Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Setengah buku dan satu porsi makan besar sudah saya habiskan saat menunggu seorang mahasiswi malam itu. Jarum pendek di jam tangan saya menunjuk angka 10, pelayan restoran mulai merapikan bangku, sayangnya mahasiswi itu belum juga datang. Baru sekitar sepuluh menit kemudian ia hadir dengan terburu-buru.

 

Ia menggenggam botol air mineral ukuran sedang. Wajahnya letih hasil berjibaku dengan kerasnya jalanan ibukota. Setelah saya persilakan duduk ia mengenalkan dirinya. “Maaf telat Mas, saya Fatimah,” katanya sambil mengulurkan tangan. Karena pusat perbelanjaan tempat kami bertemu akan tutup, saya mengajaknya ke kedai Suwe Ora Jamu di daerah Petogogan, Kebayoran Baru.

 

Beberapa hari sebelumnya mahasiswi Paramadina itu mengontak saya. Ia bertanya mengenai Sakti, mantan gitaris Sheila on 7, yang kini mendalami Islam. Ia berharap bisa menjadikan Sakti sebagai salah satu narasumber. Saya memang pernah membuat dokumenter tentang gitaris yang kini bernama Salman Al Jugjawy tersebut, pada tahun 2010. Maka ia meminta mewawancarai saya terlebih dahulu.

 

“Saya tertarik sama isu musik dan agama ini Mas,” ujarnya. Ia pun menyebut media alternatif tempat tulisannya nanti akan berlabuh.

 

Setelah pesanan jamu saya datang, Fatimah memulai wawancara. Tak ada yang spesial dengan teknik wawancaranya. Kalau boleh sedikit mengkritik, pertanyaannya kurang jernih, ia malah terlalu banyak memberi perspektifnya sendiri. Ia tak sesantai sebut saja misalnya Larry King. Tapi saya rasa bukan itu poinnya.

 

Dalam wawancara itu saya justru banyak belajar dari Fatimah. Sedikit orang yang mau mengerjakan liputan mendalam.

 

Yang telaten mendatangi satu narasumber dan narasumber lainnya. Mengulik data, data, dan data.

 

Fatimah mengingatkan pada salah satu broken dreams saya, menjadi penulis. Wawancara dan semangatnya seperti sebuah jeda dari pragmatisme keseharian. Jelas ini klise tapi pada semangat muda semacam Fatimah sebenarnya perspektif baru bisa terus muncul.

 

Setelah beberapa hari wawancara dengan Fatimah saya sadar sudah lama tidak mencari perspektif-perspektif baru. Saya biasanya melakukannya dengan menemui orang baru atau orang yang saya hormati. Salah satu yang sering saya temui jika butuh perspektif segar adalah Mas Aquino, kini bergiat di Koalisi Seni Indonesia.

 

Hari ini saya mengirim pesan singkat pada Aquino, saya menulis hendak bertemu dengannya untuk berkonsultasi tentang beberapa hal. Saya sertakan pula alasannya. Salah satunya adalah sedikit rasa jenuh pada apa yang sedang saya kerjakan. Ia hanya membalas singkat, “Hang on there bro!”

 

Saya ingat medio 2013 kami pertama bertemu di sebuah kedai kopi daerah Setiabudi bersama Retha Dungga (ketika itu aktif di Indo Relawan). Saat itu Aquino banyak memberikan perspektifnya soal gerakan anak muda dan politik. Saya tentu hanya seorang bocah kencur yang mencerna itu baik-baik dan termotivasi untuk mempelajarinya.

 

Aroma kedai kopi di Setiabudi kembali lagi dua tahun kemudian di Suwe Ora Jamu. Wawancara dengan Fatimah yang memunculkannya. Fatimah seperti sketsa saya beberapa tahun lalu. Yang haus akan pengetahuan, yang tak menutup diri pada beragam perspektif.

 

Bagi banyak orang mungkin ada patokan tertentu kapan ia terus bertahan menjadi “muda”. Untuk kemudian selanjutnya menjalani hidup seperti business as usual semata.

 

Menjadi sebuah kewajaran. Tapi orang-orang semacam Aquino dan Fatimah seperti terus mengetuk bahwa kita selamanya bisa menjadi muda.

 

Mereka seperti Umar Kayam yang menolak dikatakan habis ketika tak menulis satu pun cerita selama delapan tahun.

 

Kayam pernah menulis,

 

“Sudah delapan tahun saya tidak menulis cerita. Bagi banyak kawan, mungkin saya sudah pantas untuk dinyatakan sebagai orang mister has been…, seorang yang pernah…Tentu saja saya menyatakan ‘belum’!”

 

Mungkin masing-masing kita memang sekadar melawan menjadi mister has been. Ada yang menyerah, ada yang melawan diam-diam, pun dengan lantang. Pada pertemuan-pertemuan dengan Fatimah dan Aquino kita sadar selalu ada jalan untuk tak menjadi mister has been.

 

2 thoughts on “Mister Has Been

  1. yenni says:

    Bukankah kita semua mister has been ya, Mas? Dan apa pun yang kita lakukan di masa depan atau sekarang, tak akan pernah menyamai kita yang dulu. Yang sudah ya sudah. Untuk yang akan datang, kita buka lembaran baru. Hehehe. Menurutku, sih.
    Suka sekali baca tulisan mas Awwe, apa, ya, reflektif. Rasanya cocok sama anak (yang mengaku) muda seperti saya. 🙂

    Like

    1. ardiwilda says:

      makasih yenni sering berkunjung ke blog *kasih piring cantik*. tapi sesungguhnya yang reflektif hanyalah cermin datar #kriuk

      Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: