Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Belum lama ini saya belajar medium aktivisme yang cukup menarik. Mediumnya sederhana, yakni surat elektronik (surel) atau kita kenal dengan email. Aktivisme dengan email ini, sebenarnya juga berlaku pada bidang pemasaran, dikenal dengan Email Direct Marketing (EDM). EDM menarik bukan karena produknya itu sendiri melainkan perspektif yang digunakan saat kita menggunakannya.

Sederhananya EDM adalah sebuah panggilan untuk melakukan sebuah aksi melalui email. Aksi yang diminta dilakukan melalui email ini disebut dengan Call to Action (CTA). Setiap CTA berbeda-beda, misalnya menandatangani sebuah petisi online, membagi sebuah link di media sosial atau datang ke sebuah kegiatan. Sampai di sini, produk itu menjadi begitu wajar.

Pepatah lama mengatakan bahwa “tak kenal maka tak sayang”, inilah yang kemudian menjadi masalah. Email atau medium apapun pada dasarnya adalah sebuah jembatan karena adanya benteng diantaranya. Benteng itu berupa jarak geografis, perbedaan demografis dan banyak hal lainnya.

Untuk menjembatani benteng tersebut maka yang digunakan adalah bagaimana memformulasi email tersebut sepersonal mungkin. Email itu harus “berdiri tegap” di kotak masuk sang penerima. Dengan perkembangan yang begitu cepat maka kotak masuk setiap orang saat ini terlalu banyak jumlahnya. Menjadikan sebuah email “berdiri tegak” menjadi pekerjaan rumah yang berat.

Pendekatan yang digunakan tentu memainkan psikologi si penerima. Bagaimana email ini dapat terasa begitu penting untuknya atau setidaknya muncul persepsi “ini apa ya?”. Satu formula melakukan itu adalah dengan membuat sebuah personalisasi pesan. Setiap detail harus personal, harus membuat seseorang tergerak. Semua elemen pendukung harus dipikirkan dengan cermat. Email itu kemudian seperti mengajak sang penerima bersalaman dengan sang pengirim.

Membuat sebuah pesan dengan kuantitas banyak menjadi personal adalah sebuah ironi. Ia seperti mengharamkan template basi di mana individu dianggap sebuah kerumunan. Benteng itu dirubuhkan dengan sebuah personalisasi. Tak salah, tapi ini seperti sebuah industri personalisasi.

Pada mesin-mesin pengirim pesan kita kemudian bicara soal personalisasi. Sebuah pesan yang kemudian diterima oleh sang penerima melalui telepon pintarnya entah di sudut kafe yang mana, yang sedang mencoba sekuat tenaga menjadi individu mandiri. Pada mereka boleh jadi pesan ini membuat bulu kuduk merinding, benteng itu runtuh, kita bicara personal lewat tombol qwerty.
 
***
Setiap siang, saya dan beberapa teman di kantor biasanya memesan makan pada seorang pelayan yang ada. Pelayan ini biasa kami panggil dengan sebutan “Teteh”. Paska memesan makanan padanya, ia akan segera membelikan makanan tersebut di dekat kantor. Sekitar 20-30 menit kemudian ia akan kembali lagi dengan membawakan makanan.

Ia biasanya menaruh makanan sesuai dengan pesanan di meja panjang di kantor. Saya dan teman-teman kemudian mendatangi meja tersebut untuk makan bersama. Sambil siap-siap menyantap hidangan biasanya Teteh akan menata sendok, garpu, piring dan peralatan makan lainnya untuk memudahkan saat digunakan. Setelah semua beres dengan ucapan template saya akan berucap, “Makasih Teh”.

Setelah saya ingat-ingat jarang sekali saya mengucapkan terimakasih dengan menatap dirinya. Kata itu muncul karena sudah template. Sebuah percakapan yang timbul karena kebiasaan, siapa melakukan apa maka kontra prestasinya akan dihargai dengan sesuatu, dalam hal ini ucapan terimakasih. Ia keluar begitu saja sebagai sebuah template.

Mungkin apa yang saya lakukan pada Teteh tak beda jauhnya dengan saat pelayan restoran cepat saji memberikan nampannya pada saya dan berucap, “Terimakasih”, disertai dengan rentetan penawaran lainnya. Biasanya saya hanya akan membalas dengan senyum kecil tanda menolak. Pelayan-pelayan restoran cepat saji tersebut sedang mengeluarkan template sikapnya. Ia yang menolak menjadi mesin personal, tapi diam dalam putaran mesin.
***

Mungkin kita adalah sebuah ironi email direct marketing (EDM). Kita yang mencoba mempersonalisasi sesuatu dengan kesadaran bahwa itu sama sekali tak personal. Benteng-benteng itu mungkin memang tidak akan pernah runtuh. Jembatan-jembatan personal itu juga boleh jadi hanya kultus kita pada sebuah personifikasi “tak kenal maka tak sayang”.

Pada pertemuan yang benar-benar tatap muka kita kemudian kikuk di dalamnya. “Terimakasih”, “Ada yang bisa saya bantu?”, dan tipikal personalisasi lainnya hanya menjadi sebuah benteng baru. Sebuah industri personalisasi yang kita sadar memuakkan, tapi kita alami dalam keseharian. Atau kita memang selalu terlena bahwa ada di kerumunan adalah sebuah kesalahan? Mungkin saya perlu memesan makan pada Teteh lagi.

2 thoughts on “Ada Baiknya Pesan Makan Lagi

  1. Marli Haza says:

    Tapi kenyataannya jurus rentetan penawaran tersebut di setiap gerai bila ditotal secara keseluruhan meningkatkan penjualan. Kadang saya terbujuk juga soalnya.

    Cuma faktornya peningkatan yang signifikan ya itu: gerainya harus ratusan. Yang ditawarkan juga jutaan orang.

    Like

  2. Ardi Wilda says:

    wah begitu ya mas? semoga komunikasi berjuta2 gerai tetap personal dan dari hati mas 😀

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: