Asri terlihat lebih gelap dari terakhir kali kami bertemu. Ia menggunakan baju terusan kombinasi putih biru yang lembut. Pasangannya, Dhika, dan tiga orang rekan lainnya menemani Asri ketika hendak menemui saya di kawasan Senayan. Ia telat beberapa menit dari jam bertemu yang kami sepakati. “Jakarta makin macet,” katanya singkat.
Malam itu kami bertemu sekadar untuk bertegur sapa setelah lama tak berjumpa. Sekitar dua tahun lalu saya pernah mendokumentasikan kegiatan Asri di Muara Enim, Sumatera Selatan saat ia menjadi guru. Paska mendokumentasikannya, saya sempat beberapa kali bertemu dengannya di ibukota. Selanjutnya ia menjadi selayak mitos. Yang sering terdengar namun tak pernah terlihat.
Saya mendengar ia memilih jalan memutar dari karier yang selama ini ia coba daki perlahan. Meninggalkan ibukota dan memilih tinggal di daerah Minggir, Sleman.
Di daerah barunya Asri punya semangat baru. Bila dulu ia lebih fasih bicara soal tarian atau kain-kain tradisional, kini ia fasih bicara soal pertanian.
“Kalau petani melinjo jual ke tengkulak cuma tiga ribu, rasanya enggak adil kalau dibeli segitu, aku belinya lima ribu,” ujarnya. Ia menambahkan, “Melinjo itu pada dibuang-buangin karena menurut warga enggak terlalu bermanfaat buahnya, sayang banget.”
Jika ada data statistik mengenai obrolan malam itu, saya yakin melinjo akan jadi kata yang paling sering terucap.
Tak heran jika melinjo menjadi trending topic perbincangan malam itu. Asri memang mengajak ibu-ibu di beberapa daerah untuk mengolah melinjo menjadi emping. Tak sekadar berhenti pada produksi, ia juga memikirkan rantai penjualan melinjo yang selama ini berakhir di tangan tengkulak. Hasilnya, emping hasil olahan melinjo produksi ibu-ibu binaannya berhasil menembus pasar internasional.
Apa yang dilakukan Asri mengingatkan saya pada tokoh Indra (Anggun Priambodo) di film Rock and Roll dalam antologi film pendek “Surat Cinta Untuk Jakarta”. Penampakan Indra adalah tipikal anak muda Jakarta jelang berkepala tiga. Kaos T berwarna yang dilapis dengan kemeja flanel, kacamata, dan tak ketinggalan rambut keriting nan nyentrik. Dengan dandanan seperti itu ia sebenarnya lebih cocok menjadi wartawan, profesi yang kemudian ia tinggalkan. Indra akhirnya memilih menjadi petani.
Rock and Roll sendiri bercerita perjalanan satu hari Indra bersama sahabat dekatnya Asti (Putri Ayudya) yang baru saja pulang setelah mendapat beasiswa di Belanda. Mereka jalan-jalan di ibukota dengan mobil pickup yang biasa Indra pakai untuk mengantar sayur. Seperti yang sudah diduga, Asti kemudian protes dengan ketidaknyamanan Jakarta dan hal-hal kecil lainnya. Ada satu dialog yang menurut saya sangat apik. Begini kira-kira dialognya:
“Lo tuh kayaknya dulu passionate banget jadi wartawan Ndra, terus kok tiba-tiba jadi petani, petani Ndra,” kritik Asti. Indra sebal dan justru heran dengan pertanyaan Asti, “Ya emang kenapa jadi petani?” sambil mengulang intonasi sahabatnya saat mengucapkan kata petani yang terkesan meledek.
Bagi saya keberhasilan Asri atau Indra dalam filmnya bukanlah kesuksesannya dengan hasil pertanian atau pengolahan yang baik. Lebih dari itu sebenarnya kita dikelitik untuk menggugurkan mitos tentang yang ideal.
Kabar tentang Asri yang saya dengar misalnya, nadanya memang selalu positif, tapi ada sebuah keheranan kecil di dalamnya. Dan keheranan adalah bumbu utama membentuk mitos.
Mitos itu mungkin hadir karena dalam keseharian yang ideal adalah pergi ke kantor atau bicara dengan konsep membumbung tinggi di udara. Tanah dan tani adalah sebuah gambar di spion yang hanya kita lihat sesekali dalam perjalanan.
Bisa jadi bukan melinjo Asri atau sayuran Indra yang merupakan mitos. Boleh jadi kitalah mitos-mitos itu sendiri, sebuah epos tentang yang ideal. Yang menari dalam dendang artifisial.
Saya ingat ketika dalam obrolan santai beberapa bulan lalu, seorang mentor memberikan pendapatnya soal kompetisi dalam pemilu. “Ibarat main musik yang satu selalu bikin dendang, ketukannya dari dia, sementara yang satu cuma ikut-ikutan nari dalam dendang itu, bukan bikin nada sendiri,” jelasnya.
Mungkin kita seperti ilustrasi di atas. Yang hanya menari dalam dendang buatan yang artifisial. Sambil berpikir bahwa kita sedang membuat dendang kita sendiri. Atau karena kita mungkin memang tak sadar, karena dendangnya terlalu besar, terlalu terlihat ideal untuk diruntuhkan.
Sementara Asri dan rekan-rekannya boleh jadi sedang membuat dendang sendiri. Sebuah dendang sederhana. Kadang tak terdengar, penuh dengan mitos, dan bisa jadi sesekali kejatuhan buah melinjo.
One thought on “Rock n Melinjo!”