Jumat lalu, saya menyempatkan menonton konser Pure Saturday. Hari itu Iyo dan kawan-kawan tampil dalam sebuah acara bertema pekan kreatif di sebuah pusat perbelanjaan besar di Jakarta. Secara tak sengaja saya bertemu Beryl, teman kuliah yang dulu sama-sama aktif di pers mahasiswa. Saat saya melompat di salah satu lagu saya menabrak Beryl dan kami kemudian saling menyapa. “Lama aku enggak nonton konser We,” buka Beryl yang saat itu juga melompat dengan semangat empat lima. Saya langsung menepuk pundaknya keras-keras saat itu.
Meski tak secantik permainan saat ulang tahun mereka yang ke 19, malam itu Pure Saturday bermain cukup memuaskan. Saya dan Beryl senang bukan kepalang karena kehausan menonton konser dapat terpuaskan. Di luar permainannya yang cantik, ada satu hal yang terus saya kenang.
Saat memainkan, “Spoken” Iyo mengeluarkan sebuah tab dari tas kecil yang ia bawa ke panggung. Sambil mengitari panggung ia mengarahkan tab-nya ke arah penonton. Didominasi oleh Pure People, tentu saja para penonton langsung menyambutnya dengan sing along. Beberapa menyambutnya dengan melompat kecil bersamaan dengan rekan di sekelilingnya. Di belakang tab tersebut Iyo tertawa kecil, ia seperti menyaksikan euforia penonton malam itu.
Iyo kemudian menaruh kembali tab-nya, ia mulai meneruskan “Spoken”. Sedetik kemudian saya menengok ke sekitar. Melihat penonton-penonton malam itu. Ada suasana yang terasa begitu lepas malam itu. Mereka melepas penat di sana.
Kemeja flanel yang dibuka kancingnya, menampilkan kaos T polos khas mahasiswa, beberapa yang lain mengeluarkan kemeja kantor, menaruhnya di pundak sehingga menyisakan baju belel yang disembunyikan beberapa jam lalu. Sepatu-sepatu hitam mengkilat berdampingan dengan sepatu kanvas semi formal. Pada raut wajah para penonton ada sebuah kepenatan yang dilepaskan, flanel-flanel itu seperti bicara mereka sedang bersembunyi.
Saya tersenyum kecil. Iyo mungkin tak sadar tab-nya adalah sebuah mercusuar pelepasan. Ketika para pemakai kemeja flanel ini lama tak disorot. Mereka yang berdiam, memilih untuk sunyi dalam kubik-kubik di kantor, mereka yang mungkin indieinsaf. Mereka atau mungkin kita yang beberapa tahun lalu ada di panggung tersebut, lalu memilih untuk menepi dan sadar akan konsekuensinya. Malam itu seperti sebuah perayaan akan pilihan-pilihan tersebut.
Saat kamera dari tab Iyo menyorot penonton sebenarnya Iyo sedang memberi lorong waktu. Lorong waktu akan sebuah kesempatan kembali ditonton. Kesempatan yang sulit untuk didapatkan para penonton tersebut dalam ikatan waktu kerja mereka.
Chairil pernah berucap, “Nasib adalah kesunyian masing-masing”. Para pekerja yang melepas penat menonton konser tersebut seperti sedang mengadu kesunyiannya. Mereka bukan mencari sebuah kemeriahan, mereka mencari kesunyian untuk menemukan dirinya terdahulu. Sebuah masa dimana entitas dirinya menjadi pusat dunia.
Sepulang konser saya banyak berbincang dengan Beryl. Kami tak langsung pulang. “Laper nih We, makan aja dulu lah,” ajak Beryl malam itu. Kami pun menepi di sebuah warung nasi uduk kecil kawasan Kampung Melayu. Beryl banyak bercerita malam itu.
Ia bercerita hidupnya banyak berubah. Pekerjaannya di bidang desain membuatnya harus pulang sangat larut. “Kadang Minggu juga masih ngedesain We,” keluhnya. Tak seperti saat mahasiswa dulu, ia semakin realistis hari ini. Ia berharap banyak dari pekerjaannya di bidang desain. “Ini bidang yang aku kuasain We, tapi sayang sama bidangnya aja ternyata enggak cukup,” ungkapnya mengenai pekerjaannya di bidang desain. Saya mengangguk kecil.
Menginjak pukul dua dini hari kami berpamitan. Senang bertemu dengan Beryl, teman yang sering bersama-sama menonton konser dahulu. Dari mulai perjumpaan pertama dulu saat The Sigit main di Jogja beberapa tahun lalu sampai Pure Saturday malam itu.
Saya melewati kawasan Kampung Melayu dini hari itu. Mungkin saya, Beryl dan ratusan penonton konser malam itu tak sedang menonton, kami sedang konser dengan kesunyian kami sendiri-sendiri. Kami rindu menjadi entitas yang ditonton. Sebuah kerinduan khas generasi baby boomers. Malam itu Pure Saturday mengingatkan itu lagi. Earphone di telinga saya secara tak sengaja menyenandungkan potongan lirik “Buka”, dengan volume sedikit minim earphone itu seperti memanggil, “Hai kawan masihkah kita ada di jalan yang sama?”. Malam itu saya tak bisa menjawabnya.
“Mereka bukan mencari sebuah kemeriahan, mereka mencari kesunyian untuk menemukan dirinya terdahulu.”
Malam itu saya hadir di tempat yang sama, dan merasakan hal yang tak jauh berbeda juga. 😀
LikeLike
wah di bagian mana mas? salam pure people kalo gitu 😀
LikeLike