Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Pagi tadi saya berkirim pesan pendek dengan Andrea, salah satu sahabat karib, yang mengajak menonton resital piano. Ia sendiri adalah seorang pianis yang beberapa kali memainkan set saat tinggal di Jogja. Kemarin ia merekomendasikan sebuah resital yang apik menurutnya, karena sedang tidak ada kegiatan yang penting, saya mengiakan ajakannya. Perbincangan tentang resital itu membawa pada bahan pembicaraan lain.

 

“Lo sama siapa Ndre?” tanya saya. Dia kemudian menjawab, “Sendiri”. Saya menimpali dengan mengatakan saya juga datang sendiri. Setelah saya ingat-ingat bukan satu dua kali ini Andrea pergi sendiri. Pun nasib saya setali tiga uang dengan Andrea, bahkan seorang teman pernah meledek dengan cukup bernas, “Kalau ada 100 perjalanan, 90 perjalanan lo jalan sendiri dan 10 sisanya kebetulan ketemu orang.” Saya hanya senyum-senyum menanggapi ledekannya.

 

Perbincangan dengan Andrea di pesan pendek kemudian menyadarkan saya, jangan-jangan banyak juga orang yang suka jalan sendirian. Dari situ kemudian saya berpikir untuk membuat daftar beberapa tempat untuk dinikmati saat sendiri.

 

Ini adalah tulisan ringan agar orang-orang yang suka jalan sendirian bisa mendapat referensi baru. Saya juga mengundang teman-teman yang suka jalan sendirian untuk membuat daftar lokasi-lokasi terbaik untuk dinikmati seorang diri. Berikut ini daftar versi saya:

 

  1. Megaria Metropole

 

Saya hidup dalam mitos Bioskop Megaria. Bapak saya sering bercerita tentang Metropole saat saya kecil dahulu. Ia bercerita karena saat kecil saya sering bersepeda menonton film sendirian di Bioskop Buaran, sebuah bioskop kecil di dekat rumah. Saat itu bapak selalu mengatakan bahwa kalau sudah besar menontonlah di Megaria.

 

Wajar rasanya jika bapak mengatakan hal tersebut. Dahulu Megaria, yang kini berubah nama menjadi Metropole, adalah salah satu bioskop terbaik. Dengan bangunan khas bergaya art deco, Megaria adalah sebuah jawaban akan impian kehidupan nyaman dan necis ala perkotaan. Sejak kecil mimpi akan kehidupan ala Megaria selalu terpatri di pikiran saya.

 

Setelah dewasa Megaria memang menjadi bioskop favorit saya. Persetan dengan teknologi visual, audio atau kenyamanan khas sebuah cinema. Megaria memang tidak menghadirkan kemajuan teknologi tersebut, ia menghadirkan lebih dari itu. Megaria adalah bioskop paling filmis bagi saya. Bioskop ini adalah film itu sendiri.

 

Berjalan dan menikmati film sendiri di Megaria memberikan nuansa terbaik mendekati Cinema Paradiso. Lorong-lorong Megaria memang sudah banyak berubah namun aura filmnya masih cukup terjaga, ini yang tidak dimiliki bioskop-bioskop lainnya. Sambil menonton film sendirian di Megaria saya selalu membayangkan bapak menatap saya dan berkata, “Sekarang kamu sudah membuktikannya”.

 

  1. Pusat Informasi Kompas (PIK)

 

PIK adalah negara di dalam negara bagi saya. Untungnya negara ini cukup kecil dan sunyi, tak seperti negeri ini yang riuh rendah. Saya selalu menikmati momen sendiri di PIK. Bagi yang belum mengetahui PIK akan saya jelaskan sedikit.

 

Arsip adalah kata kunci PIK. Penerbit Kompas Gramedia memiliki banyak sekali terbitan dengan ujung tombak Harian Kompas. PIK adalah sebuah tempat yang mengarsipkan Kompas sejak pertama kali terbit sampai saat ini. Arsipnya berupa arsip digital dan analog.

 

Tak hanya Kompas, PIK juga mendokumentasikan media massa lainnya, bedanya jika terbitan Kompas Gramedia kita bisa mengunduh format digitalnya sementara jika di luar terbitan itu kita hanya bisa memfotokopi secara manual.

 

Mengunjungi PIK seperti mengunjungi sebuah lorong waktu yang mengasyikkan. Kesan lorong waktu itu tentu karena kita bisa membaca terbitan-terbitan lama sebuah koran. Juga didukung oleh konsep penyimpanan yang sangat apik.

 

PIK menyimpan arsip-arsipnya dalam sebuah lemari besar yang bisa dibuka dengan cara diputar oleh sebuah tuas berbentuk seperti stir mobil. Membuka arsip ini rasanya seperti seorang detektif yang sedang melakukan investigasi, pengalaman yang sulit untuk digantikan.

Tata ruang dan arsip hanya satu hal, yang paling penting dari tempat ini adalah sebuah pesan bahwa sebuah konteks sangat penting. Arsip-arsip di PIK memberi pesan pada kita bahwa sebuah pesan menjadi penting karena konteks waktunya. Beberapa kali saya menemukan artikel yang menunjukkan tidak konsistennya seorang tokoh. Menyendiri di PIK adalah sebuah pilihan paling tepat untuk belajar tentang konsistensi. Termasuk konsistensi untuk selalu sendiri.

 

  1. Taman Suropati (Tamsur)

 

Kalau ada satu tempat yang rutin saya kunjungi minimal satu minggu sekali maka itu adalah Taman Suropati (Tamsur). Bukan tanpa alasan saya mengunjungi Tamsur. Taman ini adalah tempat terbaik untuk membaca di Jakarta. Mungkin bukan tempat terbaik, tapi tempat paling manusiawi.

 

Mengunjungi Tamsur berarti melihat wajah-wajah penghuni Jakarta tanpa sebuah tembok. Kelas menengah yang sedang berlari, ibu-ibu muda, tukang tahu gejrot, komunitas kreatif dan masyarakat biasa yang berjalan-jalan mencari hiburan. Tamsur mungkin sisa ruang publik di Jakarta yang begitu manusiawi. Semua berhak hadir di sana menjadi manusia Jakarta, tak ada tembok kelas sosial. Membaca di Tamsur sambil menyaksikan wajah manusia-manusia Jakarta yang sebenarnya tersebut sangat menenangkan buat saya.

 

Bahkan karena seringnya saya mengunjungi Tamsur saya memiliki cita-cita baru, yakni ingin sekali jadi Kepala Dinas Pertamanan Ibukota. Andai Taman Kota kita sehat bukan tak mungkin menciptakan manusia-manusia yang berkualitas dan tetap santai di manapun berada.

 

  1. Makam

 

Saat saya kecil, Ibu sering cemas kalau ia lama tidak nyekar ke makam kakek. Biasanya Ibu akan nyekar pada saat mudik ketika Idul Fitri atau beberapa momen saat ada acara keluarga di Solo. Namun, di antara masa-masa itu ia kerap mengatakan ingin nyekar. Sejak itu saya selalu tertarik dengan relasi makam dan manusia.

 

Beberapa tahun lalu saya tertarik mengunjungi makam para korban Perang Dunia (PD) 2 di Pulau Labuan, Malaysia. Kunjungan ke pemakaman “hasil” Perang Borneo tersebut sesungguhnya tak sengaja. Bersama beberapa teman saat itu saya hanya tertarik dengan sebuah pulau bernama asing, Pulau Labuan, maka kami iseng mengunjunginya. Dan nyatanya pemakaman itu membawa saya pada satu hobi yang cenderung aneh, mengunjungi makam-makam orang yang saya idolai (cerita mengenai kunjungan ke Labuan War Cemetery pernah saya tuliskan di sini).

 

Sejak itu saya beberapa kali mengunjungi makam Gie di Museum Taman Prasasti di Kawasan Tanah Abang. Terakhir ini saya juga mengunjungi makam penulis favorit sepanjang masa, Umar Kayam di Karet. Ada perasaan lega saat mengunjungi tokoh-tokoh yang kita idolai ini.

 

Ketika sendiri di depan makam mereka saya bisa bercerita apa saja. Di depan makam tersebut membuat saya sadar mereka menghadapi kehidupan sendirian. Derap riuh perjalanan mereka berakhir dengan sebuah kesunyian di komplek pemakaman. Kesendirian paling hakiki boleh jadi adalah pemakaman itu sendiri. Mengunjunginya berarti merayakan kesendirian di titik paling dalam.

 

 

  1. Perpustakaan Goethe

 

Tak ada yang sangat spesial dari perpustakaan Goethe. Tapi justru dalam ketidaksempurnaannya itu ia begitu menarik. Sesuai namanya perpustakaan ini terletak di dalam Goethe Institut, Menteng, sebuah kawasan paling nostalgik di Jakarta.

 

Koleksi buku Goethe menarik tapi tak bisa dibilang spesial. Ada beberapa buku fotografi, kajian budaya dan kumpulan esai-esai apik yang patut dibaca. Namun, terlalu banyak perpustakaan lain yang punya koleksi seperti itu. Tata ruang perpustakaan ini juga biasa saja, kalaupun ada poin plus itu adalah kenikmatan membaca karena ada space-space kecil yang nyaman untuk menyendiri.

 

Yang membuat Goethe menarik adalah keberhasilannya merayakan kesendirian secara kolektif. Orang-orang di dalam perpustakaan Goethe rata-rata tak berinteraksi, sinyal telepon di tempat ini juga sangat minim, sehingga mereka berkonsentrasi pada dirinya sendiri. Di perpustakaan ini kesendirian dirayakan secara kolektif dengan sebuah buku, apalagi yang lebih indah selain hal itu.

 

Sebenarnya baru beberapa bulan ini saya mengenal perpustakaan Goethe, tapi saya langsung tertaut di tempat ini. Setelah bersepeda ke Tamsur saya biasa mampir ke Goethe. Di tempat ini saya sama sekali tak merasakan kesendirian meskipun sedang sendiri. Melihat perpustakaan Goethe saya memimpikan dunia yang dipenuhi kesendirian kolektif, kehidupan yang memberikan ruang pada manusia-manusia untuk menikmati kesendiriannya.

 

***

post scriptum: saya mengajak teman-teman untuk merekomendasikan tempat-tempat yang menarik untuk dinikmati seorang diri. Rekomendasi tempat-tempat ini bisa jadi referensi kita untuk menikmati sebuah tempat saat tidak ada seorang teman berjalan. Jika sudah menulis silakan taruh tautannya di kolom komentar postingan ini. Selamat menyendiri 🙂 

 

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: