Berjalan perlahan menuju panggung, perempuan itu membawa sebuah cangkir. Warna putih cangkirnya kontras dengan baju hitam yang ia kenakan. Cardigan bernuansa coklat membalut kedua lengannya. Suara yang pertama terdengar dari panggung adalah bunyi cangkir bertemu meja di samping kiri pianonya. Beberapa detik setelah duduk ia mengenalkan diri dan piano kesayangannya, “Saya Lani, ini Oskar piano saya, kami Frau.”
Malam itu Frau tampil dalam acara “100 Kenangan Sitor Situmorang” di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM). Ia pentas cukup larut pada malam itu. Beberapa penonton bahkan sudah menyerah dan pulang terlebih dahulu. Saya dan puluhan orang lainnya mencoba bertahan. Lama tak menyaksikan penampilan Frau. Bahkan saya lupa kapan terakhir menonton “duet” Lani dan Oskar.
Frau tak banyak berubah, atau bahkan sama sekali tak berubah. Setidaknya dari momen pertama menjumpainya.
Saat itu medio 2010, saya baru saja menjadi kontributor sebuah majalah. Tugas pertama adalah mewawancarai Lani. “Wawancara Frau coba, dia lagi naik nih,” ujar editor saya di seberang telepon. Saya menyanggupinya.
Yang terjadi kemudian saya berusaha menggali lebih dalam mengenai mahasiswi Antropologi ini. Momen penting pertama yang terlintas adalah pementasannya bersama Bengkel Mime Theater dan Nadya Hatta (Individual Life) di Lembaga Indonesia Prancis (LIP) pada medio 2009, salah satu pementasan terbaik yang pernah saya saksikan di Jogja. Saya juga menemui beberapa blog sudah sempat mengulas album pertamanya, Starlit Carousel. Dan banyak orang menganggap momen kanonnya adalah tampil di talkshow populer Kick Andy. Tapi entah kenapa saya kurang setuju dengan pendapat terakhir.
Pasca riset, saya coba bertanya sana-sini cara mengontak Frau. Kami lantas bersepakat bertemu di sebuah kedai kopi daerah Kota Baru, Jogja.
“Kalau di luar panggung ya Lani aja,” ujarnya memperkenalkan diri. Jawabannya ringkas, ia tak banyak bicara ketika diwawancara. Tak ngalor-ngidul. Paparannya jelas dan sederhana, ia misalnya bercerita mengenai nama albumnya, “Menurut ibuku, melodi di laguku banyak yang naik turun seperti Carousel.”
Jawaban-jawaban Frau seperti menunjukkan ia bukan publik figur yang cerewet atau seniman yang njelimet. Ia biasa-biasa saja. Maka saya coba iseng bertanya mengapa ia mau tampil dalam talkshow populer di televisi? Jawabannya membuat tersenyum, sayang ia meminta off the record.
Beberapa minggu setelah wawancara tersebut, tulisannya naik cetak. Ada banyak editan dari versi asli. Tentu sedih, bukan karena merasa banyak dikoreksi tapi suasana tulisan itu menjadi sangat tidak Frau. Dalam tulisan itu Frau menjadi seperti mesiah muda yang siap menggebrak dunia musik.
Setelah itu saya sering menyaksikan Frau bermain dalam konser-konser kecil. Salah satu yang saya ingat adalah ketika Tika and The Dissidents melawat Jogja tepat satu hari sebelum Mayday di tahun 2010 atau 2011 (saya lupa tepatnya). Dalam konser itu Frau ikut ambil bagian bersama musisi lain seperti Anda “Bunga” Perdana. Konser itu juga salah satu konser paling manis selama saya tinggal di Jogja.
Saya kemudian meninggalkan Jogja, yang juga berarti frekuensi menonton Frau berkurang drastis. Pun, saya juga bukan lagi seorang penulis, maka hanya bisa menikmati karya Frau tidak secara dekat.
Melihat dari jarak jauh membuat saya justru memiliki perspektif baru dalam memandang Frau. Di awal kemunculannya Frau memang kerap dipersepsi dengan sesuatu yang baru, seperti terobosan baru. Mungkin karena secara konteks juga mendukung persepsi itu.
Ia muncul saat musik-musik di Jogja sedang sangat bergeliat. Kemunculan album Jogja Istimewa misalnya jadi satu indikator bahwa musik Jogja saat itu memang sedang menarik perhatian.
Frau kemudian juga muncul dengan sederet “prestasi” penting. Ia tampil di Kick Andy, lalu menjadi Tokoh Seni Tempo, dan sederet prestasi kanon lainnya.
Seiring berjalan waktu, perlahan mungkin kita (setidaknya saya) mulai sadar bahwa Frau sekadar anak muda biasa saja yang menjadikan musik sebagai hobinya.
Ia tak membawa sebuah ideologi atau gimmick berat lainnya, seperti halnya banyak musisi lainnya. Tapi justru di situ kehadiran Frau menjadi jujur dan menarik.
Maka kutub berpindah pada Frau sebagai seseorang yang biasa saja. Bahkan dalam pengantar album kedua Frau kata “biasa saja” sempat muncul. Namun, ini juga menarik karena termin “biasa saja” sebenarnya tidak biasa saja.
“Biasa saja” seperti menyembunyikan maksud lain, ia jebakan betmen sekadar merendah untuk meninggi atau ajakan menjadi sesuatu yang lebih besar, yang tentu jadi tidak biasa saja. Ia seperti ajakan akan kesetaraan bahwa ia, saya, kamu, kalian sama saja. Biasa saja menjadi seperti cara lain mengkultuskan seseorang (dengan malu-malu).
Coba tengok jargon macam, “Jokowi adalah Kita” atau “KPK adalah Kita”, sebenarnya beranjak dari perspektif menokohkan sesuatu yang (diprofilkan) biasa saja.
Penampilan Frau di Teater Kecil dalam acara mengenang Sitor selain apik juga membuat saya berpikir bagaimana sebenarnya memaknai Frau dengan jujur.
Bayangkan sebuah keadaan yang sangat berkebalikan seperti ini, di sela-sela lagu ia menyapa penonton dengan cara kikuk, seperti orang biasa yang malu tampil di panggung. Tapi ketika bermain, khususnya saat memainkan komposisi gubahan dari sajak Sitor berjudul “Berita Perjalanan” benar-benar membuat ingin melahap semua sajak Sitor. “Interpretasi ini namanya, seni,” kelakarnya sambil terkekeh sebelum memainkan nomor tersebut.
Mungkin Frau memang tak perlu dimaknai apa-apa. Ia seperti sajak Sitor lainnya yang berjudul Wajah Ch. A.
Dunia rindu arti, ingin ditangkap dalam kata, puisi, yang hidup nyata.
Memaknai Frau bisa jadi adalah sebuah upaya sia-sia. Upaya ini jangan-jangan sekadar bukti kita terlalu senang dengan bungkus atau stempel tertentu. Seperti media yang melabeli Frau dengan atribut macam-macam dari mulai yang paling tinggi sampai menundukkannya dalam termin “biasa saja” sekadar untuk meninggikannya.
Saya mulai berpikir menonton Frau mungkin sesederhana menjadi sebuah jeda dari keseharian. Seperti pergi ke bioskop di akhir pekan. Bedanya Frau tak pernah menghadirkan credit title di ujungnya, ia tak pernah berhenti berproses.
Proses Frau di Teater Kecil TIM malam itu ditutup dengan tembang “Tarian Sari”. Tak ada drama encore, tak ada akrobat permainan vokal atau piano. Selesai begitu saja. Tapi sebenarnya ia tak pernah benar-benar selesai.
Frau tak pernah benar-benar berhenti tepat ketika ia menutup konsernya. Ia seperti kalimat tanya yang terus menghantui hari-hari pasca konser.
***
post scriptum:
untuk Mas Gufi yang tidak sempat bertemu dalam konser kemarin. Kalau Frau konser di Jakarta lagi kabari Mas e.
2 thoughts on “Frau, Sekali Lagi”