Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Malam ini saya kembali memandang puluhan karton kecil yang tertempel di dinding. Puluhan karton tersebut ditempel oleh Ayu Kartika Dewi, biasa saya sapa dengan Mbak Ayu, saat beberapa hari lalu berbagi mengenai mendapatkan beasiswa. Karton tersebut adalah salah satu alat yang ia gunakan untuk memfasilitasi jalannya diskusi.

 

 

Bukan sekali itu saja Mbak Ayu menggunakan karton untuk memfasilitasi jalannya sebuah diskusi. Beberapa kali SabangMerauke, program yang ia gagas, melakukan diskusi di tempat saya. Pada kesempatan diskusi itu saya beberapa kali menguping dan mencuri lihat. Meski tak secara detail memahami namun ada satu narasi besar yang saya tangkap.

 

 

Program SabangMerauke yang digagas Mbak Ayu, bagi saya menarik tak hanya soal gagasan yang dibawa. Gagasannya sederhana tentang pengajaran toleransi yang selayaknya tak hanya dipelajari tapi juga harus dialami. Program ini kemudian melakukan pertukaran pelajaran antar daerah untuk menanamkan toleransi. Bagi saya gerakan ini justru menarik dalam koridornya yang lain, tentang pengelolaannya.

 

 

Saya gambarkan sejenak bagaimana mereka berdiskusi. Mereka menggunakan metode fasilitasi yang tidak biasa. Masing-masing orang menuliskan gagasannya di sebuah karton untuk kemudian dibahas dan dicari solusinya bersama. Rapi dan konkret.

 

 

Dari curi dengar diskusinya saya jadi sadar ada satu hal yang kerap luput dari gerakan (sebenarnya saya tak suka istilah ini) sosial. Gerakan semacam ini biasanya didorong oleh keresahan, oleh sebuah kegelisahan bersama. Niat baik menjadi pemicunya, namun biasanya nol besar di pengelolaan. Padahal niat baik tanpa rencana yang baik adalah percuma belaka.

 

 

Dari tiap fasilitasinya saya belajar banyak bahwa bukan tak mungkin program sosial dikelola secara profesional, dengan langkah yang rapi dan konkret. Kita tak mengelak tentu ada kultur yang berbeda antara keduanya. Tapi, justru irisan ini yang harus dikelola dengan baik.

 

 

Saya teringat ketika mewawancarai Arief Aziz dari Change.org setahun lalu. Arief saat itu bercerita ia sama sekali tidak tahu tentang gerakan sipil sebelum masuk Change. Ia lebih banyak berurusan dengan sektor privat daripada gerakan sipil. Beruntung ia bertemu dengan Usman Hamid yang merupakan salah satu penggerak Kontras pasca Cak Munir.

 

 

“Lewat Usman saya belajar gimana masyarakat sipil bergerak, dari saya mungkin Usman juga belajar bagaimana sebuah organisasi dijalankan dengan baik,” begitu kira-kira ucapan Arief setahun lalu. Mereka berasal dari dua kultur yang berbeda namun justru semakin menguat karena memiliki konteks kekuatan yang berbeda, gerakan sipil dan pengorganisasian yang rapi ala sektor privat.

 

 

Mereka kemudian mengenalkan sebuah konsep bernama “Crisitunity” yang merupakan kepanjangan dari Crisis and Opportunity yang diambil dari sebuah dialog di The Simpsons. Konsep ini seperti pencampuran menarik antara spirit crisis ala Usman dengan Opportunity bawaan Arief. Irisan ini menjadikan narasi-narasi dalam Change berbeda dengan narasi kampanye lainnya. Jika dikulik lebih dalam kampanye Change begitu personal ala kegelisahan gerakan sipil, cum sangat rapi seperti aktivasi yang dilakukan agency.

 

 

Saya juga teringat sebuah perdebatan sengit di kantor. Saat itu salah seorang rekan saya yang berasal dari latar belakang ekonomi mengeluhkan tidak adanya matriks yang jelas antara penyebaran logistik dengan tingkat elektabilitas seorang tokoh. “KPI (Key performance indicator-nya) enggak jelas, harusnya kan ada ukuran antara logistik sama elektabilitas,” keluhnya. Spontan seorang mentor di kantor yang merupakan pengamat politik membalas lewat perspektifnya.

 

 

“Tentu enggak semua bisa diukur pakai KPI, ada konteks-konteks politik yang tidak bisa dilihat menggunakan hal itu. Kita juga harus paham itu,” sergahnya membalas keluhan teman saya. Ia kemudian menambahkan bersyukur bisa bercampur dengan teman-teman berlatar belakang sektor privat. “Dulu pernah kampanye isinya orang gerakan semua, mumet juga jadinya, kalau isinya anak perusahaan semua juga enggak ada yang ngerti konteks, pusing jadinya,” ujar mentor tersebut berkelakar.

 

 

Dialog dan irisan-irisan itu sebenarnya punya sebuah pesan kecil bahwa proporsi itu penting. Proporsi niat yang baik dengan pengelolaan yang baik, proporsi antara sikap kritis dengan langkah yang konkret, proporsi antara banyak hal lainnya.

 

 

Saya senang mengutip Ayu Utami untuk menggambarkan keadaan tersebut, “Di alam dunia ini, yang efisien datang bersama keseimbangan…Dalam penulisan, keseimbangan simetris itu bisa diterapkan untuk sisi abstrak-konkret, universal-partikular, obyektif-subyektif, dan dualitas lainnya.” Saya setuju dengan Ayu Utami, tulisan pun (bagi saya) penciptaan narasi adalah soal bagaimana menciptakan proporsi yang seimbang. Yang proporsional yang kemudian menarik hati.

 

 

Proporsi SabangMerauke menarik hati saya. Tentu tak mungkin seratus persen proporsional, tapi ia mendudukkan sebuah narasi dengan spirit gerakan dan pengelolaan yang profesional dalam konteks yang pas.

 

 

Malam ini ketika melihat lagi karton-karton kecil di dinding, saya teringat pertanyaan adik kelas beberapa jam lalu saat kami melakukan riset film dokumenter. “Mas kenapa kok mas malah jadi kayak manager bukan sutradara, sampai ngurus jadwal pra produksi segala?” Karena bingung harus menjawab apa saya hanya menjawabnya dengan klise. Malam ini saya tahu jawaban asli pertanyaan tersebut, sifat itu datang dari karton-karton di dinding, dari rekan-rekan SabangMerauke.

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: