Sidekick

Urip mung mampir ngejus

“Saya pernah tinggal di Jakarta dua tahun, bukan tinggal sih tapi main, karena selamat akhirnya,” buka Risky Summerbee tadi malam. Risky sedang menjadi Risky malam itu, ia yang selalu punya narasi kecil sebelum membuka sebuah lagu. Kisah Risky malam tadi diucapkan sebelum “On A Bus” melantun manis di Goethe. Bersama bandnya Risky Summerbee and The Honeythief (RSTH) ia sedang melakukan konser “Pictures of Yesteryear” malam tadi.

 
Risky melanjutkan narasi kecilnya sebelum “On A Bus” dengan mengatakan lagu ini muncul saat ia tinggal di Jakarta. Di dalam bus ia menyaksikan seorang ibu yang mengantarkan anaknya yang hendak sekolah. Ia lantas melayangkan pikirannya pada masa depan anak itu. Tak hanya di lagu “On a Bus” Risky memantik narasi sederhana yang kadang membuat kita bertanya tentang hal-hal kecil di sekitar.

 

Sebelum “In The City” bergema di Goethe misalnya, ia bercerita tentang pengalamannya mengarungi kota khususnya Jogja dan Jakarta. “Di Jogja kami tinggal di daerah-daerah rural ya. Jakarta ini seperti injeksi dari rutinitas kebiasaan kami. Jakarta seperti halnya kota-kota lain yang penuh kepentingan,” jelas Risky sebelum “In The City” mengalun.

 
Malam itu hampir di setiap lagu Risky memberi pengantar, bukan tipikal menjenuhkan seperti ucapan terimakasih atau inspirasi lagu, ia memberi konteks menarik pada lagu-lagunya. Bagi saya hanya Risky dan Ugo Melbi yang memiliki kekuatan tersebut. Itu kenapa RSTH selalu menarik untuk disaksikan.

 
Malam tadi RSTH memainkan set yang biasa ia mainkan dengan menambahkan beberapa materi baru dari album anyarnya Pillow Talk dan lagu “Subterfuge” dari kompilasi Frekuensi Perangkap Tikus. Set hanyalah set, ia seperti rentetan retorika tak berisi jika tak diberi konteks, dan Risky berhasil melakukannya malam tadi. Ia memberi konteks yang begitu hidup dan sederhana dalam lagu-lagunya. Ia memberi sebuah konteks relasi Jogja dan Jakarta dengan pendekatan yang menurut saya begitu segar malam tadi.

 
Menonton konser RSTH tadi malam mengingatkan saya pada kisah Nuh. Ada satu cuplikan di Alkitab tentang kisah Nuh yang saya suka. Diceritakan Tuhan meminta Nuh untuk membuat sebuah bahtera yang akan menyelamatkan ia, istrinya dan anak-anaknya. Sebuah bahtera untuk mengarungi banjir yang akan terjadi. Bahtera itu adalah sebuah transisi Nuh menghadapi dunia yang baru, sebuah dunia yang ia tak tahu apa. Namun, ada satu kisah kecil yang menarik perhatian saya dalam kisah itu.

 
Dalam Alkitab Kejadian 6:14 tertulis, “Buatlah bagimu sebuah bahtera dari kayu Gofir; bahtera itu harus kaubuat berpetak-petak dan harus kau tutup dengan pakal dari luar dan dari dalam”. Ada satu narasi kecil yang selalu saya cermati di situ, “berpetak-petak”. Beberapa kisah menyatakan petak tersebut digunakan untuk orang-orang dan binatang-binatang yang ikut untuk berinteraksi selama banjir berlangsung. Pada petak-petak tersebut sebenarnya perpindahan menjadi begitu personal.

 
RSTH adalah Jogjakarta bagi saya dan mungkin teman-teman yang pernah berkuliah di sana. Pada Risky kami menengok kembali narasi sebuah kota yang kami rindukan, Sebuah narasi sederhana, personal dan penuh rasa penasaran. Berbeda dengan narasi Jakarta yang begitu bergemuruh.

 
Malam tadi saya dan saya rasa juga beberapa teman yang datang seperti sedang menengok Jogjakarta melalui RSTH. Bagi kebanyakan manusia yang berpindah, pun Risky, selalu melakukan perpindahan secara sporadis. Berpindah berarti meninggalkan semuanya. Selesai berkuliah di Jogja (pun Bandung biasanya) berarti menjalani kehidupan gemuruh di Jakarta. Kota terdahulu adalah sebuah masa lalu yang mati. Pun Risky melakukannya dengan mengatakan, “Dua tahun di Jakarta…selamat akhirnya”.

 
RSTH mengingatkan saya pada petak-petak di bahtera Nuh. Perpindahan Nuh dengan bahteranya, ya seperti kita meninggalkan jejak-jejak masa lalu di kota terdahulu, namun kita tak akan bisa untuk meruntuhkan petak-petak di bahtera itu.

 
Jogjakarta adalah petak kecil saya di bahtera yang dikendalikan Risky malam tadi. Pun mungkin bagi rekan-rekan saya yang pernah merasakan Jogja. Bahtera Nuh dengan RSTH tentu berbeda. Namun ia punya persamaan, pada keduanya kami tak bisa melepaskan diri dari yang terdahulu. Bukankah banyak umat Nuh yang menolak berpindah, seperti halnya kita yang terpaut di satu kota tapi justru mematikan diri di sana.

 
RSTH mengajari tak perlu takut untuk terus mengarungi negeri-negeri lain, mengarungi kisah-kisah lain, tapi tak ada salahnya untuk merawat petak kita sendiri. Merawat cerita personal nan intim di tiap kisah terdahulu.

 
Laiknya Nuh dalam Kejadian 7:23 “…hanya Nuh yang tinggal hidup dan semua yang bersama-sama dengan dia dalam bahtera itu”. Dalam bahtera Jogjakarta-Jakarta kita tetap hidup di dalamnya. Bedanya kita bisa menengoknya sesekali tak seperti Nuh yang tak bisa menegoknya lagi. Dari dalam petak kita masing-masing sebenarnya kita tahu cerita Jogja yang membawa kita sampai di sini.

 

Tepat saat “The Place I Wanna Go” berkumandang kita tahu bahtera kita berbeda dengan Nuh. Bahtera Nuh hanya berjalan selama empat puluh hari. Bahtera kita akan terus melaju sampai “The Place I Wanna Go” berhasil kita wujudkan, sayangnya saya tak pernah tahu apakah itu bisa diwujudkan?

3 thoughts on “Petak Bahtera Itu Ada di Risky

  1. Efenerr says:

    resensi yang manis sekali mz…

    Like

  2. Efenerr says:

    Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    Like

  3. Ardi Wilda says:

    komenne nganti peng pindo mz, nek kemanisen mengko diabetes mz #halah

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: