Tepat ketika saya mengucek pinggiran mata untuk membersihkan kotoran di sisi-sisi mata setelah tertidur semalam, atasan saya menelepon untuk memberi tugas penulisan hari ini. Tugas penulisan hari ini sedikit berbeda, ia meminta menulis sebuah laporan kuantitatif dengan narasi yang menarik. Biasanya saya tidak pernah menulis sebuah laporan yang sifatnya kuantitatif, tapi saya jelas mengiyakannya. Seperti makan dengan sendok dan garpu, logika menulis sama saja, hanya teknik memiringkan sendok dan garpunya saja yang berbeda.
Dua hari lalu saya terjaga semalaman untuk menuntaskan sebuah tulisan. Malam itu saya berpikir sudah saatnya mulai mendisiplinkan diri untuk menulis. Saya memang “hanya” menulis untuk blog saat itu, tapi entah kenapa saya begitu ingin disiplin dan menyelesaikannya. Mungkin karena sepanjang tahun 2014 belum satu pun tulisan yang saya hasilkan di blog. Atau boleh jadi karena saya selesai membaca sebuah buku tentang teknik penulisan. Saya memang punya tradisi membaca satu buku tentang teknik penulisan selesai membaca tiga buku cerita.
Nyatanya proses menulis dua hari sebelum ini mandek. Tadinya saya mau merelasikan bagaimana perjalanan tak menghasilkan apa-apa jika kita melihat dengan perspektif orientalis. Jelas hal ini karena saya selesai melakukan perjalanan. Tapi ia mandek di tengah dan gagal. Ia menjadi anti klimaks atas kedisiplinan.
Tak menyerah, saya kemudian membeli beberapa buku untuk memancing saya bisa menulis. Ada tiga buku yang saya beli, Creative Writing serta Murjangkung, keduanya karya AS. Laksana dan karya klasik Steven D. Levitt dan Stephen J. Dubner yakni Freakonomics. Dua pertama sudah saya baca, namun ia sama sekali tak memicu otak kreatifitas saya. Mungkin AS. Laksana hanya akan tertawa di depan saya kalau membaca ini.
Bukan berarti dua buku itu hanya menghasilkan penghasilan bagi Gramedia dan Yang Dipertuan Jacob Oetama, bukan. Murjangkung menarik bagi saya bukan karena isinya, iya isinya jelas menarik, tapi saya lebih senang dengan pengantar bukunya. Murjangkung adalah kumpulan cerpen kedua sang pengarang setelah kumpulan cerpen pertamanya, “Bidadari Yang Mengembara”, terpilih sebagai buku sastra terbaik tahun 2004 versi Majalah Tempo. Dalam pengantar tersebut secara jujur AS. Laksana mengatakan semacam ada beban karyanya tak lebih baik dari karya sebelumnya, sebuah ketakutan yang jujur dan justru sangat menyentuh menurut saya.
Sementara itu di salah satu bagian buku “Creative Writing”-nya AS Laksana menceritakan mengenai Budi Darma dengan mencuplik komentar Satyagraha Hoerip di Majalah Sastra Horison tahun 1986. “Budi Darma melahirkan kalimat dan kata-kata dengan bebas, dengan cekatan, dan seolah-olah tidak dipikir lagi: ngocor seperti air dari pancuran sawah.” Istilah ngocor seperti pancuran sawah itu menarik, ia seperti tidak ada habisnya, hadir begitu saja.
Dua hari lalu boro-boro pancuran sawah, mungkin air pipis anak kecil pun tak mengalir dari otak saya. Tapi, dari proses selama beberapa hari ini ada hal yang bisa saya pelajari.
Beberapa minggu ini saya hanya duduk di kantor, menulis rilis dan hal-hal terkait dengannya. Ada sebuah pengalaman yang sangat flat yang saya dapatkan. Sementara penulisan mungkin adalah soal penjelajahan. Saya bukan tipe yang bisa membuat visual diary seperti para fotografer atau desainer dan mengarsipkannya dengan baik. Saya hanya senang melipat bagian buku yang ada bagian cerita unik atau menuliskan hal-hal menarik di aplikasi memo dalam telepon selular saya.
Pada deretan kursi di kantor saya sering bertanya apa yang bisa saya tuliskan di blog. Jawabnya kadang nihil, kadang ada kejadian menarik yang kemudian bisa saya tuliskan, tapi ia menjadi begitu minim penjelajahan. Seperti anak sekolah yang mengerjakan pekerjaan rumah di sekolah sebelum bel masuk berbunyi.
Pagi ini setelah panggilan telepon untuk mengerjakan penulisan yang belum pernah saya lakukan sebelumnya saya seperti mendapat tantangan baru. Ia tidak hadir lewat sebuah refleksi panjang yang biasa saya lakukan sebelum menulis atau efek mengunjungi sebuah tempat baru. Ia hadir karena saya membersihkan kotoran di pinggir mata di pagi hari.
Saya pun takut seperti AS. Laksana kalau tulisan ini tidak sebaik tulisan sebelumnya. Tapi pagi ini saya tahu banyak cerita di luar sana, oke ini terlalu klise, mungkin kamu bisa mendapatkan frase itu di buku populer terbitan penerbit ternama.
Pagi ini saya belajar menuliskan sesuatu dengan apa adanya. Bukan sebuah relasi antara kehidupan sehari-sehari yang rumit. Ia hadir begitu saja, muncul seperti anak kecil yang pipis di selokan karena malas pergi ke belakang. Jelas tak selancar pancuran sawah tapi ia menghadirkan rasa lega. Yang saya takutkan, sampai kapan saya bisa pipis di selokan? Saya berharap tantangan-tantangan hari ke depan membuat saya kebelet dan menyegerakan pipis di selokan.