Sidekick

Urip mung mampir ngejus

tiket-blur-konser-jakarta-indonesia

 

Saya selalu ingat perkenalan dengan Blur. Bukan lewat review atau acara musik, melainkan sebuah game komputer. Adalah FIFA 98 rilisan EA Sports yang menjadikan salah satu lagu Blur paling anthemic, “Song 2”, sebagai soundtracknya.

 

Wajar rasanya jika lagu tersebut dijadikan lagu tema. Aura semangat dan melodi yang menghentak adalah salah dua alasan masuk akal untuk menjadikannya lagu tema game olahraga.

 

Meski namanya FIFA 98, saya memainkan game ini pada tahun 2000, maklum game masih sulit diakses kala itu. Setiap pagi jelang masuk sekolah, saat itu saya masuk siang, saya selalu memainkan game tersebut. Tentu itu juga berarti berkenalan dengan suara Damon Albarn.

 

Saya senang dengan lagu tema game itu, tapi tidak tahu judulnya apa dan siapa penyanyinya. Akhirnya saya coba buka kolom kredit dalam permainan tersebut, tahulah saya bahwa lagu itu berjudul “Song 2” dan Blur adalah penyanyinya.

 

Ingatan saya lalu melayang pada pedagang pin di pasar tradisional dekat SMP saya. Saya ingat ia menjual pin bertuliskan Blur. Setelah pulang sekolah saya bertanya pada pedagang tersebut, siapa itu Blur dan di mana saya bisa membeli kasetnya.

 

“Kalau mau beli bisa di samping pasar dekat parkiran motor tuh ada toko kaset,” ujar pedagang pin saat saya tanya. “Ini musuhnya Oasis,” tambahnya.

 

Esoknya saya coba meriset ke toko kaset tentang Blur. Karena belum pernah membeli kaset sebelumnya, saya malu untuk bertanya mengenai kaset Blur. Maka saya hanya tanya, “Bang, kalau kaset luar negeri berapaan?”. Si penjual kaset menjawab sekitar 22-25 ribu. Saya menelan ludah. Saat itu uang saku saya hanya sekitar 2000-3000 rupiah. Berarti harga kaset itu sekitar sepuluh kali uang saku.

 

Tapi perjuangan tak berhenti, saya mulai menyisihkan uang saku untuk membeli kaset Blur.

 

Ketika uang terkumpul, saya pun menyusun rencana. Setelah kegiatan atletik di kawasan Velodrome Rawamangun saya akan mampir ke Pasar Klender membeli kaset Blur.

 

Sesampainya di pasar, saya bertanya, “Bang ada kaset Blur?”. Ia kemudian memberikan sebuah kaset dengan cover bergambar empat orang laki-laki metro seksual dengan gaya seperti Westlife. Bedanya dengan Westlife, di cover kaset itu ada satu orang Afro. Saya ragu dengan kaset tersebut. “Beneran Blur nih bang?” tanya saya polos.

 

“Kirain saya Blue dek, kalau Blur ini nih,” balasnya sambil memberi saya satu kaset dengan artwork legendaris Blur yang membagi cover menjadi empat bagian wajah warna-warni.

 

Kaset yang ia berikan adalah Blur The Best Of. Kaset itu menjadi kaset pertama yang saya beli.

 

Momen setelahnya tentu saja tabungan uang saku saya ludes dibuatnya.

 

Saya kemudian mendengarkan kaset tersebut terus menerus. Kadang-kadang saya membawa Walkman Aiwa milik kakak saya ke sekolah. Saya suka “Parklife” dan “Beetlebum” kala itu. Rasanya belum pernah dengar musik-musik seperti itu sebelumnya.

 

Momen ajaib kemudian terjadi, seorang teman saya Rysko bernyanyi “Tender” keras-keras di belakang kelas. Saat itu saya belum akrab dengan dirinya. Setelah mendengar ia menyanyikan “Tender” maka itu adalah sinyal kami akan sejalan.

 

Rysko kemudian banyak memberi asupan musik bergizi selain Blur. Ia menyarankan The Cure dan The Cake. “’I Will Survive’ ini bikin klepek-klepek cewek,” ujarnya.

 

Kami pun mulai mencari kaset-kaset Blur lawas, terhitung Modern Life is Rubbish, 13, dan Parklife berhasil kami dapatkan.

 

Saya tak tahu apakah kaset itu asli atau tidak. Kemungkinan besar bajakan, karena kualitas artworknya buruk sekali. Sekarang kaset tersebut sudah tidak ada lagi, mungkin terbuang ketika rumah orangtua saya sedang direnovasi.

 

Meski saya dan Rysko mulai bertukar banyak referensi musik, Blur tetap jadi anthem kami. Bernyanyi “Tender” di kelas semacam pembuktian bahwa kami berbeda. Tentu ini karena prestasi akademik dan wajah kami pas-pasan, semoga nge-Blur bisa membantu kami dilirik perempuan. Sayang hasilnya nihil.

 

Masuk ke SMA saya tak terlalu mengulik musik. Saya lebih banyak membaca. Saat itu sepupu yang seorang wartawan menumpang tinggal di rumah mendorong saya membaca buku-buku Pram. Seingat saya Hasta Mitra mulai merilis buku Pram ketika itu, seperti Arok Dedes. “Kalau mau belajar nulis, baca Pram sama John Steinbeck,” katanya.

 

Kegemaran membaca juga diakibatkan karena kehidupan SMA membosankan sekali buat saya. Dan karena referensi musik saya mentok di Blur, Radiohead, dan Beatles maka hanya musik-musik itu yang terus berkumandang di telinga saya untuk menemani membaca.

 

Saat SMA pula saya mulai mencari tahu Blur lebih dalam. Saya suka Alex karena sebuah acara MTV sempat mengulas kehidupannya. Alex punya kebun luas dan peternakan sapi yang bisa menghasilkan keju dan susu. Digambarkan pula ia sebagai seorang bapak yang baik, anak-anaknya akrab dengannya.

 

Saya senang sekali dengan tayangan itu. Buat saya itu meruntuhkan persepsi bahwa rockstar harus bengal. Alex punya kehidupan yang mengasyikkan di luar musik. Dari tayangan itu saya belajar bahwa jadi orang baik-baik dan punya karya bagus itu keren. Tak perlu bengal untuk bisa berkarya. Saya ingin seperti itu.

 

Saat kuliah dan bekerja tentu referensi saya bertambah, saya suka Vampire Weekend dan Belle and Sebastian tapi tetap saja tak bisa menggantikan Blur.

 

Beragam perjalanan itu membuat saya punya mimpi sederhana menonton konser Blur.

 

Suatu hari teman saya Achi seperti menjadi pengantar mimpi. Dua tahun lalu ia mengirimkan sebuah pesan melalui WhatsApp, “Blur bakal ke Indonesia, mimpi lo jadi kenyataan!” Saya mulai mencari tahu tentang konser Blur di Senayan dan segera memesan tiket bersama Achi.

 

15 Mei 2013 mimpi itu benar-benar jadi nyata.

 

Saya dan Achi berjarak kurang dari sepuluh meter dengan Damon. Saat “Parklife” berkumandang kami bernyanyi lepas sekali. Bulu kuduk saya sempat merinding karena merasa tak percaya impian masa kecil bisa terwujud.

 

Menyempatkan diri berdoa setelah menjadi haji maBlur

Menyempatkan diri berdoa setelah menjadi haji maBlur

 

Pasca konser saya dengar banyak orang kecewa karena “The Universal” tidak dijadikan lagu penutup seperti pada kebanyakan konser lainnya. Saya tidak kecewa sama sekali, buat saya menonton Blur secara langsung sudah lebih dari cukup.

 

Lebih dari cukup untuk menjawab semua mimpi-mimpi kecil saya. Mimpi lima belas tahun lalu ketika ingin membeli kaset Blur di pinggiran pasar. Lalu terjawab dua tahun lalu ketika menyaksikan mereka secara langsung. Dalam selang waktu tersebut tentu banyak hal yang telah berubah. Tapi satu yang tidak berubah, Blur tetap menjaga mimpi-mimpi saya.

 

Seperti mimpi ketika menabung untuk membeli albumnya pertama kali. Juga bermimpi membangun keluarga bahagia layaknya Alex.

 

Kelak ketika mimpi itu terwujud satu per-satu, maka saya bakal kembali mendengarkan “The Universal”.

 

Saat itu suara Damon akan berbisik hangat, “Yes, it really, really, really, could happen!”.

 

9 thoughts on “Dua Tahun Setelah

  1. yenni says:

    “Seperti mimpi ketika menabung untuk membeli albumnya pertama kali. Juga bermimpi membangun keluarga bahagia layaknya Alex.”

    Buat saya, kalimat ini yang merangkum isi postingan hari ini. Hehehe. Senang membaca tulisan mas Awwe.

    Like

    1. ardiwilda says:

      hehe terima kasih yenni. kamu sendiri apa sudah menonton langsung band/penyanyi idolamu secara langsung? 🙂

      Like

      1. yenni says:

        hehehe… belum pernah mas Awwe, masih “memeng” buat ngeluarin duitnya. *plak

        Like

  2. Cya says:

    hiks terharuu

    Like

    1. ardiwilda says:

      wah ada mbak cya, waktu itu nonton blur juga gak ya mbak? 🙂

      Like

  3. ryskosusan says:

    Ahahahahaha,, bawa bawa gue luu…
    Setahun berselang thn 2002 (klo gak salah),gw iseng beli green album dan puter haluan jd weezerian..😎
    Ahahahaha..

    Like

    1. ardiwilda says:

      anjir apa kabar lo nyet? lama gak bersua kita 😀

      Like

      1. ryskosusan says:

        Alhamdulillah ttp ganteng gw wil 😎😎,ahahahaha…
        Bersua lahh kitaah yokk..

        Like

  4. ardiwilda says:

    ayolah ko ketemu 🙂

    Like

Leave a reply to Cya Cancel reply