Sidekick

Urip mung mampir ngejus

“Mas, maaf saya lagi enggak enak badan, enggak bisa wawancara dulu,” tulis saya dalam pesan pendek ke Mas Risky Summerbee. Sekitar lima menit kemudian pesan balasan masuk ke telepon selular saya, “Iya, cepat sembuh, kapan-kapan aja wawancaranya We,” respon Mas Risky melalui pesan pendek. Berbalas pesan pendek itu terjadi sekitar tiga tahun lalu. Saat itu saya memang sedang mendapat tugas mewawancarai Risky Summerbee and The Honeythief, salah satu garis depan band terbaik Jogja bagi saya.

Saya memang berasalan sakit di pesan pendek pada Mas Risky saat itu, namun hari ini saya akan mengaku jujur bahwa saya sehat walafiat kala itu. Yang membuat saya membatalkan janji ketika itu adalah (maaf Mas Risky, silakan tertawa) saya sedang sakit hati setelah hubungan saya dengan seorang perempuan kandas tengah jalan. Alhasil saya tidak konsentrasi kalau wawancara. Padahal saya sudah menyiapkan dengan matang pertanyaan yang akan saya ajukan.

Mungkin kalau tugas itu datang dari media besar saya bisa terkena surat peringatan atau bahkan dipotong gaji karena tak profesional. Nyatanya yang saya dapatkan kala itu hanya sebuah pesan di facebook dari seorang bernama Philips Vermonte, “Ente putus? Waduh, masih banyak perempuan di dunia bung, jangan sedih,” tulisnya di kotak masuk facebook saya. Memang Mas Philips kurang toleransi dengan orang yang lagi sakit hati.

Tugas wawancara itu datang dari Jakartabeat, sebuah webzine yang didirikan oleh Philips Vermonte dan Taufiq Rahman. Cerita bermula ketika saya mengirimkan lagu-lagu Risky Summerbee melalui surat elektronik ke Mas Philips yang saat itu sedang studi di Negeri Paman Sam. “Ini band bagus bener Bung, pegang kata-kata saya,” begitu janji saya sambil melampirkan lagu-lagu Risky Summerbee and The Honeythief. Mas Philips membalas dengan, “Keren banget bung, Mainkan lah ini!”. Frase “Mainkan” memiliki sinyal bahwa saya harus mewawancarai band ini. Jadilah rencana itu saya coba laksanakan, sayang list pertanyaan kandas oleh perasaan.

Setelah tiga tahun dari pesan pendek berbungkus kebohongan tersebut barulah saya tahu dari Mas Philips bahwa hampir semua penulis Jakartabeat pernah mengalami hal serupa dengan saya. Nuran Wibisono, salah satu penulis muda berbakat yang sayangnya tak berbakat menyusun rencana rumah tangga juga pernah mengalami hal serupa. Jika saya membatalkan wawancara maka ia melarikan diri naik motor sampai ke Lombok karena diputus sang kekasih, saya tak tahu apakah harus mengucapkan Subhanallah atau Astagfirullah. Bung Gde yang kini menimba ilmu di negerinya Bung Obama tak kalah perih, ia menghilang satu bulan paska perpisahan dengan kekasih tercinta. “Jakartabeat jadi sepi dah gara-gara pada putus,” ujar Mas Philips sambil terkekeh.

Jakartabeat memang bukan seperti institusi media besar yang tertata rapi atau portal berita yang rajin update di lini kala. Webzine ini sebuah anomali ketika itu. Puluhan mahasiswa dari lintas kota bahkan negara berlomba-lomba menulis di sini. “Kena kibul semua sama gue,” kelakar Mas Philips suatu kali.

Tapi kibulan Mas Philips memang terbukti ampuh. Banyak rekan-rekan saya yang rajin menulis di sana. Bukan, bukan karena imbalan, menulis di Jakartabeat sama sekali bukan soal transaksi nominal. Ini soal transaksi perayaan bagi saya. Merayakan menulis seperti saat kita sedang memainkan krayon pada buku warna saat kita di Taman Kanak-Kanak dulu. Begitu lepas, menyenangkan dan kadang konyol.

Mas Philips dalam pledoinya di ulang tahun ketiga atau kedua (saya sedikit lupa) Jakartabeat mengistilahkan hal ini dengan wisdom of the crowd. Mungkin ia ada benarnya, Jakartabeat seperti sebuah arena kolaborasi yang mengasyikkan bagi para mahasiswa tak jelas juntrungannya seperti saya dulu.

Bagi saya pribadi Jakartabeat seperti sebuah sekolah alternatif dari template pengajaran di bangku kuliah. Ketika pengajaran jurnalisme di bangku kuliah seperti tak pernah menengok ke masa saat ini. Ketika penulisan hanya soal deretan formula lead yang tepat menarik pembaca atau latihan kepenulisan yang membosankan. Jakartabeat datang menawarakan sebuah aroma kebebasan. Mainkan apa yang kita inginkan, mainkan apa yang menjadi keresahan kita bersama.

Tepat hari ini Jakartabeat katanya berulangtahun yang keempat. Mungkin sudah hampir setahun saya tak menulis di webzine ini. Saya juga lama tidak mengikuti perkembangan bahasan-bahasan yang sering diulas Jakartabeat. Namun tak ada salahnya hari ini saya membuat ode kecil untuk salah satu sekolah yang dulu pernah membuat saya belajar banyak hal. Memberi saya jalan bertemu orang-orang yang sangat saya hormati khususnya di Kota Jogja.

Kemarin saat bertemu Mas Philips ia bercerita singkat tentang Jakartabeat. “Mungkin kita memang butuh mahasiswa-mahasiswa lagi buat nulis, angkatan lo udah tua-tua,” ujarnya sambil nyengir. Saya hanya membalas dengan tertawa. Tapi apa yang ia katakan ada benarnya. Jika mahasiswa adalah soal buku, pesta, dan cinta maka boleh jadi Jakartabeat merangkum semuanya. Tentunya di bagian cinta ia justru merusaknya, sila tanya pada Bung Gde dan Mas Nuran soal ini.

Selamat ulang tahun Jakartabeat. Terimakasih telah menjadi teman selama menjadi mahasiswa dulu. Semoga semangat kolaborasi terus terjaga.

***

post scriptum: Nuran Wibisono menuliskan pengalamannya menjadi kontributor Jakartabeat di sini. Bung Gde yang kini tak lagi hilang selama sebulan (halah) menuliskannya di sini. Tak ketinggalan Arman Dhani yang kini jadi selebtweet ternama menuliskan pengalamannya di blog pribadinya di sini.

2 thoughts on “Tak Enak Badan ala Jakartabeat

  1. Jancuk tenan koen Weeee, wani-wanine nipu mas Risky, hahahaha :))))

    Like

  2. Ardi Wilda says:

    saat patah hati, berbohong itu hukumnya tidak dosa kak nuyan 😛

    Like

Leave a comment