Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Beberapa waktu lalu saya menonton Toilet Blues dengan seorang teman. Di dalam bioskop keningnya berkerut mencoba memahami makna cerita film besutan Dirmawan Hatta tersebut. “Aku lagi coba mikir-mikir ini maksudnya gimana?” ujarnya singkat sayangnya dengan kerutan di kening yang bertambah. Saya hanya bisa tersenyum kecil menyaksikannya berusaha berpikir keras.

 

 

Bagi saya Toilet Blues sendiri adalah salah satu film dengan narasi paling apik di tahun ini. Film ini bercerita tentang Anjani dan Anggalih, dua anak manusia yang membuat saya seperti sedang membaca alkitab. Saya menikmati film ini karena terasa sangat personal dan interpretatif. Namun, ada satu keresahan kecil di luar konteks film tersebut yang terus saya bawa sampai sekarang.

 

 

Teman saya yang ikut menonton misalnya, berusaha keras untuk memahami maksud dari setiap scene di film ini. Saking penasarannya di akhir film ia bertanya pada saya mengenai maksud-maksud dalam scene film tersebut. Untuk memuaskan rasa penasarannya saya hanya menceritakan secuplik pemahaman saya dari film tersebut. Ia menganggukkan kepala mencoba mencerna.

 

Mungkin tidak hanya dirinya yang bingung, beberapa teman lain juga menyatakan kebingungannya. Pikiran saya kemudian melompat ke beberapa tahun ke belakang. Saya senang mengunjungi pameran seni rupa jika sempat. Saat saya mengajak beberapa teman ikut menonton, biasanya tanggapannya beragam dengan tipikal yang hampir senada, “Wah enggak ngerti gw”, “Berat tuh pasti ya, mumet kepala gw”. Tipikal seperti itu sering sekali saya temui, tidak ada yang salah dengan hal tersebut.

 

 

Jika boleh jujur saya juga lebih sering tidak paham daripada paham dengan sebuah karya. Saya tak punya latar belakang kesenian, tidak memiliki ketrampilan seni terapan, pun tak terlalu berpikir keras untuk memahaminya. Ketakutan “ketidakmengertian” ini menurut saya salah kaprah. Bagi saya bukan faktor “ketidakmengertian” yang bermasalah, tapi lebih dari itu saya menilai ada sesuatu yang keliru tentang bagaimana cara kita menikmati sebuah karya.

 

 

Menengok karya bagi saya sesederhana sebuah pengalaman kesenian. Pengalaman yang tidak kita dapatkan di penatnya kehidupan sehari-hari. Ia menjadi sebuah pintu eskapisme yang membuat pikiran kita bervakansi pada banyak hal. Karya bukan sebuah soal esai dalam ujian, ia tak harus dipecahkan menurut saya.

 

 

Saya senang menganggap bahwa melihat karya adalah sebuah pengalaman berkesenian, laiknya kita sedang bertanding sepakbola, sedang memasak dan beragam kegiatan lainnya. Ia memang menghadirkan persoalan tapi tak selamanya harus dipecahkan. Apa salahnya kita mengerti bahwa kita tak benar-benar mengerti. Egois rasanya ketika semua hal harus kita pahami, karya mengetuk saya untuk terus merasakan hal ini.

 

 

Permasalahan ini buat saya menarik karena bukan soal interaksi kita dengan karya. Saya ingat sebuah esai Marco Kusumawijaya dalam mencermati perangai masyarakat kota yang senang mengunjungi pusat perbelanjaan, ia menulis, “Bukankah kelas menengah Jakarta suka bertandang ke Mal antara lain karena di sana sebenarnya mereka bertemu justru dengan orang-orang yang sederajat, bukan yang berbeda-beda dengan mereka? Singkatnya rasa nyaman karena orang tak melihat dan menyadari sama sekali apa yang ada di luar.”

 

 

Jangan-jangan laiknya alasan kita pergi ke pusat perbelanjaan, alasan kita untuk berupaya keras memahami karya adalah karena tak ingin kenyamanan kita diganggu. Kita terbiasa untuk terus-terusan hidup dalam keseharian yang dapat dipahami dan diukur. Kemudian kita cenderung untuk terus menyelesaikan apa yang tak bisa kita selesaikan. Boleh jadi karya adalah sebuah gangguan dalam kehidupan sehari-hari kita, yang tak meminta dijawab namun hadir di depan mata.

 

 

Upaya kita untuk terus memahami adalah indikasi sejauh apapun kita mencoba berlari dari kehidupan sehari-hari sebenarnya pola pikir kita tak pernah lari. Kita memperlakukan karya layaknya pekerjaan di kantor, yang harus dipecahkan dan dipahami. Kita tak membiarkan diri kita terganggu, seperti layaknya kita yang memilih nyaman pergi ke mal tanpa diganggu masyarakat kelas lainnya.

 

 

Saya ingat sebuah scene dalam Toilet Blues, saat itu Anggalih menginap di sebuah motel kecil. Ia berada satu ruangan dengan seorang perempuan anonim. Dengan kikuk, Anggalih bertanya pada perempuan tersebut, “Ada yang bisa saya bantu Mbak?”. Sang perempuan hanya diam saja.

 

 

Anggalih adalah seorang calon pastor, dalam motel itu ia seperti menara babel yang bicara dengan bahasanya sendiri. Di luar lingkungan seminari Katolik, Anggalih tak bisa apa-apa. Jangan-jangan Anggalih adalah wajah kita yang tak bisa berbuat apa-apa di luar kesibukan sehari-hari kita. Bahkan, untuk sekadar menikmati sebuah karya kita sampai harus bertanya, “Ada yang bisa saya mengerti Mbak?”

 

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: