Malam itu saya datang ke konser Pandai Besi di Goethe Institut. Saya datang dengan seorang teman. Saya dan teman saya adalah dua pekerja biasa, pekerja di kota urban, kota Jakarta. Kami orang biasa yang mengisi keseharian dengan menatap layar komputer. Kemudian pulang dengan berjibaku di jalanan. Untuk kemudian menemui sebuah rumah sederhana. Kami berjanji menonton konser itu, sebagai sebuah oase keseharian.
Nyatanya benar, konser itu boleh jadi salah satu konser terbaik yang pernah saya hadiri. Pandai Besi memainkan set yang sangat apik malam itu. Saya akan selalu ingat sebuah momen kecil dalam konser tersebut. Konser itu ditutup dengan seluruh penonton berdiri, beberapa orang ikut bersenandung, beberapa yang lain memejamkan matanya. “Menjadi Indonesia” mengisi satu ruangan tersebut dengan cukup syahdu. Momen itu tak sengaja membuat setetes air mata keluar dari pelupuk mata.
Saya melihat sekeliling, orang-orang berusia 20-30an tahun banyak mengisi ruangan itu. Beberapa seperti saya dan rekan saya, masih mengenakan kemeja paska bekerja. Dengan muka letih yang sulit disembunyikan. Kami kemudian berdiri untuk bernyanyi sambil bertanya “Bagaimana Menjadi Indonesia?”
Saya dan rekan saya pulang dengan banyak tanda tanya. Tanda tanya soal diri kita sendiri. Kami boleh jadi adalah bagian dari sebuah generasi yang terus bertanya, “Bagaimana Menjadi Indonesia?”. Orang-orang biasa yang merasa selalu diacuhkan oleh mereka yang memegang tampuk negeri. Oleh mereka yang terlalu luar biasa. Tapi kami tahu kami tak bisa mengelak darinya.
Mungkin kami adalah bagian kecil dari kerumunan besar yang bertanya perihal ini. Yang hanya bisa terenyuh tatkala Indonesia Raya berkumandang saat Timnas hendak bertanding, yang menyesaki gedung-gedung kesenian sambil berharap ada perubahan, yang terlalu biasa untuk sekadar bisa mengatakan negeri ini milik kita semua.
Orang biasa itu hadir sekitar dua tahun lalu. Saya beberapa kali berinteraksi dengannya setelah itu. Ia sama seperti kita. Seorang ayah, seorang warga negara biasa. Ia banyak bercerita soal teman-temannya di masa muda, soal teman kuliahnya yang setelah medianya ditutup karena kekuatan rezim lantas mengais rezeki dengan berjualan lele. Berjualan pecel lele dengan nama “Pecel Lele Harmoko”. Lawakan dan cerita-cerita yang ia hadirkan dekat dengan apa yang terjadi pada orang biasa, karena ia memang bagian dari itu.
Satu titik kemudian orang biasa itu bertanya soal ia diundang untuk ikut menjawab, “Bagaimana Menjadi Indonesia?”. Ia diundang mengikuti sebuah konvensi. Saat itu ia tak meminta dukungan, ia meminta masukan perihal itu. Orang biasa itu bisa terjebak mengklaim dirinya luar biasa. Tapi ia kemudian mengatakan, ia tak bisa menjawab pertanyaan besar “Bagaimana Menjadi Indonesia” itu sendirian. Ia butuh semua orang untuk terlibat. Untuk merasa bahwa kita adalah bagian dari Indonesia. Bahwa Indonesia adalah milik kita semua. Kita diajak memiliki masalah negeri ini dan diajak untuk terlibat turun tangan rame-rame. Ia bukan mesiah yang mengatakan bisa membereskan semuanya. Ia ternyata tetap orang biasa.
Saya kemudian mengingat malam konser tersebut. Malam ketika saya bertanya apakah kita benar-benar bagian dari kerumunan besar negeri ini? Apakah masih ada tempat untuk orang biasa di negeri ini?
Sebelumnya saya memilih untuk berlari pada gedung kesenian atau buku-buku untuk bertanya soal itu. Karena memang tak ada yang patut dipercaya untuk menjawabnya.
Hari ini saya tak lari, hari ini saya mencoba berharap. Berharap masih ada tempat bagi orang biasa di negeri ini. Saya tak menaruh harapan itu pada seorang mesiah, pun tidak pada seorang luar biasa. Saya menaruhnya pada orang biasa, pada kita. Mungkin ini saatnya bangun dari tidur berkepanjangan.
Saya memilih untuk bangun dan berharap. Saya memilih untuk berjalan bersama-sama dengan orang biasa. Karena seperti pada malam konser itu, saya percaya masing-masing kita berhak menjawab, “Bagaimana Menjadi Indonesia?”
***
Sekali ini saya memilih untuk berani memilih. Saya memilih untuk bergandengan tangan dengan orang-orang biasa di sini. Kamu boleh setuju pun tidak, tapi kita bisa berdialog soal ini. Karena sudah bukan saatnya lagi bicara soal si A, B, C atau D. Ini saatnya kita bicara tentang kita semua. Tentang dialog diantaranya.
-tulisan ini juga bisa dibaca di blog relawan turuntangan di sini.
-tulisan ini juga bisa dibaca di blog relawan turuntangan di sini.