Adi berdiri di pojok ruangan. Tak ada yang istimewa pada dirinya malam itu. Kaos T polos, sepatu tipe selop, dan tas rajut berwarna coklat. Setelah sekitar tiga puluh menit menunggu giliran bicara, ia mengemukakan pengalaman menulisnya.
“Waktu itu saya diminta mendesain Masjid, saya ini non-Muslim, maka saya berusaha meraba-raba seperti halnya saya mencoba memahami kursus ini,” ujarnya. Mendengar pendapat Adi, Mas Andreas Harsono salah satu mentor Kursus Menulis Narasi memintanya untuk menuliskan pengalaman itu. Mas Andreas mengutip epos Silaban dengan Istiqlal-nya. Adi membalas dengan mengatakan bahwa ia pernah menuliskannya di konteks.org.
Rabu Malam kemarin adalah pertemuan terakhir saya dengan Adi. Bersama sekitar lima belasan orang lainnya kami mengikuti Kursus Menulis Narasi yang digagas Yayasan Pantau.
Siang ini di sela-sela pekerjaan saya membaca tulisan Adi. Ia menulis awalnya mendapat klien membangun masjid dari seseorang di sebuah proyek yang sedang ia kerjakan. Pembangunan itu membawanya pada pengalaman dan pemahaman yang baru. Ia mengistilahkannya dengan dialog. Ia juga menggelitik dengan mengatakan bahwa TOR bangunan bukan jaminan sesuatu telah final. Lewat berdialog dan keterbukaan ia menemui perspektif lain.
Tak hanya Adi, dalam pertemuan terakhir kursus tersebut kami diminta berefleksi apa yang kami dapat selama hampir lima bulan. Banyak pendapat menarik malam itu, Adi adalah salah satu yang saya ingat.
Kebanyakan kami berpendapat dan mengapresiasi kursus ini karena secara pengajaran teknis penulisan sangat detail. Saya mengamini hal itu, tapi pasca membaca tulisan Adi siang ini, ada satu hal yang terlewat.
Peserta kursus ini terdiri dari beragam usia, kalangan, dan profesi. Adi misalnya seorang arsitek, Viriya bekerja sebagai jurnalis, Bagus (kini) mengabdi menjadi PNS, Beni adalah lulusan filsafat, Teddy bergiat di Bank Dunia, dan beberapa peserta lain bergulat dengan isu perempuan, kota, desain, bahkan kuliner. Ragam peserta dan diskusi yang terjadi di dalamnya punya efek yang saya kira penting.
Saya ingat ketika dulu kuliah, pengajaran penulisan begitu kering, sangat kering bahkan. Tak ada ruang untuk berekspresi. Penulisan tak ada bedanya dengan tuntunan resep makanan di tabloid mingguan. Akibatnya perspektif yang muncul adalah tulisan sebagai output. Tulisan adalah sebuah tujuan. Bisa menulis hardnews dan feature maka urusan selesai.
Kursus Narasi Pantau saya kira membalikkan itu semua. Kami memang diajarkan menulis dengan beragam formula. Tapi bukan itu premis utamanya, semangatnya adalah penyampaian nilai bersama. Apa yang masing-masing dari kami yakini benar. Tulisan menjadi sebuah nilai bersama, sebuah medium untuk sesuatu yang besar yang kita perjuangkan.
Dalam sebuah sesi Mas Andreas pernah mengilustrasikan membangun tulisan layaknya menaiki tangga. “Awalan harus konkret, konkret, dan konkret. Lalu kita daki satu per satu, perlahan. Di atas sana baru kita bicara soal demokrasi, korupsi, macam-macam hal besar lainnya,” paparnya.
Bagi saya ucapan itu mengirimkan sinyal tegas bahwa tulisan adalah sebuah medium, ia bukan tujuan itu sendiri. Layaknya medium lainnya, pertanyaannya tinggal untuk apa kita menggunakannya. Tulisan adalah tangga yang perlu kita daki untuk mencapai tujuan di atas sana.
Adi menggunakan itu dalam proses perancangan. Ia pernah berdiskusi dengan saya ingin menggunakan pendekatan-pendekatan narasi seperti wawancara mendalam dengan sumber primer untuk merancang sebuah bangunan. “Banyak orang misalnya mau punya rumah sekadar untuk pembuktian. Padahal bisa aja dia masih bisa tinggal sama orangtua, biarpun gue arsitek bisa aja kan gue bilang mending beli Harley Davidson aja, lebih mantep buat pembuktian,” kelakarnya di sela-sela kursus.
Menarik mencermati pendekatan Adi. Bahwa ketika ia menggunakan penulisan sebagai sebuah medium maka cara pandangnya menilai (bahkan) profesinya sendiri menjadi berbeda.
Saya kira kesadaran mengenai nilai-nilai bersama melalui tulisan ini penting. Tanpa ini maka tulisan menjadi begitu otoritatif, hanya jurnalis atau penulis yang berhak mengklaimnya. Menjadi ironis rasanya ketika medium berdialog menjadi arena yang begitu otoritatif.
Pun jurnalis penting untuk menyadari posisinya bahwa bukan hanya ia yang punya legitimasi. Viriya misalnya memiliki perspektif yang menarik. “Saya jadi kembali disadarkan bahwa menulis itu menyenangkan di tengah pekerjaan menulis yang terus menerus,” ujar jurnalis di Geotimes ini. Melalui kursus ini ia mencoba kembali melebarkan tangannya, mencoba berdialog. Dan ketika ia berdialog maka ia menyadari kembali arti penting posisinya sebagai jurnalis.
Meski kini saya tak lagi bisa bertemu Adi, Viriya, dan banyak lagi peserta kursus lainnya tiap Rabu Malam, saya akan mengenang dialog-dialog kami. Kemewahan berdialog dan kesadaran akan fungsi tulisan ini yang membuat saya mensyukuri perjalanan selama lima bulan.
Mengutip tulisan Adi, “Proses perwujudan karya ini masih panjang. Masih terbuka padang luas ruang dialog yang mungkin terjadi.” Rabu Malam lalu memang pertemuan terakhir tapi saya harap bukan menjadi dialog terakhir bagi kita.
***
Tulisan ini ditujukan untuk teman-teman kursus menulis narasi Pantau. Terima kasih telah berproses bersama selama lima bulan ini.