Sidekick

Urip mung mampir ngejus

“Wes nge-laundry nih Mas Awe,” kata Teteh sambil cekikikan ketika saya meminta dirinya mengambil baju cucian di sebuah laundry kiloan. Teteh adalah panggilan pada asisten rumah tangga di kediaman yang saya tempati bersama dua orang teman lain. Sudah dua minggu Teteh izin untuk pulang kampung karena ingin mencoblos dan menyapa sanak keluarganya di udik. Saya hanya bisa mempersilakannya tanpa tahu efek yang terjadi kemudian.

 
Dua minggu ditinggal Teteh yang terjadi adalah kekacauan tingkat akut di rumah yang saya tinggali. Setiap pagi tak ada lagi yang menyapu atau mengepel. Beberapa ikan di kolam bahkan merasakan ketiadaan Teteh dengan ikut meninggalkan dunia yang fana ini karena tak diberi makan. Sepatu tergeletak di sembarang tempat. Resep mujarab untuk mengacaukan semuanya memang mencopot yang bisa membereskan semuanya.


Teteh biasanya juga mencucikan baju sehingga kami tak pernah cemas kehabisan baju. Tapi, ketika tidak ada dirinya yang terjadi kemudian adalah cucian menumpuk yang membuat seorang rekan saya, Billy, berucap dengan gelisah, “Laundry kiloan deket sini mana ya?” Saya dan rekan saya yang lain, Herry menundukkan kepala tanda masalah ini akan segera selesai. Dan kita tahu kemudian masalah itu terpecahkan.
Hari ini Teteh pulang, saya memintanya mengambil cucian saya di tempat laundry dan ia tanggapi dengan ledekan. Saya mengaku kalah telak tepat ketika ledekan itu tertuju pada saya.

 
Saya lantas berpikir jangan-jangan ini bukan perkara kecil semata. Beberapa pekan lalu saya melakukan riset kecil untuk sebuah proposal sederhana. Premis proposal ini sederhana, “Apakah ibu-ibu rumah tangga membuatkan bekal sendiri untuk anaknya?”. Tentu pertanyaan tersebut memiliki beragam turunan, sebut saja misalnya, “Kalau iya, bekalnya apa?”, “Kalau tidak, siapa yang membuatkannya?”, “Kenapa tidak membuatkan bekal untuk anak?” dan berbagai kalimat yang diakhiri tanda tanya lainnya.

 
Untuk menjawab hal tersebut bersama Anggun, seorang teman yang juga membuat proposal tersebut, kami mengunjungi sebuah sekolah di kawasan Cilandak. Tentu ada beragam versi jawaban atas hal ini setelah kami mewawancarai beberapa orang. Tapi, bukan sebuah jawaban yang menarik bagi saya. Ada satu hal yang menurut saya justru patut untuk dicermati.

 
Di kantin tersebut sekelompok ibu-ibu berbincang sambil menunggu anaknya yang berkisar di usia 3-6 tahun bersekolah. “Ya kalau ibu-ibu banyak juga mas, ada yang masakin ada yang beli di kantin?” ujar Ratih, salah seorang babysitteryang merawat seorang anak berusia tiga tahun. Ia menambahkan, sambil menunggu anak-anaknya para ibu biasa berbincang di kantin. “Arisan, ngobrol-ngobrol, macem-macem. Yang ngurus anak biasanya kan ada mbaknya,” ujar babysitter ini, kata ‘Mbak’ sendiri merujuk pada babysitter atau asisten rumah tangga yang dibawa oleh sang ibu.

 
Kumpulan ibu-ibu terasa menggelikan saat saya melihatnya. Ia tak berinteraksi dengan anak-anaknya namun memilih untuk mengobrol sendiri dengan kerumunan kelompoknya. Sementara yang bersusah payah mengurus anak adalah Mbaknya. Mereka seperti sedang mengamini perkataan Cinta ketika membalas pernyataan Rangga saat makan kacang rebus bersama, “Kalau bisa dikerjain pembantu kenapa harus kita kerjain sendiri?”.

 
Saya membayangkan apa yang terjadi ketika hari besar tiba, ketika para asistennya akan meminta pulang ke udik dalam jangka waktu yang panjang. Kerumunan ibu-ibu ini menjadi individu-individu yang diam dan sendiri di rumahnya masing-masing, sambil mengomel mengapa ia harus melakukan hal remeh temeh urusan rumah.

 
Dua minggu ini ketika Teteh pulang kampung saya dan rekan mungkin tak ada bedanya dengan kerumunan ibu-ibu itu. Yang diam dan tak bisa apa-apa di urusan yang paling sederhana.

 
Boleh jadi ini bukan soal domestik dan tidak. Boleh jadi ini soal hasrat menguasai yang di luar domestik. Coba lihat beragam produk yang membuat enteng pekerjaan domestik, narasinya tunggal, “Pakai ini dan urusan remeh temeh Anda cepat selesai”. Produk ini vis a vis dengan sesuatu yang sifatnya besar di luar sana, yang menantang untuk meraihnya. Saya, kerumunan ibu-ibu di sekolah tersebut mungkin adalah yang selalu melihat ke luar. Merengkuh yang di luar sana.

 
Pada mereka yang mengerjakan hal-hal domestik sebenarnya kita sedang berkaca. Berkaca dan ditampar oleh sesuatu yang sederhana namun luput dari pandangan. Kita terlalu sibuk mengejar apa yang di luar, mengejar apa yang di luar teritorial kita. Tapi pada satu titik kita akan sadar kita hanyalah manusia-manusia yang tak bisa lepas dari urusan domestik.

 
Lima menit lalu teman saya pulang dan berteriak keras, “Teteh udah pulang!”. Malam ini ia lembur menyelesaikan pekerjaannya, cita-cita besar yang ingin diraihnya. Ia dan saya bekerja keras mendapatkannya. Pada narasi besar kita jumawa. Sayangnya kita tertampar oleh cucian baju yang menggunung, lantai yang kotor atau sepatu yang tak rapi. Pada narasi besar itu mungkin Teteh, Mbak Ratih, dan banyak asisten rumah tangga lainnya sedang berbisik halus, “Di urusan domestik mereka tak bisa apa-apa”.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: