Beberapa minggu lalu saat berdiskusi dengan seorang rekan di bidang pemasaran, ada satu bagian penjelasannya yang menarik perhatian saya. Ia menjelaskan pemetaan manusia Indonesia berdasarkan riset Roy Morgan. Bagi saya pribadi yang awam di bidang tersebut, jelas penelitian tersebut hal yang baru. Saya kira yang membuat riset karakter “manusia Indonesia” hanya Mochtar Lubis seorang, ternyata muncul nama Roy Morgan. Maka saya mendengarkan penjelasannya secara seksama.
Riset Morgan membagi manusia Indonesia dalam kurva X dan Y, maaf sedikit matematika. Masing-masing sumbu tersebut merujuk pada tingkat kesejahteraan dan individualitas (cum komunal tentunya). Dari miskin sampai kaya, dari komunal sampai individual, mudahnya. Ia kemudian menjelaskan satu bagian bernama “Fairer Deal”, sebuah area yang merujuk pada karakter manusia yang komunal dan hanya bisa memenuhi kebutuhan dasarnya.
Karena saya tidak mengerti maka saya hanya mendengarkan terus penjelasannya. “Ini nih gampangannya kayak orang-orang naik motor yang kalo ditabrak mobil terus pada ngeroyok mobilnya rame-rame We,” ujarnya sambil tertawa. Saya hanya bisa menganggukkan kepala mendengarnya. Teman saya kemudian menjelaskan lagi perihal karakter ini, namun kali ini saya tak konsentrasi mendengarnya. Beberapa menit kemudian saya pamit pada teman saya, keluar dari diskusi tersebut. Lama saya mencerna apa yang dikatakan teman saya. Sampai ada satu kejadian sederhana yang membuat saya bisa tersenyum.
Beberapa hari yang lalu saya makan mie instan di warung kecil dekat kantor saya. Warung itu tipikal warung rokok kecil yang menjual mie instan sebagai menu sekunder dari dagangan-dagangan utamanya seperti rokok, makanan kecil dan minuman ringan. Karena lumayan lelah dengan pekerjaan saya memakan mie instan tersebut di warung itu, biasanya saya meminta si mbak warung untuk mengantarkannya ke kantor saya.
Saat makan itu, rekan si empunya warung datang menggunakan motor bebek berwarna hitam. “Wes teko iki, gowo oleh-oleh go bojo opo go simpenan (Udah dateng ini, bawa oleh-oleh buat istri atau simpenan nih)?” tanya mbak warung sedikit meledek rekannya. Si teman mbak warung memang membawa sebuah kantung plastik dengan logo merk tertentu. Mendengar ledekan mbak warung ia hanya menjawab sederhana, “Kangge bosku iki (buat bos saya ini),” ujarnya singkat.
Ternyata si pengendara sepeda motor ini bekerja di salah satu rumah di dekat kantor saya. Sebuah rumah besar yang tergolong mewah. Beberapa menit kemudian ia masuk ke rumah tersebut menemui bosnya. Sambil menikmati mie instan rebus siang itu saya menunggu si pengendara motor bebek itu keluar. Kira-kira sepuluh menit kemudian ia keluar dengan mimik bahagia. Ia merebut ruang kosong kursi panjang di depan saya dan bercerita panjang lebar tentang pekerjaan dan bosnya, ia bahagia dengan apa yang dikerjakan. Saya tersenyum melihat itu.
Pulang dari makan mie instan saya kembali ke kantor. Sampai di kantor saya menumpang buang air kecil di kamar mandi office boy kantor. Ia tersenyum melihat saya menggunakan kamar mandinya. Saya hanya membalas senyumannya dengan berucap, “Numpang Mang,” sambil tertawa kecil.
Saya kemudian mengingat “Fairer Deal” a la teman saya, tentang “mereka yang mengamuk secara komunal jika motornya ditabrak mobil”. Pernyataan itu seperti sebuah pernyataan yang timbul dalam akuarium hampa udara. Sebuah akuarium yang terisolir dari irisan sosial. Kasarnya seperti memandang dari kacamata kuda.
Teman saya mungkin membuat penelitian Morgan sebagai sebuah penelitian pasar, tentang karakter orang-orang. Manusia sebagai sebuah produk dengan kategori “terbeli” dan “tak terbeli”. Tapi ia menjadi begitu mati dari relasi-relasi yang sifatnya sebab akibat, begitu bias.
“Pengendara motor yang mengamuk pada pengendara mobil” tidak akan mengamuk jika pengendara mobil tak hidup dalam akuarium hampa udaranya. Pun sebaliknya, jika pengendara motor tersebut tak hidup dalam akuariumnya sendiri. Yang terjadi kemudian kita seperti melihat kelas lain sebagai sebuah ikan yang ada di luar.
Pengendara motor bebek teman mbak warung itu tak sedang melihat sebuah ikan di dalam akuarium, ia sedang berenang bersama di dalamnya, tanpa jarak. Kamar mandi office boy bisa jadi adalah upaya saya bersama-sama berenang di akuarium yang sama.
Tak ada yang salah dengan Morgan, mungkin hanya kita yang memakai kacamata kuda. Mengubah manusia menjadi statistik yang tak beririsan satu sama lain. Kita yang senang melihat yang lain seperti sedang mengintip di lubang kunci. Di lubang kunci di luar sana kita melihat pengendara motor, kita melihat pengendara mobil. Keduanya saling mengintip dan tak pernah membuka kunci itu. Lalu Morgan menangkapnya, tugas kita boleh jadi bukan ikut melihat lubang kunci tersebut tapi mencoba membuka pintu diantaranya.
Pertanyaannya sudahkah kita sekadar mengetuk pintu diantaranya? Atau kita memilih tertawa sambil berucap, “pengendara motor yang mengerubuti pengendara mobil”? Mungkin semangkuk mie instan dapat membantu kita menjawabnya.
Sumber dari permasalahan bukan perbedaan, tapi ketiadaan komunikasi di antaranya. Selalu suka tulisanmu.
Tabik.
LikeLike
berarti biar gak timbul masalah harus sering koling kolingan ini mas 🙂
LikeLike