“Le sehat? Kok lama gak pulang?” sebuah pesan pendek dari ibu masuk ke telepon selular saya. Saat menerima pesan tersebut saya masih menyelesaikan editan video. Saya membaca sekilas pesan pendek dari ibu dan kembali melanjutkan editan, beberapa menit kemudian saya baru membalasnya.
Seperti bunyi pesannya, saya lama tidak pulang ke rumah. Ibu saya sebenarnya sudah terbiasa dengan hal ini, namun ibu tetaplah ibu, ia kerap menanyakan kabar anaknya dalam jangka waktu tertentu. Biasanya ibu akan mengirimkan pesan menanyakan apakah saya pulang ke rumah di akhir pekan, waktu yang biasa saya pakai untuk kembali ke rumah.
***
Beberapa hari ini saya sedikit terganggu dengan pesan yang dikirimkan dua rekan saya melalui aplikasi pengirim pesan. Entah kebetulan atau tidak dua teman saya menulis dalam buku kompilasi bertema rumah. Yang satu bercerita tentang kumpulan makna rumah bagi masing-masing penulis. Yang satu lagi tentang makna kantor sebagai rumah kedua. Biasanya pesan tersebut akan dilampiri beberapa gambar sampul bukunya. Bukannya tidak senang, tapi saya rasa dari hari ke hari semakin berlebihan.
Ada rasa yang aneh ketika tema semacam “Rumah”, “Pulang”, “Teralienasi” muncul ke permukaan. Entah kenapa bagi saya tema tersebut seperti sebuah prolog, “Senja mulai terlihat” dan sejenisnya. Tak selamanya salah, tapi terasa begitu naïf. Ia seperti sedang mengorek konteks kehadirannya. Menjadi asing sendiri dan tampak mencari-cari di tengah kehidupan yang begitu biasa.
Saya hampir yakin ceritanya akan berpusar pada pencarian diri di luar rumah, kemudian ia akan tersadar bahwa rumah adalah tempat bersandar paling nyaman. Ia tak perlu jauh-jauh pergi karena semua ada di rumah. Rasanya seperti menyaksikan film Hollywood dengan tambahan satu sendok makan gula pasir.
***
Ada satu penjelasan karya yang saya suka di Pameran ARTE beberapa waktu lalu. Karya itu sebenarnya sederhana, memotret bagaimana Alun-Alun Bandung dulu dan kini. Sebuah proyek berjudul, “Decomposing Colonial Town” karya Dea Aulia Widyaeran. Dalam penjelasan karyanya Dea menulis, “Bandung identity now is detach from history, how history still significance, or how to define a downtown nowadays.“
Laiknya perbandingan alun-alun dulu dan kini yang dilakukan Dea, buat saya bahasan soal rumah dan segala tetek bengek yang tertinggal di dalamnya terkadang tidak lagi signifikan. Kita memberi penilaian dalam konteks masa lalu. Rambut ibu yang beruban, jalanan depan rumah yang berubah, atau tukang ketoprak yang tak lagi mengenakan topi yang dulu kita kenal. Rumah menjadi asing. Nyatanya rumah tetaplah rumah. Ia tak pernah pergi. Kita yang pergi meninggalkannya. Kita yang menjadi begitu tak “merumah”.
Lantas kita masih menilai rumah dalam sebuah sejarah yang beku. Dalam perspektif ibu yang masih memanggil kita dengan sapaan “adik”. Maka frase semacam, “Rambut ibu mulai memutih” dan menyadarkan kita akan jauhnya kita dari rumah menjadi begitu signifikan bagi sebuah penceritaan. Dan ya kita tetap tak beranjak untuk kembali ke rumah. Rumah hanya menjadi sebuah elemen romantis paling klise dalam cerita-cerita.
***
Lama saya tak pulang ke rumah. Panggilan ibu melalui pesan pendek malam ini adalah salah satu indikator menurunnya frekuensi saya pulang ke rumah. Ibu mencari saya, bapak akan kembali bertanya tentang rencana studi saya tahun ini, pun keponakan saya akan rindu bermain puzzle dengan saya. Tapi saya tahu semua datang dengan begitu saja, tidak ada kisah klise ala cerita “pulang ke asal”.
Saat pulang ke rumah, saya menggunakan motor saya. Dengan kecepatan yang biasa. Berbuah kelelahan yang bisa diobati sekadar dengan air hangat. Tak ada yang istimewa. Dalam lamunan di kamar setelah mandi saya kadang bingung harus melakukan apa di rumah. Pun, semua memang sudah berubah.
Ketika menuliskan ini saya kembali berpikir mengapa banyak cerita tentang rumah yang seakan tak biasa? Cerita tentang rumah yang ditulis para pekerja yang harus kembali ke daerah sub-urban dengan macet yang tak lagi bisa dimaklumi. Lalu menuliskan pengalaman dengan cerita yang seakan berwarna. Nyatanya, mungkin bagi kebanyakan pekerja pulang adalah pekerjaan paling panjang untuk dilalui. Saya sempat berpikir untuk membeli dua buku rekan saya sekadar agar bisa berkata pada mereka, cobalah pulang dengan perasaan yang biasa saja.