya bagai sebuah vakansi. Saya datang karena saya ingin mencari hiburan, selesai sampai di sana. Tak ada semangat ala mahasiswa saat menonton konser, misalnya mendokumentasikan, mengulasnya, atau mengkritik. Saya datang untuk hiburan, sebagai jeda diantara pekerjaan.
Selesai konser saya menemui beberapa rekan saya seperti Ocha “Gorgom”, Havis, Adis dan beberapa teman dari FISIPOL UGM yang juga datang. “Ini sih kaya reunian fakultas men,” ujar Ocha yang disambut tawa berderai kami semua. Saya ikut tertawa sambil melihat wajah-wajah lama itu dalam suasana irisan antara lama dan baru. Yang perempuan beberapa mulai bersolek, pun tatkala tak bersolek mulai merayakan individualitasnya, topi khas anak galeri, syal hangat ala reporter lapangan, atau pernik-pernik lain yang menunjukkan kita tidak lagi sama. Yang laki-laki melakukannya dengan koridor yang lain tentunya. Kita hanya menjadi satu bagian dari masa lalu yang sama. Dengan irisan pengalaman yang sama, dengan Melbi sebagai salah satu canon kita.
***
Malam ini saya berpikir, apakah sensasi menonton yang saya rasakan juga mengunjungi perasaan teman-teman saya. Kita hanya menghela nafas sejenak dari padatnya kerja, konser adalah panggilan atas sebuah seruan, “Hai, dulu kita pernah di sini”. Sebuah jawaban atas pertanyaan Pure Saturday, “Hai kawan, masihkah kita ada di jalan yang sama?”.
Ini bukan work hard, play hard yang jadi jargon anak manja yang lebih banyak main daripada duduk di kubikel kantor. Ini bukan eskapisme dari sesuatu yang perlu dilepaskan. Ini sekadar sebuah panggilan. Kami sadar posisi kami, manusia pekerja yang butuh hiburan, dan hiburan itu adalah datang ke gig. Iya gig, satu hal krusial yang dulu boleh jadi kami anggap kutub lain dari korporasi dan kini kami menelan ludah sendiri dibuatnya.
Atau mungkin saya, Achi dan beberapa rekan lainnya laksana ibu-ibu arisan yang tiap akhir pekan berkumpul sekadar untuk menceritakan soal perhiasan atau anaknya sudah bisa jalan, merangkak, atau lidahnya sudah lihai berucap mama dan papa. Bedanya kita sok berideologi sementara ibu-ibu arisan itu lebih jujur berkata mereka butuh hiburan. Mungkin kami hanya mengganti perhiasan dengan tiket konser, dengan kaos merchandise band, atau dengan sensasi menonton band di belakang sambil mengejek mahasiswa yang menonton dengan ejekan paling klise, “been there”.
Saya tak bisa menjawab pertanyaan yang melintas di kepala. Yang saya bisa ingat, pagi itu saya mendapatkan taksi untuk Achi. Saya mengantarnya terlebih dahulu ke kawasan Rawamangun untuk kemudian taksi itu meluncur ke rumah saya di kawasan Timur Jakarta. Di perjalanan itu Achi mengirim pesan pendek ke saya, “Minggu depan ada Tika, hajar enggak nih?”.
Tulisan ini saya dedikasikan untuk Jaki, Andrea, Yogi, Nadia, Ocha Gorgom, Ocha Erfina, Achi, Beryl, yang pernah menjadi kawan menonton konser. Hai, masihkah kita ada di jalan yang sama?
aku berada di sana juga we, sayang ga sempat menyapamu yang kabarnya kuyup karena sepedahan di tengah hujan.
LikeLike
iya aku juga nyari mbak rika tapi gak ketemu, kita belum jodoh seperti joni dan susi ini berarti 🙂
LikeLike
cerita ini persis sama yang aku rasain, We. 😁
LikeLike
ini icha rawkz bukan nih? apa kabar? lama ndak bersua ya 😀
LikeLike