“Endy biasanya tak pernah memanggil saya dengan panggilan Mbak, dia panggil saya Janet saja, jadi aneh rasanya dipanggil Mbak Janet,” ujar Janet Steele malam itu. Janet sendiri adalah seorang profesor jurnalisme dan sejarawan di George Washington University. Setiap tahun ia mengunjungi Indonesia untuk berbagai keperluan, misalnya mengajar program menulis yang diadakan Yayasan Pantau. Endy yang dimaksud Janet adalah Endy Bayuni, Redaktur Senior Jakarta Post.
Malam itu Janet meluncurkan buku “Email dari Amerika”, sebuah kumpulan tulisannya di Surat Kabar Surya yang terbit di Surabaya selama beberapa tahun. Peluncuran ini diadakan di @america dengan menghadirkan Janet, Andreas Harsono, dan Endy Bayuni. Buku Janet terasa sederhana dan memiliki perspektif yang sangat “ngIndonesia”.
Terlepas dari bukunya ada satu momen yang membuat saya tersenyum. Malam itu Janet dipanggil dengan sapaan Mbak Janet oleh para penonton. Bahkan Endy yang merupakan kawan Janet sampai-sampai menyapa penulis yang sebelumnya meneliti tentang sejarah Majalah Tempo ini juga dengan sapaan Mbak. Alhasil Janet kikuk dengan sebutan tersebut.
Endy mungkin sedang menempatkan dirinya sebagai bagian besar dari penonton yang hadir malam itu. Ia tidak sedang ingin menjadi Endy yang merupakan seorang teman Janet, ia memilih untuk menjadi satu bagian kelompok besar. Fenomena semacam ini sering saya temui dalam kehidupan sehari-hari.
Semenjak kakak kandung saya memiliki anak ada substitusi panggilan di keluarga inti. Bapak dan ibu kini menyebut diri mereka Akung (merujuk pada Eyang Kakung, sapaan kakek dalam masyarakat Jawa) dan Uti (Eyang Putri). Kakak saya yang kedua disapa uncle dan saya sendiri dipanggil Om. Anehnya sapaan ini tak hanya dipakai saat melakukan relasi dengan keponakan saya tersebut, tapi juga dalam relasi-relasi lainnya.
Saat bapak saya memanggil ibu misalnya, ia tak lagi memanggilnya dengan sebutan ibu, melainkan Uti. Misalnya ia bertanya pada saya, “Uti di mana? HP-nya bunyi,” tanya bapak. Panggilan-panggilan ini menjadi kata ganti diri sendiri dalam relasinya dengan orang lain.
Kata ganti ini mungkin terkesan simpel tapi ada sebuah relasi berbeda yang saya rasakan karena hal itu. Ada perasaan perubahan kecil yang terasa asing namun harus saya terima. Mungkin seperti saat Janet merasa kikuk dipanggil Mbak oleh Endy.
Pergantian kata ganti diri sendiri ini mengingatkan saya pada perkataan seorang rekan saya, Dwima. Saat main ke kantor saya, bankir salah satu bank nasional ini bercerita banyak soal pilihan kariernya. Saya hanya mendengarkan sambil minum es teh yang sebelumnya saya buat.
“Ya mungkin orang dewasa itu jadi dewasa karena tuntutan dari luar. Lo mau nikah misalnya atau lo harus ngehidupin keluarga. Juga tuntutan-tuntutan lainnya yang sifatnya bukan dari diri lo tapi dari luar,” jelasnya panjang lebar. Ia memang sedang mempersiapkan pernikahan dengan rekan kantor saya tahun depan. Kalimat Dwima tadi meluncur dengan deras dan tanpa tedeng aling-aling.
Dwima ada benarnya, bisa jadi kedewasaan justru muncul dari faktor-faktor luar. Faktor itu boleh jadi sangat sederhana. Pergantian panggilan untuk diri sendiri jangan-jangan salah satunya. Mungkin faktor-faktor kecil yang membuat kita merasa sedikit kikuk dengan keadaan tapi harus menerimanya.
Bagi saya substitusi panggilan pada diri sendiri ini punya relasi konteks yang lebih besar, Pada panggilan diri sendiri ini kita menempatkan diri kita sebagai individu yang terikat pada orang lain. Uti, Akung atau dalam kasus saya Om misalnya adalah sebuah relasi dengan keponakan saya, bukan lagi saya seorang.
Pada konteks seperti itu maka kita menjadi bagian dari sesuatu yang besar, seperti saat Endy Bayuni menjadi bagian dari penonton dan rela memanggil Janet dengan sebutan Mbak. Tentu semakin sering kita beririsan dengan banyak orang, akan selalu ada atribusi baru terhadap panggilan diri kita. Mungkin kekikukan Janet menghinggapi kita semua, sayangnya hanya Janet eh Mbak Janet yang berani jujur mengatakannya.
Hey, terima kasih banyak! Tulisan ini menarik. Ketika saya mengajar di UI pada tahun 1997-8, tentu saya dipanggil ibu Janet, atau prof Janet. Saya jauh lebih suka membuat penelitian di Tempo, di mana saya dipanggil mbak Janet. Ada rasa kekeluargaan. Tapi benar, Endy tidak pernah memanggil saya apa saja kecuali Janet. 🙂
LikeLike
Halo Janet eh Mbak Janet, terimakasih atas responnya. Selamat untuk peluncuran bukunya, saya menikmati sekali email dari amerika 🙂
LikeLike
nyimak aja ah..
LikeLike