Sidekick

Urip mung mampir ngejus

buku-na-willa-reda-gaudiamo-ardi-wilda

Seorang rekan saya, Azvin, beberapa pekan lalu mengirimkan pertanyaan melalui Whatsapp. Ia bertanya, “Aku tiap nulis, terus aku baca lagi kok jadi malu ya?” Dengan sok tahu saya hanya membalas, “Lha koe (Lha kamu) nulisnya jujur enggak? Kalau jujur masak malu.” Balasannya memang singkat tapi membuat saya berpikir panjang kenapa menggunakan istilah tulisan jujur. Padahal parameter jujur dalam tulisan rasanya sulit diukur.

 

Pikiran tersebut terus terbawa sampai beberapa hari ke belakang. Saya mencoba membuka kembali buku-buku di kamar, membacanya dan menemukan rasanya tidak mungkin ada sebuah buku yang jujur menceritakan banyak hal secara sederhana. Tak berhasil menemukan jawaban, saya memilih untuk memendam pertanyaan tersebut.

 

Hari Minggu beberapa pekan lalu saya tak sengaja menemukan sebuah buku yang dijual di Post Santa. Tebal buku itu seperti dua buku tulis ukuran tipis ditumpuk dua, sisi samping bukunya tidak bertuliskan apapun, jadi kita harus menariknya terlebih dahulu untuk mengetahui judulnya. Covernya berwarna layaknya kertas daur ulang, ada unsur coklat yang terasa pudar. Gambar covernya sederhana, seorang wanita sedang memboncengi anak kecil yang ditaruh di keranjang depan sepedanya. Di atasnya tertulis judul singkat, Na Willa (Serial Catatan Kemarin).

 

Saya memutuskan membeli buku itu karena iseng. Tujuan saya datang ke Post saat itu hanya ingin menghadiri peluncuran dan diskusi Novel Kamu seraya bertemu beberapa teman. Buku inilah yang kemudian menjawab dialog saya dengan Azvin beberapa waktu lalu.

 

Na Willa adalah buku cerita anak karangan Reda Gaudiamo. Seperti judulnya buku ini bercerita soal kehidupan Na Willa. Ia hidup bersama Mak, Pak, Mbok, dan beberapa temannya bernama Dul, Ida, dan Bud.

 

Cerita ini mengambil latar di Surabaya sekitar tahun 1960-an. Reda memotong-motong cerita kehidupan Na Willa dalam beberapa sketsa pendek sekitar 2-4 halaman per cerita dengan tambahan ilustrasi goresan Cecillia Hidayat. Konsepnya seperti 9 Dari Nadira karangan Leila S. Chudori.

 

Membaca Na Willa mengingatkan saya pada cerita Kugy dalam Perahu Kertas gubahan Dewi Lestari (Dee). Kugy adalah seorang wanita yang memiliki imajinasi dan jiwa seperti anak-anak. Ia misalnya senang menulis dongeng anak dan bersama pujaan hatinya, Keenan, ia membuat buku dongeng bergambar berjudul Jenderal Pilik. Di waktu senggang ia juga mengajar anak-anak di sekolah darurat bernama Sekolah Alit.

 

Kegiatan-kegiatan tersebut adalah motor bagi Dee untuk meyakinkan pembaca akan imajinasi Kugy yang liar seperti anak-anak. Puncaknya adalah ketika ia lebih memilih menulis cerita anak-anak daripada menuntaskan pekerjaannya sebagai salah satu tim kreatif di agensi periklanan.

 

Cerita Dee akan sangat menggugah bagi pekerja kantoran di Sudirman yang selalu bertanya kapan bisa mengikuti jejak Kugy. Tapi ia mengirimkan sebuah pesan yang terlalu ringkih, bahwa dunia anak-anak dan dewasa selalu terpisah. Memilih menjadi dewasa berarti meninggalkan anak-anak, pun sebaliknya. Konsekuensinya jelas, dikotomi antara anak-anak dan dewasa tak bisa dielakkan.

 

Ironis mengingat Kugy adalah seorang penulis cerita anak-anak yang seharusnya sadar bahwa karya anak-anak yang baik adalah karya yang juga bisa dinikmati oleh orang dewasa. Bagaimana bisa ia kemudian memilih sebuah kutub ekstrem dan kehilangan perspektif penting yang lain. Dalam konteks yang hampir mirip, di ranah musik misalnya, musisi yang baik saat ini rasanya hadir karena ia punya perspektif orang biasa, karya musisi penuh waktu rasanya semakin menjemukan.

 

Reda melalui Na Willa secara apik tak memilih jalan dikotomi tersebut. Ia dengan ciamik menjewer kuping orang dewasa sekadar untuk mengingatkan. Beberapa sketsa dalam Na Willa menunjukkan bagaimana kepiawaiannya mengkritik kehidupan sehari-hari dengan medium cerita anak-anak.

 

Dalam kisah “Warno” (hal 26) Reda menceritakan konflik antara Na Willa dengan anak difabel Warno. “Asu Cino!” teriak Warno setiap kali Na Willa lewat. Sampai kemudian suatu hari Na Willa menarik dan menginjak kaki Warno yang tidak lurus. Mak kemudian mengetahui polah Na Willa dan menghardiknya.

 

“Willa, memukul orang yang cacat itu perbuatan yang sangat salah! Sampai kapan pun kamu tidak boleh menyakiti orang cacat!”

“Tapi dia bilang aku cino!”

Mak berteriak, “Kamu memang Cino, bapakmu Cino!”

 

Reda mengambil posisi yang tegas. Ia tidak memilih jalan klise kehidupan harus rukun dan sejenisnya. Ia memilih jalan pengakuan bahwa perbedaan adalah sebuah fakta yang tak bisa diubah. Bukankah kesadaran akan siapa diri kita menjadi elemen penting dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan dalam pelajaran di sekolah tahapan yang penting adalah mengenal diri, lingkungan, dan baru negara. Berpesan bahwa hidup harus rukun ala orde baru hanya akan melompat logika jauh langsung ke kehidupan bernegara.

 

Nyatanya “Asu Cino!” ala Warno memang tak hanya hadir saat Na Willa berjalan, tapi juga dalam keseharian kita bukan?

 

Reda juga mengambil posisi tegas dalam cerita “Di Kelas” (hal 92) tentang pendidikan anak-anak. Diceritakan sketsa hari pertama Willa masuk kelas. Reda menulis.

 

“Bu Tini lalu bilang namaku Na Willa. Tiba-tiba satu kelas tertawa. Keras sekali! Ibu Tini juga ikut tertawa. Apa yang lucu? Apa yang lucu?”

Reda menambahkan bagian itu dengan menuliskan sketsa lain.

“Aku bilang, ‘Aku betul-betul bisa menulis, Bu!’”

“Tidak ada anak yang bisa menulis sebelum dia sekolah, kamu juga tidak bisa. Sana duduk,” katanya dengan suara lebih keras dari aku.

 

Cerita kemudian berlanjut dengan Na Willa memilih pergi dari sekolah. Mak kemudian menanyakan Na Willa tentang duduk perkaranya. Dan Mak tidak muncul dengan kalimat khas Penghayatan Pancasila seperti guru harus dihormati atau jangan melawan guru. Mak memutuskan mencari sekolah baru.

 

Reda seperti sedang menampar keras sikap “patriarki” dalam pendidikan kita. Ia dengan bahasa sederhana mengingatkan saya ketika Gie marah dengan gurunya dan menulis di buku hariannya, “Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.”

 

Cerita-cerita serupa berhamburan di dalam buku Na Willa. Tak ketinggalan cerita sederhana soal toleransi, tanggung jawab, kepercayaan, dan konsekuensi atas sebuah pilihan. Reda mengemasnya dengan kadar yang pas.

 

Tak seperti Dee yang ringkih dan hanya meromantisir kehidupan anak-anak. Reda menyelaminya dengan sangat baik. Itu kenapa detail dan plot dalam Na Willa mengalir begitu pas.

 

Keberhasilan utama Na Willa bagi saya bukan pada cerita yang mengalir begitu sederhana atau kalimat lugas dan tegas. Keberhasilan Na Willa lebih jauh dari konteks kepenulisan.

 

Na Willa berhasil karena ia menegaskan bahwa narasi besar dan narasi kecil bukanlah sebuah pertentangan, ia satu kesatuan. Selama ini kita selalu memandang bahwa narasi besar soal demokrasi, toleransi, atau pendidikan adalah urusan yang tak tergapai. Sementara narasi kecil sekadar remeh temeh tak penting yang hanya bisa membuat mulut antropolog menganga. Reda meruntuhkan itu semua.

 

Narasi besar dan narasi kecil sesungguhnya berkelindan dalam keseharian. Reda mengingatkan bahwa urusan “Wong Cino”, urusan guru yang menertawakan muridnya bukanlah urusan penggede, itu urusan kita. Ia mendudukkan semuanya di depan kita. Menampar kita. Na Willa seperti sedang hadir di depan kita dan tersenyum dingin menanyakan “Apa kabar kehidupan kita?”.

 

Jika pertanyaan Azvin tentang menulis ia layangkan hari ini. Saya mungkin hanya menjawabnya dengan singkat, “Belajarlah jujur pada Na Willa!”.

11 thoughts on “Pertanyaan dari Na Willa

  1. Dian Rustya says:

    Makin penasaran dengan buku ini ^_^

    Like

    1. ardiwilda says:

      silakan baca bukunya mbak, menarik. sepertinya di post atau di beberapa toko buku online masih ada 🙂

      Like

  2. review yang bagus. Sangat menggambarkan keindahan buku ini.

    Like

    1. ardiwilda says:

      salam kenal, saya membaca blog kamu juga, blognya menarik 🙂

      Liked by 1 person

  3. pancasila says:

    ya saya juga jadi penasaran nih,, bukunya sepertinya menarik

    Like

    1. ardiwilda says:

      pastinya menarik, sila cari bukunya, saya sangat merekomendasikan 🙂

      Like

  4. rgaudiamo says:

    Ardi, terima kasih sudah menuliskan review ini buat Na Willa.
    Amat sangat luarbiasa.
    #peluk

    Like

  5. yenni says:

    Hai Mas Awwe, terima kasih atas “racun”-nya. Saya berhasil dapat buku ini (beli langsung ke penulisnya). Belum dibaca, sih. wkwkwk.

    Like

    1. ardiwilda says:

      halo yeni, buku baik dan karya baik harus terus kita tularkan bukan? hehe selamat membaca, kalau ada review versimu boleh juga dibagi di sini linknya 🙂

      Like

  6. baizulzaman says:

    Sepertix ini buku yg menarik..:)

    Like

Leave a comment