Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Beberapa hari lalu seorang teman akrab saat kuliah, Avis mengontak via pesan pendek. Ia mengajak untuk berbagi kisah perjalanan pekerjaan yang sedang saya geluti saat ini. “Ayo We, nang kantorku ben seminggu pisan ono sesi sharing macem-macem (Ayo We, di kantorku satu minggu sekali ada sesi berbagi),” tulisnya di pesan pendek. Saya hanya menanggapi normatif dengan mengatakan, “Kapan-kapan aja Vis.”

 
Avis, yang dulu tinggal bersama satu rumah dengan saya, kini bekerja di sebuah bank pemerintah. Pekerjaan saya dan ia jauh berbeda. Dia lurus dengan pekerjaan profesional sementara saya selalu membelok ke berbagai arah untuk mencari tantangan-tantangan baru. Ia kemudian tertarik meminta saya menceritakan beragam cara yang saya lakukan dengan pekerjaan saya. Sudah dua kali ia meminta, namun saya selalu menolak dengan halus.

***
Tadi malam saya menonton Sajama Cut dalam pementasan kecil di Pelatihan Indonesia Mengajar. Mbak Nia, seorang mentor saya, tahu bahwa saya menyukai band ini dan mengajak saya datang untuk menyaksikan. Saya mengiakan ajakannya, Marcel buat saya adalah musisi yang secara rekam jejak menarik perhatian, namun belum pernah saya saksikan secara langsung.

 
Ada satu perkataan Marcel yang saya suka semalam. Dia mengatakan (meski klise) musik adalah jalan hidupnya, namun ia tahu bahwa ia tak akan dapat hidup dari musik. Maka ia menulis dan terus menulis di sebuah harian internasional. Untuk sesuatu yang ia percaya ia memperjuangkannya. Tepat ketika ia menyanyikan “Less Afraid” mata Marcel sedikit memerah, ia sentimental tadi malam.

 
Setelah menyaksikan Sajama Cut di daerah puncak saya pulang bersama beberapa teman baru. Seorang teman kemudian meminta untuk sarapan pagi karena perutnya memanggil untuk diisi katanya. Saya mengajaknya sarapan bubur ayam di dekat kediaman saya. “Mantep buburnya,” saya berusaha untuk meyakinkannya. Bubur ayam ini adalah sebuah bubur ayam biasa yang terletak di depan bakmi ayam kerinci yang melegenda.

 

Pagi ini teman baru saya banyak bertanya tentang pekerjaan-pekerjaan dan perspektif baru yang saya dapat. Mungkin ia tertular Marcel semalam sehingga sedikit sentimentil. Saya biasanya menghindar dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Alasan saya sederhana, apa-apa yang personal bagi saya tidak punya kepentingan dengan hidup orang lain. Personal untuk personal, publik untuk publik. Tapi tadi pagi entah kenapa saya sedikit banyak bercerita hal yang biasanya selama ini saya tampik.

 
Sambil menceritakan pengalaman-pengalaman, kami menyantap kerupuk bubur ayam yang disediakan terpisah oleh si penjual. “Kita ngomongin hidup tapi makannya kerupuk, kalau jadi scene film ini kurang bagus,” kelakar saya. Tapi perbincangan tetap berlanjut di tengah kerupuk yang menyerbu. Seorang rekan saya mengatakan hal yang menurut saya menarik, “Dulu kita bilang ke anak-anak mengejar mimpi, tapi selesai ngajar di situ kitanya yang nyerah, payah ah,” ujarnya sedikit mengomel. Saya hanya tersenyum menanggapi omelannya. Pada perbincangan demikian kita tak membutuhkan jawaban yang dibutuhkan adalah sebuah refleksi. Sayangnya refleksi bukan anak kandung sebuah pertanyaan.

***

Setelah perbincangan di antara kerupuk itu saya kemudian berpikir beberapa hal. Kadang kala kita terpukau dengan sesuatu yang begitu besar. Terpukau pada sesuatu yang sifatnya begitu tinggi. Tentang hidup, tentang pengalaman mengesankan, tentang sebuah konsistensi. Tapi kita luput pada satu hal, kita lupa hidup tak disusun oleh hal-hal itu.

 
Kita tak tersusun oleh acara berbagi pemikiran, kita tak disusun oleh sebuah acara motivasional, kita disusun oleh pilihan-pilihan kecil dalam hidup. Marcel menyusun hidupnya lewat deretan aksara di keseharian hidupnya sambil sesekali bermain musik atas dasar kecintaannya. Avis menyusun hidupnya dalam beragam kegiatan di bank. Sesi berbagi akan membuat Avis dan teman-temannya semangat untuk beberapa saat tapi yang paling menentukan adalah pilihan-pilihan kecil setelahnya.

 
Ini sebuah hari minggu yang bersahabat, sebuah hari yang kebetulan saya isi dengan beragam hal-hal yang sifatnya reflektif. Tapi hidup tak akan berubah pun dengan menghabiskan seratus mangkuk kerupuk yang disediakan tukang bubur. Pada putaran roda sepeda menuju kantor, setiap aksara dalam keyboard laptop, dan beragam artikel yang saya produksilah yang membuat hidup saya terus berjalan.
Kita terlalu terpukau dengan perbincangan khas kerupuk bubur. Di antara kerupuk bubur ayam sebenarnya kita sedang bersembunyi pada ketakutan akan keseharian. Ketakutan untuk bicara kita luar biasa di retorika tapi pecundang di kehidupan nyata. Mungkin Marcel perlu membuang kerupuk bubur itu sambil menyenandungkan “Less Afraid” sekali lagi.

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: