Sidekick

Urip mung mampir ngejus

“Kalau ojek sama taksi harganya sama ya pilih naik ojek tho, mesakke (kasihan) tukang ojek kalau semua naik taksi,” ucap Chiro. Sore itu ia bertanya cara menuju ke kawasan bisnis SCBD dari kantor saya. Ia datang ke kantor bukan tanpa alasan, Sabtu ini ia akan terbang ke Negeri Paman Sam untuk melanjutkan studi. Sebelum berangkat ia sowan ke Mas Anies di kantor. Pasca bertemu Mas Anies ia pamit dengan saya sambil mengobrol singkat di depan kantor. Pertemuan ini mungkin menjadi pertemuan terakhir saya dan dirinya sebelum ia ke Amerika.

 

Perkenalan saya dengan Chiro hadir lewat sebuah buku kecil hadiah dari teman sesama guru di daerah, Acha. Ia memberikan saya sebuah buku kecil karangan Chiro, sepertinya buku itu dicetak terbatas. Itu adalah buku yang ia persembahkan untuk ayahnya. Ceritanya sederhana, storytellingnya biasa, narasinya tidak istimewa, tidak ada yang spesial dari buku itu kecuali satu hal. Saya selalu percaya relasi ayah dan anak laki-laki adalah relasi paling rumit, Chiro berhasil mengurai itu dengan baik.

 

Membaca buku itu membuat saya penasaran dengan Chiro. Acha beberapa kali menceritakan tentang lelaki alumnus Fakultas Ekonomi UI ini. Sayangnya setiap penceritaannya Acha selalu mengakhiri dengan, “Coba deh lo ketemu dulu sama Chiro.” Dari situ saya makin penasaran dengan sosoknya.

 

Waktu berlalu dan beberapa bulan setelahnya saya benar-benar bertemu dengan Chiro. Saat itu saya membantu sebuah kegiatan yang ikut ia prakarsai. Pertama bertemu ia menyalami saya dengan hangat. Sosok yang ramah pikir saya saat itu, sesederhana itu saja. Beberapa jam setelah jabat tangan itu ada satu momen yang membuat saya hormat pada sosoknya.

 

Siang itu kami satu meja dengan dua orang rekan lainnya. Chiro sedang melaksanakan tugasnya sebagai asisten dosen. Beberapa pekerjaan mahasiswa ia bawa untuk dinilai. Detail sekali caranya menilai, ia perhatikan satu-satu jawaban mahasiswa. Karena sedikit lelah, ia kemudian rehat sebentar dan bercerita satu hal.

 

Ia bercerita salah satu mahasiswanya ada yang titip absen belum lama ini. Saat itu ia marah. Di depan kelas ia bertanya siapa yang “rela” menandatangani temannya yang sebenarnya tidak hadir. “Ra ono le ngaku (tidak ada yang mengaku),” ujarnya masih sedikit geram. Ia lalu keluar dari kelas dan barulah ada satu mahasiswa yang mengaku dan menemuinya di luar kelas. Nasehatnya pada mahasiswa tersebut membuat saya akan terus mengingat Chiro dengan adegan ini.

 

“Integritas itu ditentukan oleh pilihan-pilihan kecil dalam hidupmu. Pilihan-pilihan kecil itu merefleksikan dirimu yang sebenarnya,” jelas Chiro menceritakan kembali apa yang ia sampaikan pada mahasiswanya. Ia menambahkan, mungkin titip absen terkesan sepele tapi itu pilihan kecil yang menunjukkan seberapa jauh integritas seseorang. Dan ketika itu dilakukan oleh mahasiswa, sejatinya ada pelanggaran besar pada integritas si orang tersebut. Saya merenung mendengarkan apa yang diungkapkan Chiro.

 

Tepat setelah kejadian itu saya menaruh harap pada Chiro. Saya kemudian diam-diam mencari tahu soal sosoknya. Pemikirannya, apa yang ia lakukan, narasi yang hendak ia sampaikan. Dan ya saya percaya pada dirinya.

 

Chiro menarik karena beberapa hal bagi saya. Buat saya ia seperti sebuah jembatan antara narasi kecil dan besar. Kebanyakan kita terjebak pada salah satu di antaranya. Hal-hal besar menjadi begitu menakutkan dan hal kecil begitu terlihat remeh temeh. Chiro menyambungkan keduanya dengan baik. Lihat bagaimana ia menarasikan integritas, bagaimana ia mengurai relasi rumit antara ayah dan anak laki-laki. Semua itu boleh jadi hal-hal yang sulit sekali untuk dinarasikan tapi ia berhasil menceritakannya dengan hal-hal keseharian, yang setiap hari kita temui. Ia seperti seorang antropolog dengan perspektif yang sangat makro.

 

Di titik itu saya mengenang kembali obrolan dengan Mas Shofwan, salah satu dosen Hubungan Internasional UI, tentang beberapa anak muda yang kami kagumi. Saya menyebut nama Chiro, Mas Shofwan menganggukkan kepala. Kami kemudian membahas mengenai dirinya.

 

“Chiro itu menarik, logika dia itu logika pergerakan ala organisasi-organisasi konservatif tapi menelurkan sesuatu yang kontekstual dengan zamannya,” buka Mas Shofwan. Dosen ini menambahkan, “Kebanyakan kita terjebak di salah satu di antaranya, yang kontekstual dengan zaman tidak paham logika-logika pergerakan, pun sebaliknya jadinya seperti jalan sendiri-sendiri. Chiro punya irisan yang baik dengan keduanya.”

 

Mas Shofwan ada benarnya, Chiro bagi saya adalah sebuah “Axis Mundi” terbaik yang pernah saya temui. Axis Mundi adalah sebuah istilah yang dipakai Ayu Utami dalam penulisan. Sederhananya ini adalah konsep saat penulis atau pengarang berada di titik tengah atau menjadi poros atas hal-hal yang bertentangan. Misalnya general dengan spesial, universal dengan partikular, penting dengan menarik, dan banyak lainnya. Satu pengarang biasanya terjebak di satu kutub, maaf saya ralat bukan satu pengarang, satu orang. Chiro menarasikan axis mundi-nya dengan baik.

 

Axis Mundi akan menjadi percuma tatkala tak ada keberpihakan. Sore ketika Chiro pamit dan bertanya naik apa idealnya ke SCBD, ia menunjukkan keberpihakannya. Ojek, iya ia memilih berpihak pada ojek. Saat ia menyatakan hal itu saya ingat ucapannya tepat di hari pertama kita bertemu, “Integritas ditentukan oleh pilihan-pilihan kecil dalam hidup kita.” Chiro menunjukkan integritasnya dengan memilih ojek, sebuah pilihan yang terlihat kecil namun penuh keberpihakan.

2 thoughts on “Ojek Chiro

  1. kinkin says:

    Mas Chiro memang sudah berkilau sejak SMA Kak Awe. Hehe. Saya pun mengagumi sosoknya. Alhamdulillah, ia tetap rendah hati di tengah ‘kegemilangan’-nya.

    Aniwe ya, percakapan2 di masa yang udah lewat ini bisa tetep kamu ingat karena kamu rajin mencatat, atau memang daya ingatmu tokcer? 😀

    Like

    1. ardiwilda says:

      jos gandos berarti ya chiro ini Kin.
      saya kalau ketemu orang baru senengnya merhatiin hal2 kecil dan selo dari dirinya. biasanya kalo cerita saya dengerin aja. Dulu sering nyatet ucapan orang atau hal2 lucu di buku dengan nulis notes di hp tapi mengingat hpku saiki mulai bosok jadi kuganti dengan nyatet di moleskine-ku hehe. catatan itu yg biasanya call back kalo aku pengen nulis sesuatu kin 🙂

      Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: