Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Saya sedang duduk di depan sebuah pusat perbelanjaan bilangan Kelapa Gading ketika sekelompok orang keluar dari pintu utama. Tak ada yang spesial dari sekelompok orang tersebut. Usia mereka saya perkirakan pertengahan 30-an. Mereka datang dari beragam etnis, beberapa wajahnya mencerminkan dari Asia bagian selatan, beberapa bermata sipit, juga ada warna sawo matang khas Jawa. Di depan pusat perbelanjaan tersebut mereka mengobrol sebelum berpamitan satu sama lain.
Obrolan mereka seputar hal ringan. Mereka membincangkan soal keluarga, anak dan beberapa kabar terbaru lainnya. Dari bagaimana cara mereka bersenda gurau dan menanyakan kabar terlihat bahwa mereka adalah kawan lama yang malam itu berkumpul kembali, semacam reuni. Tawa mereka begitu lepas, rahang mereka terbuka lebar saat tertawa, seperti tak ada beban.
Saya menduga mereka memang bertemu untuk reuni. Mereka sepertinya reuni sambil makan dan berbelanja. Beberapa logo makanan cepat saji mereka tenteng, mungkin untuk oleh-oleh yang ada di rumah. Juga beberapa kantung zara mereka jinjing di tangan, entah untuk pakaian kerja esoknya atau karena memang kurang afdol jika tak berbelanja.
Semua tawa khas reuni itu berakhir ketika supir-supir mereka menjemput dengan mobil di lobi. Satu sama lain saling berpamitan, bersalaman atau sekadar mengucapkan selamat tinggal. Sedetik kemudian pintu mobil ditutup. Lantas semua senyap, saya kembali dalam lamunan saya.
Malam itu saya berniat mengantar seorang rekan saya ke bandara karena ia ingin meneruskan studi di Negeri Paman Sam. Sayangnya, tanggungan pekerjaan yang belum selesai dan kondisi kesehatan ibu yang kurang baik membuat saya mengurungkan niat tersebut. Saya sendiri saat itu duduk di depan pusat perbelanjaan setelah frustasi tak mendapatkan buah duren yang diinginkan ibu saya, sebagai permintaannya saat ia sakit kemarin.
Saya mengirim pesan permintaan maaf via whatsapp kepada teman yang bersangkutan. Saya, dia dan beberapa karib dekat membentuk grup whatsapp beberapa bulan lalu sekadar untuk berbagi kabar. Malam itu, grup ini ramai dengan ucapan, “Selamat jalan”, “Maaf enggak bisa nganter”, “Sukses ya kuliahnya”, dan beragam ucapan sejenis.
Orang-orang yang ada di grup whatsapp ini tersebar di beberapa lokasi. Kami kadang saling berkabar, misalnya jika saya berkunjung ke Jogja yang merupakan mayoritas domisili teman-teman di grup ini, pun sebaliknya. Informasi yang dihadirkan pun tak pernah berat. Kadang kami saling meledek satu sama lain. Kadang ada yang berkicau soal keluhan pekerjaan, urusan relasi personal dengan pasangan, atau hal-hal remeh temeh lain. Lewat grup ini kami seperti bertemu setiap hari.
Saya membayangkan sepuluh tahun dari sekarang mungkin grup whatsapp ini tak akan lagi aktif. Kami akan lebih sibuk mengurus dapur dan susu anak kami. Sebagai oase di tengah rutinitas itu, mungkin kami akan mengadakan reuni akbar dengan promosi berupa umbul-umbul yang visualnya membuat mahasiswa desain ingin membakarnya. Atau kami akan berjanji bertemu di pusat perbelanjaan dengan haha-hihi khas ibu-ibu pengajian, mungkin.
Ketika mobil-mobil itu pergi dari pusat perbelanjaan boleh jadi masing-masing mereka akan merasa sendirian lagi. Mereka akan termenung di dalam mobil sambil mengetik tombol-tombol telepon pintarnya sekadar mengucapkan terimakasih kepada rekan-rekan yang tadi bertemu.
Sama halnya ketika saya atau teman-teman di grup whatsapp lainnya mengucapkan, “Selamat siang teman-teman”, sambil menatap nanar di depan komputer dengan beban pekerjaan yang tak selesai-selesai. Ucapan yang kita tahu sama sekali kosong, namun kita isi dengan kedekatan personal di masa lalu. Ia menjadi berkonteks karena kekosongannya sendiri.
Kantung-kantung zara yang baru saja dibeli itu boleh jadi tergeletak di bangku mobilnya. Seperti halnya saya atau yang lain menaruh telepon pintar di samping kita sekadar untuk tahu notifikasi di grup whatsapp. Mungkin saya dan teman-teman hanya mensubstitusi kantung-kantung zara itu dengan grup-grup whatsapp di telepon pintar.
Boleh jadi kita sama-sama menikmati kekosongan itu. Sama-sama menikmati bagaimana konteks saat ini dihadirkan oleh masa lalu. Menikmati bagaimana reuni bukan saja soal perjumpaan fisik, tapi saat kita merasa kita dekat dengan kekosongan itu. Bahwa yang lalu adalah sebuah panggilan untuk mengisi kekosongan yang ada saat ini.

Bagi mereka mengisi kekosongan di antara kantung-kantung zara, untuk kemudian esoknya bekerja di sebuah kubikel membosankan dengan kemeja “hasil reuni” yang mereka kenakan. Bagi kita boleh jadi dengan sapaan “Selamat Siang” dalam grup whatsapp di antara rehat makan siang. Di antara kantung-kantung kosong zara dan grup-grup whatsapp itu boleh jadi kita sedang mengintip diri kita sendiri, dengan malu-malu tentunya. 

3 thoughts on “Di Antara Kantung-Kantung Zara

  1. Budi Warsito says:

    Yen miturut penulis ribet favoritku Mark Z. Danielewski, “Youth always tries to fill the void, an old man learns to live with it.” #jleb

    Like

  2. Ardi Wilda says:

    *kemudian mak tratap*

    Like

  3. kiki says:

    Kena banget ini we dengan fenomena whatsapp sekarang haha, tajem banget tulisan lo

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: