Belum lama ini saya pulang ke rumah setelah beberapa hari menginap di kantor. Saya menemui suasana baru tepat di depan rumah. Bu Markamat, tetangga depan rumah, membongkar rumahnya. Saya memakai kata bongkar bukan renovasi karena apa yang ia lakukan bagi saya dekat dengan proses menata ulang. Pembongkaran yang ia lakukan yakni membagi rumahnya menjadi dua.
Saya tak berkesempatan bertemu dengan Bu Markamat secara langsung maka saya hanya bertanya pada Ibu perihal pembongkaran rumah tetangga kami tersebut. “Iya, omah e (rumahnya) Bu Markamat dibagi dua, satu buat Mas Agus, satu buat Mas Ujang,” jelas Ibu singkat. Mas Ujang dan Mas Agus adalah salah dua nama anak Bu Markamat. Ibu kemudian menjelaskan detail soal pembangunan rumah tersebut.
Satu yang saya tangkap adalah Bu Markamat ingin anak-anaknya berkumpul dalam jarak geografis yang dekat, sehingga ia membagi rumahnya menjadi dua. Tentu solusi ini diambil karena alasan ekonomis. Kawasan rumah saya adalah perumnas yang luas rumahnya jelas tak seberapa. Membagi rumah menjadi dua akan semakin membuat penghuninya laksana ikan pindang. Solusi itu muncul karena harga rumah semakin melambung dan alasan ekonomis lain, saya memahaminya.
Yang menarik adalah bagaimana Bu Markamat menelurkan solusi membagi rumahnya. Ia bisa saja misalnya menjual rumahnya lantas dibelikan dua rumah lain yang lebih murah atau solusi lain yang saya tak terpikir. Keputusan Bu Markamat buat saya karena ia ingin merayakan kolektifitas keluarganya. Di hari tuanya ia ingin semua anaknya punya hak yang sama dan berinteraksi dengan mereka di keseharian. Rumah yang tegak berdiri sendiri kini terbagi dua, demi kolektifitas.
Apa yang terjadi dengan rumah Bu Markamat mengingatkan saya dengan apartemen-apartemen di ibukota. Setiap menuju Gandaria City saya pasti melewati sebuah apartemen tergolong mewah bernama 1 Park Residence, yang terletak sebelum belokan menuju Gandaria City dari arah Taman Puring. Apartemen itu tinggi, enak dilihat, jika malam hari lampu-lampu temaram dari kamar-kamar di apartemen itu terlihat apik. Saya membayangkan bagaimana hidup menjadi penghuni di kamar tersebut. Hidupnya hanya sebatas kotak ruangan, dugaan saya.
Suatu ketika saya juga pernah mendatangi apartemen kawan saya di Kalibata. Ruangannya kecil. Ruang tamu untuk menonton televisi, di sampingnya dapur dan kamar mandi. Kamarnya terletak menjorok ke belakang, dan mentok sampai di sana. Perkiraan saya ia hanya bisa ditempati 2-3 orang saja, lebih dari itu tidak manusiawi bagi saya.
Selain rekan saya di Kalibata tersebut, beberapa rekan mengaku lebih senang mengontrak di apartemen. Alasannya beragam, mulai dari dekat dengan pusat kota, simpel, tak merepotkan karena kecil, dan beragam alasan lainnya. “Apartemen kan cuma buat tidur doang,” ungkap yang lain.
Apartemen adalah sebuah kor “Amin” atas keresahan kelas pekerja di bawah umur 30-an menurut saya. Mereka ingin melepaskan diri dari entitas keluarga, namun secara ekonomi belum mapan. Mengontrak di apartemen kemudian menjadi jawaban, boleh jadi. Tapi buat saya ada yang lebih mendasar dari itu.
Jika Bu Markamat sedang merayakan semangat kolektif bagi saya manusia penyewa apartemen adalah mereka yang merayakan individualitasnya. Saya ingat Mas Roby Muhamad dalam sebuah diskusi pernah menganalogikan bahwa masyarakat kita belum terbiasa merayakan individualitas, ketika kecil dulu kita mengumpat-ngumpat ketika memakai sepatu baru. Ketika teman lain tahu maka mereka akan meminta “kenalan” (baca: menginjak) sepatu baru tersebut. Kita akhirnya takut menjadi individu, kita kemudian selalu (memilih) menjadi sebagian diantara kerumunan.
“Pemakai sepatu-sepatu baru itu” kini adalah kelas menengah pekerja yang menyewa apartemen tempat tinggal mereka. Apartemen adalah jelmaan sepatu baru di usia jelang 30-an. Individualitas dirayakan di sini. Ketika kita hidup sendiri, benar-benar sendiri, bahkan tak bisa mendengar suara pukulan wajan tukang nasi goreng bukan?
Mereka bisa saja masih tinggal dengan orang tua, tapi mereka memilih berpisah. Mereka memilih meninggalkan daripada menjadi satu kerumunan dengan keluarga. Pemisahan ini jelas berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Bu Markamat, ia memisahkan satu rumah untuk menjadi satu kerumunan.
Malam ini saya sengaja melewati apartemen di dekat Gandaria City, lampu-lampu di bagian atas menyala dengan indah. Kuning lampunya terasa cantik mengisi malam hari. Beberapa penghuni yang lain tampak duduk-duduk di sebuah kedai kopi yang terlihat dari jalanan, mereka duduk sendiri-sendiri. Andai Bu Markamat ada di sana apakah ia akan berpikir ulang membagi rumahnya menjadi dua? Mungkin ia akan memikirkannya sambil menyalakan lampu temaram di lantai 15.
ceritanya menarik,,,
LikeLike
tulisan yang bagus,,, jempol
LikeLike