Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Yang tak terucap sebelum kalimat, “Pesanannya sudah semua, silakan dinikmati!”
Setiap Hari Minggu ada dua tempat yang hampir pasti saya kunjungi untuk membaca buku. Taman Suropati dan sebuah kedai di daerah. Biasanya satu buku akan habis dalam sekali atau dua kali kunjungan ke tempat tersebut. Suasana kedua tempat tersebut yang membuat saya mengunjunginya. Taman Suropati mengasyikkan karena saya suka piknik. Sementara kedai makanan yang kerap saya kunjungi menarik bukan karena makanannya.
Setiap kunjungan saya ke kedai makan tersebut sesekali saya sering memperhatikan pramusaji-pramusaji di sana. Saya mengamati gerak-gerik mereka dalam menyambut tamu, menyajikan makanan dan menunggu pelanggan. Entah kenapa saya suka melakukan itu, mungkin karena ada satu cita-cita kecil ingin membuka kedai makanan.

Momen menunggu pelanggan menurut saya paling menarik untuk diamati. Para pramusaji akan menunggu di tempat yang bisa bersandar. Ini adalah satu-satunya momen saat mereka menampilkan wajah aslinya. Minggu lalu seorang pramusaji wanita tampak lelah dan terlihat pucat. Di sampingnya lagi pramusaji laki-laki terlihat bosan menunggu. Mereka sesekali bercanda dengan posisi yang harus tetap berdiri. Mungkin salah satu peraturan pekerjaan tersebut para pramusaji dilarang duduk.
Pramusaji tersebut akan menghapus kebosanan dan wajah pucatnya tatkala ada orang datang. Mereka segera tersenyum ramah dan memberikan menu.
Kemudian berdiri di samping pelanggan dan bertanya, “Mau pesan sekarang atau nanti?”.
Pekerjaannya begitu template. Mereka seperti sekrup kecil dalam perputaran uang di kedai. Sekrup kecil yang jarang terlihat namun terasa jika dihilangkan begitu saja.
Pelayan-pelayan tersebut membawa ingatan saya pada satu momen kecil saat pulang ke rumah. Saat pulang saya akan melewati Jalan Kasablanka. Selain macet akibat banyaknya pusat perbelanjaan, jalan itu terasa romantis. Bukan karena banyak bunga atau warna-warni di jalanan tersebut tapi karena banyaknya sebuah interaksi yang begitu hangat di pinggir jalan.
Sekitar pukul setengah sebelas malam akan ada pemandangan yang mungkin menjengkelkan bagi kebanyakan orang tapi selalu menyenangkan bagi saya. Pada jam itu berjejer puluhan motor di pinggir jalan, biasanya di depan salah satu mal. Mereka bukan tukang ojek yang sedang menunggu penumpang. Jejeran motor itu adalah kerabat para pelayan toko-toko di mall tersebut.
Pelayan tersebut biasanya tampak lelah dengan sisa riasan di wajah.
Riasan yang merupakan tuntutan pemilik toko. Riasan tersebut pudar, wajah lelah, namun pada penunggu motor di pinggir jalan tersebut mereka akan berinteraksi hangat. Boleh jadi mereka suami istri, adik kakak, atau sedang memadu kasih. Yang jelas semuanya menunjukkan kehangatan interaksi yang jujur, tanpa riasan artifisial.
Pada pramusaji dan pelayan yang pulang itu ada sebuah kritikan tajam pada kita. Kita yang kerap merasa jadi satu-satunya otoritas kebenaran. Lalu seruduk sana seruduk sini sekadar untuk beragumentasi. Di kedai makanan kita berdebat sengit. Di pusat perbelanjaan kita mencari sebuah kesenangan paling artifisial. Di keduanya kita menemui mereka.
Mereka yang seperti tak muncul dalam permukaan. Yang diam.
Mereka tak meromantisir sebuah perjalanan. Mereka yang hanya menunggu pelanggan dengan muka terlipat sedemikian rupa. Namun tak mengejawantahkannya dalam kehidupan lain, yang tak lari menuliskannya di beragam medium. Mereka diam.
Riasannya artifisial. Senyumnya boleh jadi atas dasar panduan. Mereka tak mencari panggung seperti perdebatan kita yang saling mengumpat panggung kita paling benar.
Pada mereka kita seperti diledek keras. Mereka boleh jadi bukan lagi sekrup-sekrup kecil kedai atau deretan pertokoan di pusat perbelanjaan. Mereka boleh jadi adalah sekrup-sekrup kecil dalam hidup kita. Sebuah sekrup kecil yang kita diamkan begitu saja. Kita memanggilnya dengan mata menerawang entah ke mana.
Malam ini saat saya mampir di kedai makanan yang biasa saya datangi di Hari Minggu, para pramusaji sedang sibuk menyiapkan makanan yang akan dibawa pulang oleh para tamu. Tempat mereka menunggu pelanggan dan saling bersendagurau terlihat lengang. Hanya berisi beberapa nomor meja dan tumpukan menu-menu yang siap diantarkan untuk dipilih.
Saat menulis ini seorang pramusaji laki-laki mengantarkan segelas teh hangat dan jus melon di meja samping saya. “Pesanannya sudah semua, silakan dinimati.”
Dan pasangan di samping saya hanya diam. Pramusaji itu pergi tanpa sebuah ekspresi.

6 thoughts on “Yang Diam dan Tak Bergincu

  1. Yohan Arie says:

    Ah keren kali

    Like

  2. Anggafirdy says:

    Punchline di paragraf terakhir kurang “nendang”, ga seperti biasanya, Mas.

    Like

  3. Ardi Wilda says:

    yang keren neckerman mas karena ndak neko neko 😐

    Like

  4. Ardi Wilda says:

    punchline niku nopo mas? seng nulis malah ora dong hehe

    Like

  5. wah keren, salam kenal mas izin nyimak tulisan yang lain ya 🙂

    Like

  6. Ardi Wilda says:

    monggo mas, dengan senang hati bisa berbagi 🙂

    Like

Leave a comment