Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Postingan Mbak Ade Kumalasari mengenai buku yang sudah ia baca selama tahun 2014.

Postingan Mbak Ade Kumalasari mengenai buku yang sudah ia baca selama tahun 2014.

 

Mbak Ade Kumalasari membuat postingan menarik di hari pertama tahun 2015. Ia tidak menulis soal refleksi tahunan, pun resolusi. Yang ia tulis sebuah list sederhana. Tepatnya ada 32 item dalam listnya. List itu ia beri judul, “Buku Yang Kubaca 2014”.

 

Bagi saya postingan itu menarik karena dua hal. Pertama, saya menyukai list bukunya. Ya kamu benar, saya menilai orang dari bacaannya. Kedua, ini yang lebih penting, bagi saya Mbak Ade punya konsep jelas tentang kegiatan membaca.

 

Setelah membaca postingan Mbak Ade saya mengadopsi (baca: mencontek) apa yang ia lakukan. Saya menuliskan buku-buku yang sudah saya baca di samping meja kerja di kamar. Sejauh ini ada dua belas judul buku yang saya tulis di post it dan menempelkannya di dinding kamar. Lupakan soal jumlahnya, ada beberapa hal yang baru saya sadari ketika mengikuti metode Mbak Ade.

 

List semacam ini sebenarnya adalah usaha mengukur kegiatan membaca. Ukuran ini penting karena akan menjadi sebuah indikator. Saya misalnya baru menyadari hanya bisa menghabiskan tiga buku dalam sebulan. Jumlah inilah yang kemudian menjadi parameter kegiatan membaca.

 

Parameter inilah yang rasanya luput dalam kegiatan membaca kita.

 

Dengan adanya parameter maka semangat macam, “Mau lebih banyak baca lagi nih,” akan lebih berbunyi. Karena kita tahu ukuran banyak versi kita seberapa.

 

Saya ingat dalam sebuah diskusi film dokumenter, seorang pegiat film berkata, “Istilah dibikin gimanalah gitu, itu kan bahasa tongkrongan. Yang kita butuhkan dibikin gimana gitu dioperasionalkan dengan jelas.”

 

Bagi saya celotehan itu mirip dengan kegiatan membaca di masyarakat kita. Tak perlulah kita hitung banyaknya kampanye membaca. Yang belum terlihat adalah upaya mengoperasionalisasi (semoga istilah ini benar) dari itu semua.

 

Kita tahu bahwa harus banyak membaca tapi langkah-langkah untuk mewujudkan itu seperti tak punya jejak konkret. Usaha pencatatan ala Mbak Ade sebenarnya adalah langkah kecil namun konkret atas permasalahan itu.

 

Ethan Rasiel dalam McKinsey Way pernah menulis, kira-kira begini, “Kumpulkanlah data-data keseharian tentang kegiatanmu. Susun data itu dan cermati polanya maka kamu akan menemukan sesuatu yang mengagetkanmu.” Ia kemudian menambahkan bahwa dari pola itulah kita bisa melakukan pengembangan.

 

Saya yakin Mbak Ade tak kenal secara personal dengan Ethan Rasiel, tapi ia dengan sederhana menerjemahkan konsepnya, membaca adalah kegiatan, list buku adalah pola.

 

Selain sebagai parameter, list semacam ini juga punya fungsi penting, membumikan kegiatan membaca. Saya bosan dengan persepsi klise bahwa membaca adalah kegiatan orang pintar, membaca membuat cerdas, dan sejenisnya. Bagi saya alih-alih membuat orang rajin membaca, persepsi seperti itu malah membuat kegiatan membaca begitu berjarak.

 

List buku yang sudah dibaca justru mendekatkan kegiatan membaca dengan aktivitas keseharian. Membuat kegiatan membaca tak ada bedanya dengan list belanja bulanan di indomaret, bukan kemewahan melainkan memang keperluan sehari-hari.

 

Soal mengubah cara pandang kegiatan membaca ini saya jadi ingat salah satu mentor saya, Mas Philips, saat menceritakan pengalamannya ketika muda. “Setelah lulus gue kerja di advertising, enggak ngerti sebenarnya tapi gue coba menyenangi dunia ini dengan baca-baca buku advertising. Bersyukurnya gue jadi punya perspektif orang-orang advertising sampai sekarang,” ujarnya.

 

Bagi saya pengalaman Mas Philips menarik, ia menjadikan kegiatan membaca sebagai sebuah medium untuk memahami dunia yang ia hidupi saat itu. Ia tidak menjadikan membaca sebagai sebuah tujuan akhir. Perspektif ini hanya akan muncul ketika kegiatan membaca tak dianggap sebagai sebuah kemewahan.

 

Pengalaman Mas Philips dan list buku Mbak Ade pada akhirnya membuat saya memandang kegiatan membaca dengan cara berbeda. Setiap melihat list buku yang sudah saya baca rasanya ada kesenangan tersendiri yang muncul. Senang bila list itu bertambah namun malu ketika tak jua ada yang baru.

 

Bila sebelumnya saya menganggap bahwa membaca sekadar batu loncatan menulis, kini saya menganggap keduanya memang berkaitan namun relasinya bukan sebab akibat. Bacalah bukan agar kamu bisa menulis, boleh jadi malah, bacalah agar kamu bertemu dengan tulisanmu entah di persimpangan jalan mana.

 

Yang lebih menyenangkan dari itu semua, list-list buku di samping meja kerja saya selalu mengingatkan pada aktivitas membaca ketika kecil dulu. Masa ketika saya mencuri baca Arus Balik Pram milik kakak sepupu alih-alih mengerjakan PR matematika. Atau ketika lari ke Matraman sekadar membaca Lima Sekawan. Masa ketika ingin terus membaca dan membaca.

 

Mbak Ade telah menolong saya kembali pada pengalaman membaca yang saya rindukan. Bukan sekadar meromantisir kenangan, ia memberi konteks baru pada kegiatan membaca. Bahwa membaca bukan sekadar menyelesaikan halaman terakhir buku kita.

 

6 thoughts on “Setelah Halaman Terakhir

  1. aerbeaerbe says:

    Reblogged this on AERBE and commented:
    Will post about my reading indicator soon! 🙂

    Like

    1. ardiwilda says:

      harus dong be 😀

      Like

  2. Cya says:

    pake goodreads dong, bisa dirating dan nulis review dan baca review orang https://www.goodreads.com/review/stats/348041

    Like

    1. ardiwilda says:

      halo mbak cya, iya saya pernah coba tapi kurang pas aja 🙂

      Like

  3. azamuddint says:

    Manampar dan mangingatkan diri saya bahwa masih belum terlalu banyak buku yang saya baca, tapi ingin lompat menjadi penulis.

    Like

    1. ardiwilda says:

      jadi petinju aja mas kaya pacman hehe 😀

      Like

Leave a comment