Mungkin lebih dari 20 kali saya menonton “Tiga Hari Untuk Selamanya”. Saya senang karena kecemasan-kecemasan masa muda tergambar dengan sangat apik di film ini. Saking seringnya saya menyaksikan film ini, saya hafal scene-scene yang ada. Scene di Sendang Sono bagi saya adalah yang terbaik.
Dalam scene tersebut Yusuf dan Ambar, dua tokoh utama film ini, mengunjungi Sendang Sono yang terkenal dengan Patung Bunda Marianya. Alasan Yusuf ingin ke Sendang Sono ya karena memang ingin, tidak ada motif tertentu.
Adegan pembuka scene itu menarik, Ambar mendekati patung Bunda Maria lalu berkata, “Hai Bunda Maria, udah lama enggak ketemu.” Dengan sepatu onitsuka-nya Ambar lalu mendekati Yusuf, mengobrol banyak tentang hal-hal yang mereka takutkan di masa depan.
Malam sebelumnya keadaan tak sereflektif itu. Sebelumnya mereka menginap di mobil Peugeot milik Yusuf dan berbincang hal-hal bodoh. Soal pertanyaan apakah Yusuf pernah bersetubuh dengan perempuan dan tentang mitos-mitos umur 27 dan 29.
Sendang Sono kemudian mengubah dua anak manusia itu menjadi begitu reflektif. Di sela-sela obrolan mereka, terekam beberapa anak berangkat sekolah dan seorang ibu yang menyeka wajah anaknya dengan air pancuran. Sebelumnya Yusuf dan Ambar memang berinteraksi dengan banyak manusia namun semuanya komikal. Pemilik penginapan yang mesum, suami istri penjaja warteg yang bawel, penari ronggeng yang mistis, juga anak-anak band dengan kemuramannya. Hanya di Sendang Sono mereka menemui manusia yang sewajarnya.
Melihat Yusuf dan Ambar di Sendang Sono adalah mengeja diri kita. Kita yang terbata-bata pada sebuah interaksi biasa. Yang lebih asyik pada perbincangan malam di mobil Yusuf. Lantas sesekali bervakansi pada yang menyejukkan hati.
Bagi Yusuf dan Ambar Sendang Sono bukanlah sebuah ritual, ia sebuah tolehan.
Yang kita butuhkan adalah tolehan-tolehan tersebut. Tolehan bahwa ada waktu jeda dari sebuah keseharian, tolehan yang kita rayakan dengan kecil namun hangat.
Hari ini beberapa teman saya sedang menoleh dari kesehariannya. Menoleh untuk berefleksi sejenak, mungkin di sudut-sudut gereja atau sekadar mengunjungi rumah kembali.
Pada Ocha, Wili, Andrea, Bili, Anggun, Efan, Meiske, Daniel selamat menoleh, Selamat Natal.
Oh iya, setelah dari Sendang Sono, Yusuf dan Ambar lantas melanjutkan perjalanannya mengantar hantaran untuk pernikahan. Setelah tiga hari, akhirnya mereka sampai ke tujuan. Mungkin memang butuh sedikit menoleh untuk sampai ke tujuan. Sekali lagi, selamat menoleh, semoga di hari ketika kalian menoleh, kalian tahu ke mana akan beranjak, seperti halnya Yusuf dan Ambar.