Sidekick

Urip mung mampir ngejus

“Aweeee!” sapa perempuan itu setengah berteriak. Saya memicingkan mata menanggapi sapaan tersebut. Mungkin saya perlu ganti kacamata karena dalam jarak yang bisa dibilang dekat tak bisa melihat siapa yang memanggil. Sedetik kemudian saya sadar siapa yang menyapa saya dengan antusias.

 

 

Perempuan itu mengenakan kaus buntung, kacamata bundar ala hipster, dan senyum yang sangat hangat. “Sita!” balas saya tak kalah antusias. Lama saya tak berjumpa dengan kakak kelas saya di kampus ini. Seingat saya terakhir pada tahun 2012 atau dua tahun lalu, saat saya mengambil jeda cuti dari tugas mengajar di daerah. Tak banyak perubahan pada Sita malam itu, tapi mungkin karena lama tak berjumpa saya tak begitu mengenalinya.

 

 

Malam itu Sita menjaga stand ARK Galeri Jogja dalam pameran Bazaar Art Jakarta di Ballroom Ritz Carlton. Sebenarnya saya datang bukan untuk menonton pameran seninya, saya datang untuk menonton Papermoon Puppet Theatre dalam pementasan “DIA dan Rahasia-Rahasia dalam Hidupnya”. Namun, karena saya datang lebih awal dari pementasan, akhirnya saya menyempatkan diri berkeliling dan tak sengaja menemui Sita.

 

Sita saat itu menunggu stand galeri seni yang ia aktif di dalamnya dengan wajah sangat ceria. Di belakangnya ada instalasi “Java’s Machine” karya Agustinus “Jompet” Kuswidananto, karya yang mencuri banyak perhatian. Saya menyempatkan diri mengobrol dengan senior saya ini. Ia tetap hangat seperti dulu.

 

 

Ia memulai cerita dengan menyatakan bahwa ia kini aktif di ARK. Bertanya bagaimana kabar saya dan apa yang saya kerjakan saat ini. Ia kemudian menceritakan sedikit aktivitasnya di ARK. Sesekali obrolan kami terpotong ketika pengunjung pameran bertanya sedikit-sedikit mengenai karya yang dipamerkan oleh galeri seni tempat Sita bergiat.

 

 

Melihat Sita ada kerinduan pada saya mengingat Jogja. Mengenai kota yang membentuk saya. Malam itu Jogja boleh jadi menjelma menjadi Sita. Ramah, cerdas dan hangat. Ia kemudian mengatakan, “Dito dan Mira juga mau ke sini lho We, kamu enggak ketemu po?” tanyanya. Saya memang sempat janjian dengan dua teman lama tersebut, namun batal karena waktu yang tak pas.

 

 

Pagi ini saya membaca kabar tentang Mas Dito. Saya membaca tulisannya di situs Majalah Cobra. Ia menulis tentang proyek terbarunya yang membuat pameran bagi para tukang (atau juru – saya tak tahu istilah yang tepat) foto di kawasan Kaliurang, Jogjakarta. Beberapa kali saya menyaksikan pameran Dito baik di Galeri Nasional maupun di ARTE, JCC, bagi saya ini karyanya yang paling apik. Naratif dan sederhana.

 

 

Dulu saya sering berinteraksi dengan Dito dan Mira, tapi sekarang saya lupa kapan terakhir kali mengobrol dengan mereka berdua. Saat bertemu dulu banyak hal yang kita bahas mulai dari meledek asmara saya sampai pilihan-pilihan hidup. Menyenangkan mengobrol dengan mereka, seperti sedang dijamu namun tak sedang dinasehati.

 

 

Mira sendiri masih kerap mengirim pesan melalui aplikasi whatsapp pada saya. Ia biasanya mengirim info sebuah kegiatan yang sedang ia dan Mas Dito gagas. Boleh jadi itu sebuah pesan massal pada setiap kontak di telepon selularnya. Tapi setiap saya membuka pesan tersebut ada kehangatan yang berjarak di dalamnya. Seperti terasa saya pernah berada di sana namun sekarang asing dengannya.

 

 

Sita, Dito, Mira seperti sebuah interupsi di keseharian saya. Ia seperti sebuah akhir pekan. Seperti pengingat ada hal-hal yang perlu dinikmati sebagai manusia. Mereka selalu berhasil mengintervensi itu pada diri saya. Tak pernah gagal.

 

 

Saya ingat sebuah testimoni untuk Ashadi Siregar di buku “Penjaga Akal Sehat dari Kampus Biru”. Dalam salah satu tulisan tokoh untuk Bang Hadi, begitu ia biasa disapa mahasiswanya, sang penulis (saya sedikit lupa siapa yang menulis ini, seingat saya Dodi Ambardi atau Garin Nugroho) mengatakan Bang Hadi hidup di dua dunia. Ia hidup dalam geliat akademis Jogja Utara dan geliat kesenian di Selatan. Bagi yang hidup di Jogja mungkin tahu perbedaan suasana Utara dan Selatan. Utara lebih dekat dengan suasana akademis karena didominasi kampus, khususnya UGM, sementara Selatan dekat dengan kantung-kantung kesenian. Tentu dikotomi ini sekarang mulai pudar, sudah terjadi saling silang diantaranya.

 

 

Boleh jadi pasca menjadi pekerja kita larut untuk menjadi satu kutub diantaranya. Yang kantoran dan yang menikmati hidup. Kita tak pernah berpikir mencampur diantaranya. Mungkin karena irisan kita dengan keduanya begitu minim. Kelemahan utama kita adalah larut dalam meja kerja. Lupa merayakan ada sesuatu di luar sana sebagai manusia. Yang tak punya esensi lantas kita usir pergi.

 

 

Keseharian Jakarta laksana kulakan tinta emas. Mereka yang berjuang untuk diabadikan namanya. Saya mengingat nukilan tulisan Emha untuk Bang Hadi, “Ia tidak berebut di pasar, tidak berlomba untuk tampil dalam podium sejarah. Dia tidak kulakan tinta emas untuk mengabadikan diri dan eksistensinya”.

 

 

Sita, Dito, Mira pada akhirnya adalah sebuah jeda dan pengingat. Mereka menjalani keseharian tanpa dikotomi itu. Mencintai pekerjaannya dengan sepenuh hati tanpa melupakan esensi bersenang-senang.

 

 

Pagi saat mengetik ini rindu rasanya kembali ke kedai kecil milik Dito dan Mira, LIR. Sekadar berbagi cerita dan mengambil jeda. Mungkin Sita akan menyempatkan diri bergabung bersama. Dito sepertinya akan kembali meledek asmara saya, Mira mungkin akan sibuk di dapur membuat kudapan untuk kita nikmati bersama dan Sita bertanya tentang pengalaman mengajar saya. Pada perbincangan itu saya seperti kembali menemukan diri saya yang lama. Persis seperti ketika Sita memanggil saya di malam itu, sebuah panggilan yang terasa lama tak terdengar.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: