Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Ada satu komentar Robin Hartanto di Konteks yang menarik bagi saya. Robin saat itu mengomentari tulisan Adi yang bercerita mengenai prosesnya merancang sebuah masjid. Bagi Adi pengalaman merancang masjid tersebut amat personal dan berkesan.

 

Dalam artikel tersebut Robin berkomentar sederhana, “Jarang ada kesempatan bisa mengetahui cerita dapur sebuah proyek perancangan, apalagi diceritakan langsung oleh “chef”-nya sendiri. Biasanya kita hanya disajikan hasil jadinya. Itu sebabnya saya suka sekali dengan tulisan Ign Susiadi Wibowo.”

 

Seperti halnya Robin yang suka tulisan Adi, saya pun sangat menyukai komentar Robin. Komentar Robin mengingatkan saya pada cerita seorang teman, sebut saja namanya Gunadi. Si Gunadi ini pernah bercerita dalam sebuah diskusi buku di perpustakaannya, seorang penulis sangat bosan ketika ditanya, “Gimana proses kreatifnya?” Saya tertawa senang sekali ketika diceritakan itu oleh Gunadi. Mungkin pertanyaan semacam itu seperti halnya, “Apa sih arti nama band kalian?”.

 

Karena komentar Robin tersebut tawa saya ketika mendengar cerita Gunadi berubah menjadi kebingungan. Jangan-jangan memang benar yang dibilang Robin, kita memang terbiasa disajikan hasil jadi tanpa tahu prosesnya. Tapi, kisah Gunadi ada benarnya, saya yakin cara memasak tiap orang berbeda-beda. Daripada menjiplak cara masak seseorang alangkah lebih baik jika kita memformulasikan cara kita sendiri.

 

Dulu ada sebuah buku yang bercerita soal proses menulis para penulis. Saya lupa judulnya. Yang saya ingat sampul halaman buku itu berwarna putih dengan deretan nama-nama penulis. Para penulis yang kebanyakan sudah banyak berkarya menceritakan tentang sebut saja “proses kreatifnya”.

 

Buku tersebut penting, mengutip kata Robin kita bisa mengetahui “cerita dapurnya” penulis. Tapi sekadar menerima buku itu begitu saja seperti sedang mengamini bahwa menulis hanya untuk mereka yang disebut penulis. Padahal menulis milik semua orang. Rasanya menarik misalnya jika kita mengetahui cerita dapur seorang akuntan atau seorang sales asuransi saat menulis laporan tahunan.

 

Melalui tulisan ini saya ingin mengajak kita semua untuk menceritakan proses menulis. Membuka dapur kita. Menceritakan apa bumbunya, bagaimana setelan api yang pas, juga cara menyajikannya. Dari situ mungkin pertanyaan “Gimana proses kreatifnya?” tak lagi sehampa “Apa arti nama band kalian?”.

 

Bersama tulisan ini pula saya hendak membuka dapur saya. Setidaknya sebagai sebuah arsip pribadi bagaimana saya menulis di kurun waktu belakangan ini. Saya menunggu teman-teman lainnya membuka dapurnya masing-masing.

 

***

 

Membaca

Buku dan tanggal selesai dibaca.

Buku dan tanggal selesai dibaca.

Ini klise pasti. Sebelum menulis pastinya saya membaca. Proses membaca saya berubah ketika seorang mentor di kantor meminta saya membaca Buku McKinsey Way. Satu hal yang saya ingat dari buku itu adalah kita harus terbiasa mencatat secara kuantitatif. Catatan itu akan berguna karena secara tak langsung menampilkan pola-pola tertentu yang tidak kita sadari. Pola itu nantinya bisa kita gunakan untuk mengembangkan apa yang sedang kita kerjakan. You can not improve what you can not measure.

 

Hal itu saya terapkan dengan mencatat kapan saya menyelesaikan sebuah buku. Rata-rata saya menghabiskan 3-4 buku satu bulan. Berarti itu adalah patokan terendah yang bisa saya pegang. Saya jadi punya patokan buku yang harus saya habiskan dalam jangka waktu tertentu. Semua berkat pencatatan, terima kasih McKinsey!

 

Menandai

Bagian pinggir buku akan saya lipat jika ada cerita yang menarik.

Bagian pinggir buku akan saya lipat jika ada cerita yang menarik.

Satu hal penting yang saya lakukan ketika membaca adalah melipat halaman buku yang penting. Mungkin bagi kebanyakan orang ini kebiasaan tidak baik, tapi itu cara paling simpel menandai bagian-bagian penting cerita dari sebuah buku.

 

Jika buku itu bukan milik saya maka yang saya lakukan untuk mengarsipkan hal penting adalah dengan mencatat dalam notes. Notes yang saya pakai adalah moleskine ukuran paling kecil tanpa garis. Kenapa moleskine? Karena bentuknya sederhana, ia memudahkan pengarsipan. Saya menyimpan dengan rapi moleskine-moleskine yang telah saya gunakan. Fungsinya jika sedang buntu saya tinggal membolak-balik moleskine.

 

Moleskine yang saya gunakan untuk mencatat hal-hal penting di buku yang bukan milik saya.

Moleskine yang saya gunakan untuk mencatat hal-hal penting di buku yang bukan milik saya.

 

Kategorisasi

Tema-tema tulisan yang saya tempelkan tepat di depan tempat saya biasa menulis.

Tema-tema tulisan yang saya tempelkan tepat di depan tempat saya biasa menulis.

Tulisan-tulisan yang saya produksi bukan sebuah tulisan panjang seperti buku atau novel. Paling saya hanya menulis artikel atau ngeblog dengan tema-tema sederhana.

 

Untuk membantu hal ini saya mengategorikan apa yang hendak saya tulis. Caranya sederhana yakni dengan menempelkan post-it di depan tempat saya biasa menulis. Post-it post-it ini saya susun berdasarkan sebuah tema tertentu. Tulisan untuk topik A akan ditempelkan secara berdekatan. Ketika semua bahan menulis sudah terkumpul baru saya akan menuliskannya.

 

Biasanya akan ada banyak tema tapi lama sekali dieksekusi. Bagi saya tidak apa-apa karena tulisan-tulisan ini hanya sekadar hobi, lain halnya jika menulis adalah pekerjaan utama saya.

 

Contoh satu tema tulisan yang berisi beberapa sumber penting untuk menuliskannya.

Contoh satu tema tulisan yang berisi beberapa sumber penting untuk menuliskannya.

 

Menunggu (atau Mencari) Geronimo

 

Saya percaya menulis harus timbul dari keresahan. Bagi saya keresahan muncul dari sebuah interaksi nyata. Saya ingat ketika seorang teman yang bekerja sebagai copywriter pernah mengeluh, “Neng Jakarta ki dadi ra peka aku (Di Jakarta aku jadi tidak peka)”. Ia bercerita sehari-hari hidupnya hanya diisi di kantor. Ya jelas, kalau sehari-hari di kantor maka keresahan soal beragam hal tak mungkin muncul. Solusi untuk orang kantoran tentu saja dengan keluar dari kungkungan pekerjaan pada Sabtu dan Minggu.

 

Keresahan dalam sebuah kejadian yang nyata inilah yang lama untuk hadir. Bagi banyak orang mungkin keresahan ini bisa diciptakan, tapi saya baru sampai tahap harus mengalaminya. Harus ada sebuah kejadian yang membuat saya bilang, “Ini nih”.

 

Saya senang mengistilahkan momen itu “Geronimo”. Istilah itu populer ketika Mel Gibson mengenalkannya di film “Conspiracy Theory”.

 

Mengenai Geronimo, Gibson mengatakan, “When you’re in love, you’ll jump right from the top of the Empire State and you won’t care, screaming “Geronimo” the whole way down.” Mungkin dalam konteks lama ini mirip dengan istilah “Turba” atau turun ke bawah. Sebuah istilah yang intinya sama yakni kita harus mengalami bukan sekadar menjadi pengamat apa yang kita tuliskan.

 

Puzzle Geronimo ini biasanya adalah bagian paling terakhir yang akan melengkapi post-it kategori sebuah tema. Kepada seorang teman, Dedik Priyanto, saya pernah mengatakan tak bisa menulis fiksi, mungkin karena saya tak bisa menciptakan momen Geronimo tanpa mengalaminya.

 

Memilih Playlist

Playlist yang saya siapkan saat menulis biasanya menyesuaikan "suasana" tulisannya.

Playlist yang saya siapkan saat menulis biasanya menyesuaikan “suasana” tulisannya.

Ini kunci utama bagi saya. Hanya dan hanya jika mendengarkan musik saya bisa menulis. Bagian tersulit menulis menurut saya bukan hal-hal teknis menulis seperti mencari diksi yang tepat atau mengedit. Bagian tersulit menulis bagi saya adalah mencari playlist yang cocok.

 

Jika saya sudah menemukan sebuah playlist yang cocok maka proses menulis pun lancar. Saat menulis ini misalnya saya mengganti beberapa musik sampai akhirnya memilih memutar album Beirut.

 

Merayakan Hal-Hal Kecil

Post-it bertuliskan "Party" untuk merayakan tulisan yang berhasil saya selesaikan.

Post-it bertuliskan “Party” untuk merayakan tulisan yang berhasil saya selesaikan.

Dalam bukunya “Digital Nation Movement” Usman Hamid punya sebuah cerita minor yang menarik. Ia menyatakan bahwa keberhasilan-keberhasilan kecil harus dirayakan. Saat sebuah petisi berhasil ia akan mengadakan perayaan-perayaan kecil misalnya dengan makan-makan.

 

Teman saya di kantor Indah juga menerapkan hal serupa. Dulu kami sering membuat list pekerjaan di post-it, semacam Asana atau Basecamp manual. Setiap pekerjaan yang sudah selesai maka Indah akan menempelkan kata “Party” di atasnya. Semakin banyak “Party” yang kita lewati juga berarti semakin banyak pekerjaan yang sudah kami selesaikan.

 

Saya kemudian mengadopsi kedua hal itu. Untuk tulisan yang sudah selesai maka di post-it yang berisi kategori akan saya tempelkan satu lagi post-it dengan tulisan “Party”. Jangan copot post-it itu untuk beberapa lama, setidaknya untuk memotivasi diri sendiri.

 

***

 

Proses-proses itulah yang saya lewati ketika menulis. Bagi saya proses personal yang saya alami ketika menulis ini penting bukan hanya sebagai langkah untuk menyajikan tulisan. Yang penting menurut saya justru prosesnya itu sendiri. Karena dalam proses tersebut saya mencoba berdisiplin dan berdialektika dengan diri sendiri. Jika lama tidak menulis yang saya rindukan adalah proses-proses di atas, bukan hasil akhirnya.

 

Saya yakin setiap orang memiliki proses yang unik dalam menulis. Saya sangat senang jika masing-masing kita menuliskan proses menulisnya. Seperti halnya Robin saya ingin sekali “mengetahui cerita dapur” orang-orang. Siapa tahu ada bumbu yang bisa kita pelajari bersama. Saya tunggu cerita dapurmu, silakan tuliskan linknya di kolom komentar jika kamu sudah menuliskannya.

 

Post scriptum:
Beberapa teman juga berbagi mengenai proses memasak tulisannya, berikut ini tautannya:
1. Budi Warsito – Belajar Script Development 101
2. Fakhri Zakaria (Jaki) – Kenapa Bukan Indie? 
3. Agung – Bagaimana Agung Menulis?
4. Farchan – Di Balik Cerita Perjalanan 

25 thoughts on “Bagaimana Kita Menulis?

  1. samdputra says:

    Tips menarik. Tujuannya sama, mendapat inspirasi. Fokus. Saya untuk itu cukup dengan merenung di kamar toilet walau sedang tdk kebelet 🙂

    Like

    1. ardiwilda says:

      haha toilet memang sumber inspirasi yg gak habis2. oh iya mas sammy, saya dan mas philips vermonte senang sekali sama materi stand up mas waktu di @america jauh sebelum pemilu dulu. waktu itu kami berdua sampe nonton videonya berulang2. atau jangan2 itu juga hasil dari renungan toilet? 😀

      Like

  2. Kiki Ahmadi says:

    Gulag Orkestar iki pancen wuenak cah

    Like

    1. ardiwilda says:

      awal terbentuknya temennya teteh sebenernya pengen bikin musik2 kayak beirut, apa daya kemampuan terbatas malah dadi koyo ngono kuilah Ki 😦

      Like

  3. Keren Mas Awe.. Sharing tentang gimana proses kalau Mas Awe sedang bikin suatu narasi dong.. Pasti banyak yang terinspirasi hehe

    Like

    1. ardiwilda says:

      hhe mz lukman nongol hhe

      Like

  4. temukonco says:

    Reblogged this on Temu Konco.

    Like

  5. Yenni says:

    wow! thanks for sharing, Mas. 🙂

    Like

    1. ardiwilda says:

      sama2 yeni, terima kasih jg sudah berkunjung 🙂

      Like

  6. indrijuwono says:

    aduh, sayang bukunya..

    Like

    1. ardiwilda says:

      hehe iya mbak indri banyak jg yg bilang demikian, yah namanya juga hidup itu pilihan #gaknyambung 😀

      Like

  7. Muhammad Azamuddin T says:

    Semoga novelnya cepat terbit.

    Like

    1. ardiwilda says:

      amin, terima kasih *nyelesain draft* :3

      Like

  8. AF says:

    Mas Awe, pas mulai nulis itu udah tau mau nutup tulisannya bagaimana belum ya?

    Like

    1. ardiwilda says:

      kebanyakan sudah tapi hanya sebatas “kasarnya”. Saya pernah membaca JK Rowling bahkan sudah tahu kata terakhir di buku2nya 🙂

      Like

  9. Bagus ih 😀

    Like

    1. ardiwilda says:

      terima kasih 🙂

      Like

      1. Saya penikmat blog nya mas ardi hihi salam kenal ya rachmat dari pekanbaru, Ig nya saya follow 😀

        Like

  10. donna says:

    Pelan2 banget baca tulisan ini. Satu per satu mencoba memahami dapurnya mas ardi. Nice…
    Soal musik, aku juga lebih mood nulis kalau pakai musik dan harus pas dengan suasana hati atau yg akan di tulis.

    Like

    1. ardiwilda says:

      halo donna, salam kenal. terima kasih sudah membaca dgn pelan2 hehe..saya barusan berkunjung ke blogmu juga, menarik 🙂

      Like

Leave a comment