Sidekick

Urip mung mampir ngejus

“Kalau enggak banyak asap rokok, Anio bisa ikut malam ini,” ujar Marcel Thee sebelum memainkan ‘Fatamorgana’.

 

Ucapan itu Marcel lontarkan ketika ia bersama Sajama Cut melakukan konser perayaan album terbarunya, Hobgoblin, di 365 Eco Bar Kemang pada Kamis (17/9) lalu.

 

Marcel kemudian mengulurkan dua telapak tangannya ke depan. Ia menggunakannya untuk mengasosiasikan dua hal. Pertama, ia secara berkelakar mengatakan “yang haram-haram”. Itu adalah kelakarnya untuk merujuk pada suasana konser yang tak ramah bagi Anio, anaknya, karena asap rokok dan minuman yang ada. Telapak tangan kedua merujuk ke anaknya. “Jadi enggak cocok ini keduanya,” tukasnya bersikap sebagai seorang ayah.

 

“Fatamorgana” segera mengalun dengan perlahan. “The war you think you need. It’s closer here, indeed.”

 

Lagu itu adalah salah satu nomor di album terbaru Sajama Cut bertitel Hobgoblin. Wajar jika Marcel membuka lagu itu dengan menceritakan anaknya. Video klip “Fatamorgana” besutan Anggun Priambodo memang banyak menampilkan sosok Anio. Di beberapa bagian video klip suara ayah dan anak itu saling bersahutan. Video klip itu ditutup dengan Anio meniup lilin ulang tahun, khas dokumentasi keluarga.

 

 

Saat lagu itu mengalun di Eco Bar, saya mengingat memori setahun lalu.

 

Saat itu Sajama Cut mengadakan gig kecil di kawasan puncak dalam pelatihan Indonesia Mengajar, Marcel bernyanyi di depan anaknya.

 

“Band yang main di angkatan ini Sajama Cut, We,” tulis Mbak Nia, salah satu pegiat pelatihan ketika itu, dalam pesan pendeknya. Saya kemudian meminta izin ikut menonton. Sejak mendengarkan EP Cinema Eye (2008) saya belum pernah melihat penampilan langsung Marcel dkk. Malam itu menjadi kesempatan perdana melihat mereka.

 

Marcel dan para personil Sajama Cut hadir bersama keluarganya malam itu. Sebelum memainkan set pendek mereka berkeliling di dalam halaman vila tempat pelatihan diadakan, tak ada bedanya dengan keluarga biasa.

 

Tempat pentas Sajama Cut malam itu tak terlalu besar, sekitar satu setengah kali ukuran lapangan badminton. Kita bisa melihat setiap ujung ruangan dengan jelas.

 

Di ujung depan ruangan Marcel sedang menjalankan tugas sebagai seorang vokalis, di ujung lainnya Anio sesekali ikut bernyanyi mengikuti ayahnya.

 

Gig di Eco Bar jelas berbeda dengan penampilan Sajama Cut setahun lalu. Eco Bar Lebih riuh, padat, dan Sajama Cut bermain dengan sangat menghibur. Satu yang tak membedakan kedua penampilan tersebut adalah apa yang saya dapat setelah melihat penampilan mereka.

 

Sajama Cut bagi saya menarik justru karena mereka menempatkan kegiatan bermusik sebagai salah satu bagian kehidupannya, bukan satu-satunya.

 

Personil Sajama Cut punya kehidupan lain selain bermusik. Dari seorang manajer bank sampai mencoba bisnis properti, dari fotografer profesional hingga jurnalis coba mereka lakoni. Profesi ini membuat mereka punya perspektif layaknya orang kebanyakan. Mereka bergelut dengan kemacetan yang sama, berperang dengan kehidupan ala masyarakat urban lainnya, Sajama Cut bukan menara babel di tengah pusat-pusat kebudayaan. Mereka hadir dengan wacana yang sama dengan kita.

 

Keadaan itu tergambar ketika Dion (gitaris) dengan lugunya mengatakan pada Marcel, “Ada teman-teman kantor gue dateng juga.” Ketika saya mencoba melihat ke arah teman-teman Dion, mereka seperti orang kantoran biasa yang kerap kita temui di Sudirman saat jam pulang kantor. Mungkin mereka juga datang sekadar mencari hiburan, tanpa terbebani wacana besar, sesederhana itu.

 

Pun ketika Marcel dalam salah satu pengantar sebelum lagu melontarkan guyonan, “Kalau mainin lagu-lagu kayak gini kira-kira bisa hidup enggak nih?”

 

Marcel, Dion, dan personil Sajama Cut lainnya bukan berarti sedang menyepelekan kegiatannya bermusik. Lihat bagaimana mereka secara total bermain malam itu. Di lagu penutup, ya kita semua pasti tahu, “Less Afraid (OST Janji Joni)” penonton menyeruak ke depan, hasilnya mosh pit.

 

Konser Sajama Cut di Eco Bar malam itu seperti penggalan cerita ketika Holden menemui Pak Antolini, Guru Bahasa Inggrisnya, dalam Catcher In The Rye gubahan Salinger.

 

Pak Antolini adalah sedikit orang yang Holden hormati, maka ketika Holden keluar dari sekolah ia hendak menemuinya.

 

Antolini bukan tipikal guru yang murah nasehat. Ia hanya memberi nasehat tentang hal yang layak Holden perjuangkan. Antolini mengatakan, “Mereka yang belum dewasa adalah yang bersedia mati demi memperjuangkan satu hal, sementara mereka yang dewasa justru bersedia hidup dengan rendah hati memperjuangkan hal itu.”

 

Menonton Sajama Cut seperti menemui Pak Antolini dalam kehidupan nyata.

 

Sajama Cut memang tak menjadikan musik sebagai satu-satunya jalan, tapi justru dengan itu mereka menjadikan kegiatan bermusik layaknya eskapisme yang perlu dirayakan dengan serius.

 

Seperti biasa, saya menutup konser malam itu dengan meminta setlist. Set mereka lumayan panjang malam itu. Tapi bukan bagian muka setlist itu yang menarik. Halaman belakang setlist itu membuat saya tersenyum.

 

Di halaman belakang setlist itu terdapat soal matematika untuk anak-anak.

 

Kertas itu mungkin diambil dari salah satu rumah personil atau kru Sajama Cut. Mungkin kertas soal anaknya. Dari manapun sumber kertas itu, satu yang pasti kertas itu seperti bicara ada urusan keseharian bahkan pada konser yang meminjam istilah Marcel, penuh dengan “yang haram-haram”.

 

Melihat setlist itu saya teringat tulisan Chatib Basri untuk Pak Thee Kian Wie, mendiang ayah Marcel, seorang ekonom. Dalam tulisan obituari pendeknya, Chatib menceritakan dirinya sering menerima paper Pak Thee sebelum dikirimkan ke jurnal. Pak Thee menyebut paper itu sebagai “mickey mouse paper”.

 

Chatib merefleksikan mengapa Pak Thee kerap melakukan hal yang menurutnya “terlalu modest” itu. Chatib menulis, “Saya tahu ia ingin mengingatkan, ekonom yang baik dinilai dari tulisannya di refereed journal atau refereed book.”

 

Marcel bersama Sajama Cut seperti sedang membuat “mickey mouse paper” dalam versi yang lain. Sajama Cut bukan musisi penuh waktu. Mereka jarang mendapat sorot lampu kamera.

 

Tapi rasanya kita perlu mulai mengamini apa yang Chatib Basri katakan dalam konteks yang lain, “Musisi yang baik dinilai dari karyanya”.

 

Dan Sajama Cut rasanya telah berhasil menciptakan “mickey mouse paper” versinya, lewat sebuah setlist malam itu. Sebuah setlist dengan pecahan angka matematika di belakangnya.

 

4 thoughts on “Mickey Mouse Paper dari Sajama Cut

  1. andreot says:

    Halo serdadu gigs! Semoga suatu saat kita bisa berangkat menuju medan perang lagi ya 🙂

    Like

    1. ardiwilda says:

      halo almamater ratu gigs, siap kita berjibaku bersama demi selembar setlist #azekkk 🙂

      Liked by 1 person

  2. Ardi says:

    Saya membacanya usai membaca ulasan mengenai konser ERK. Sajama Cut ini semacam antitesis ERK kah? yang membawa narasi-narasi besar?

    Like

    1. ardiwilda says:

      halo ardi, wah namanya sama nih. hehe. dibilang antitesis tidak juga sebenarnya 🙂

      Like

Leave a reply to Ardi Cancel reply