Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Ada satu cerita kecil yang selalu saya suka tentang epos kemerdekaan. Bukan cerita besar tentang penculikan Rengasdengklok, pun soal perbedaan pendapat kaum tua dan muda perihal rencana proklamasi. Sebuah cerita yang saya suka justru muncul pasca proklamasi. Cerita kecil ketika Soekarno memesan lima puluh tusuk sate.

 

 

Bung besar ini memesan sate pada seorang tukang sate yang diceritakan tanpa alas kaki dan tampak lusuh. Beberapa sumber mengatakan ia memakannya di pinggiran selokan yang kotor. Ini menarik karena boleh jadi “keppres” pertama anak didik Tjokro ini bukan soal hal besar, tapi sebuah perintah pada rakyatnya, “Buatkan saya lima puluh tusuk sate”.

 

 

Bagi saya cerita ini magis, ini menunjukkan bahwa bangsa ini dibangun oleh manusia-manusia biasa. Manusia yang bisa lapar dalam gegap gempita sebuah sejarah paling besar negeri ini, boleh jadi. Selain cerita tentang klise foto proklamasi yang dikubur di bawah pohon, cerita pesan sate ini bagi saya kisah paling humanis dari sebuah cerita besar.

 

Saya mengingat kembali cerita ini setelah membaca buku “Dinamo” karya Usman Hamid yang terbaru. Usman bercerita tentang sepak terjangnya dalam aktivisme yang menemui hilirnya (setidaknya sampai saat ini) di change.org. Cerita Usman sangat apik, personal dan terasa dekat, aktivisme tidak ia dudukkan pada posisi laiknya menara babel. Ia seperti, mengambil istilah Andreas Harsono, teman lama yang bertemu kembali.

 

 

Ada satu cerita dalam buku tersebut yang membuat saya terharu. Diceritakan di tengah aktivisme yang Usman lakukan, ia menikahi seorang perempuan yang biasa disapa dengan Puput. Mereka menikah di Masjid Sunda Kelapa Menteng. Satu kisah kecil pasca pernikahan mereka sangat menyentuh buat saya.

 

 

Diceritakan pasca pernikahan mereka tak tahu harus pergi ke mana, akhirnya mereka memutuskan untuk ke rumah kerabat di Bogor. Ibunda Usman berpesan agar mereka terlebih dahulu membeli kasur. Namun, Usman ngeyel tak membeli, kisahnya sangat konyol tapi manis.

 

 

“Loh, kok enggak ada kasur, Man?” tanya Puput pada Usman ketika sampai di rumah. “Aku kira Umi saranin beli yang baru karena di sini ada kasur yang lama. Ternyata beneran enggak ada.” Dan mereka pun tertawa berbarengan.

 

 

Kisah itu terkesan sederhana, namun ada satu narasi kecil yang saya suka dari cerita itu. Pasca riuh rendah aktivismenya Usman kembali pada satu cerita kecil, sebuah keluarga kecil. Ia berjuang untuk mewujudkan hal tersebut. Seperti pesanan sate Bung Karno, ia menawarkan sebuah negasi bahwa pada akhirnya kita akan kembali ke hari-hari biasa.

 

 

Cerita Sate Bung Karno dan kasur Usman ini membawa saya untuk menelusuri sebuah narasi kecil. Awalnya saya tertarik menelusuri sebuah pertanyaan sederhana, “Mengapa pemilu presiden kali ini didominasi oleh relawan?” Dengan pertanyaan turunan apa motif orang menjadi seorang relawan?

 

 

Saya penasaran dengan hal tersebut karena sebuah pernyataan dari Philips Vermonte, salah satu orang yang saya anggap guru, dia pernah mengatakan mengutip Mancur Olson, bahwa betapa rumitnya mendorong aksi kolektif, ia menyebutnya dengan istilah the problem of collective action. Dalam tulisannya di sini, Mas Philips mencontohkan Indonesia Mengajar menjadi satu gerakan yang berhasil mematahkan hal itu. Saya penasaran kenapa dalam pemilu kemarin ada indikasi relawan juga berhasil mematahkan hal tersebut.

 

 

Saya kemudian membuat janji dengan beberapa orang, sayang saya belum menemukan jawaban atas pernyataan Mas Philips, tapi saya menemukan sebuah cerita-cerita yang membuat saya percaya pada satu hal lain.

 

 

Orang pertama yang saya temui adalah Aquino Hayunta, seorang pegiat di Indorelawan – organisasi nirlaba yang bergerak pada pengelolaan relawan. Saya ingin mengetahui lebih dalam tentang konsep relawan. Ia sangat ngelotok dengan hal ini, namun ada satu kisah di luar konteks relawan yang menurut saya menyentuh.

 

 

Malam itu Aquino datang terlambat, ia mengirim pesan pendek pada saya bahwa ia harus mengantar istrinya terlebih dahulu. Sebenarnya ini janji kedua saya dengan beliau, sebelumnya ia meminta maaf karena harus mengundurkan jadwal, saat itu istrinya sedang berulang tahun.

 

 

Saya mewawancarai Aquino hampir dua jam lamanya, wawancara itu terhenti ketika rekannya sesama pegiat sosial-politik, John Muhammad datang. Sebelumnya saya pernah diminta Mas Philips mewawancarai John Muhammad sekitar satu tahun lalu namun wawancara itu tak terlaksana. Baru pada malam itu saya berhasil menemui John.

 

 

Gaya John Muhammad sangat kasual, kemeja kotak-kotak, celana pendek, dan topi baseball. “Bro, ini dia nanya kenapa pilpres kemarin banyak relawannya?” tanya Aquino saat John memperkenalkan diri pada saya. “Itu karena konspirasi Wahyudi bro,” jawab John berkelakar dengan mimik yang tetap serius. Kami kemudian tertawa dibuatnya.

 

 

Selanjutnya John bercerita panjang lebar soal bagaimana sebaiknya arah gerakan relawan ke depan. Ia mengatakan yang terbaik adalah dengan kritis partisipatif, mengawal si pemimpin dengan tetap partisipatif. Saya mendengarkannya dengan baik. Saya banyak belajar dari dua orang di depan saya. Bukan hanya soal narasi gerakan, kalau itu saya bisa membacanya dari sebuah teks, mereka mengajari lebih dari itu.

 

 

Baik Aquino pun John seperti sedang mengirimkan sebuah pesan sederhana mereka menang dalam keseharian. Pertarungan aktivisme boleh jadi bukan soal gegap gempita. Tapi pada titik-titik keseharian, tentang bagaimana menyeimbangkan relasi antara gerakan dengan rumah tangga, bagaimana menyikapi beragam hal dengan banyolan yang menyehatkan. Mereka menaklukkan keseharian.

 

 

Dalam buku Usman disebutkan John salah satu orator di Trisakti saat Reformasi berlangsung. Enam belas tahun setelah itu ia tetap bisa berkelakar soal konspirasi wahyudi, ia memenangkan kesehariannya. Ia memenangkan pertarungan keseharian yang mungkin membosankan bagi kebanyakan orang.

 

 

Jangan menyepelekan keseharian, ada satu scene di film “Di Balik Frekuensi” yang sangat apik memotret ini. Pada scene ini kamera menyorot Luviana, jurnalis Metro TV yang gigih melakukan protes terhadap ketidakadilan pada dirinya, saat itu ia sedang menuju ke ATM bersama anaknya yang masih kecil. Ia mengecek saldo tabungannya di mesin penarik uang tersebut. Nominalnya sangat kecil, wajahnya layu. Kita tahu ia berhadapan dengan sebuah realita kesehariaan. Dan meski getir bagi saya ia tetap memenangkannya.

 

 

Pagi ini saya mengingat itu semua ketika ibu bertanya, “Abis pemilu-pemiluan terus apa ya Le?” tanyanya polos. Ya setelah gegap gempita ini kita akan kembali pada keseharian. Pada sate Bung Karno, kasur Usman, kisah ulang tahun istri Aquino, pun kemeja kotak John. Tapi bukankah itulah lawan terbesar kita, memenangkan keseharian? Ia tak terlihat tapi selalu bergeliat. Tak ada gegap gempita di sana tapi ia selalu bertanya pada setiap kita.

 

 

Saya kemudian mengingat sebuah tulisan Usman di bukunya tentang bagaimana Change menggerakkan opini publik. “Saya merasa cerita personal sesorang bisa memiliki kekuatan dalam sebuah percakapan publik. Tentu saja masalah yang sedang dihadapi orang itu tetap bisa dihubungkan payung hukum. Namun, saya berusaha untuk selalu mengingat bahwa tidak semua orang paham hukum dan tidak semua orang peduli hukum.”

 

 

Setelah gegap gempita ini, saya sebenarnya rindu sebuah cerita personal. Sebuah cerita di mana bukan soal Bung Besar pun Si Pria Berpeci yang akan ada di setiap kelas di sekolah-sekolah kita. Tanpa cerita-cerita personal itu kita hanyalah kumpulan pengumpul epos besar.

 

 

Bisa jadi pertarungan terbesar adalah setelah gegap gempita ini. Pada hari-hari biasa yang tak terhitung jumlahnya, yang tak terhitung membosankannya, mereka yang menang adalah yang bisa menaklukkan keseharian ini. Memenangkan bukan dengan epos besar, tapi konsistensi yang solid. Konsistensi yang membuat cerita mereka begitu personal. Dan pada cerita-cerita personal itu saya sedang bersyukur negeri ini dibangun oleh manusia-manusia biasa, bukan malaikat tanpa cela. Karena malaikat tak mungkin bisa memesan sate di atas kasur dengan kemeja kotak-kotak dan memakannya saat ulang tahun istri.

4 thoughts on “Setelah Sate Bung Besar

  1. Yenni Saputri says:

    suka dengan kata-kata “memenangkan keseharian” kalau aku nangkepnya, tidak menyerah pada rasa bosan dan rutinitas. Tetap bisa tertawa, hidup, peka, waspada meski yang dihadapi itu-itu saja. Ah, ini hanya tafsiran saya sendiri. Keren mas Awwe.

    Like

    1. ardiwilda says:

      halo yenni, yup kadang yang luar biasa itu justru jadi orang biasa yang gak bosan pada rutinitas kalik ya? hehe terimakasih sudah berbagi pemikiran di blog ini 🙂

      Like

  2. Muhammad Azamuddin T says:

    Kakak Angkatan berapa di Indonesia Mengajar.

    Like

    1. ardiwilda says:

      saya angkatan 3 🙂

      Like

Leave a comment