Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Saya ingat bagaimana pertama memerhatikan Teddy. Kami bertemu di sebuah kelas penulisan. Ia punya ciri khas menarik, jauh dari stereotip penulis. Ia selalu mengenakan kemeja. Kemeja rapi khas kantoran, bukan flanel. Saya menganggapnya orang kantoran biasa.

 

Dalam sebuah sesi, Teddy maju membacakan ceritanya. Tentang sebuah penjara di Filipina atau salah satu negara Asia Tenggara, saya lupa tepatnya. Tulisan Teddy penuh dengan akrobat kata. Tipikal tulisan yang sangat tidak saya sukai. Ceritanya kering, terlalu kering. Saya mengkritik tulisan itu. Mungkin sedikit kasar.

 

Kritik toh soal biasa dalam pelatihan menulis kami. Kritik justru jadi makanan pokok ketika seminggu sekali kami bertemu. Saya pun mulai menjalin interaksi dengannya di antara sesi-sesi penulisan.

 

Saat kursus selesai, Teddy salah satu peserta yang bersemangat menulis buku. Kami ingin menulis buku bersama bertema Jakarta. Ironisnya rencana itu hanya jadi sekadar rencana karena kesibukan khas orang Jakarta. Tema itu memakan diri kami sendiri.

 

Saya kemudian tahu Teddy bersama pasangannya, Maesy, membuka sebuah toko buku di Pasar Santa, Post namanya.

 

Beberapa kali ia mengajak saya mengunjungi toko bukunya, sayang saya baru bisa hadir beberapa bulan setelahnya. Saat itu saya ikut dalam sesi penulisan bersama Dea Anugrah (penulis Misa Arwah) dan Armandio (penulis Kamu). Post menyebut sesi seperti itu dengan nama #MenulisDiPasar.

 

Pasca kunjungan itu saya beberapa kali mengunjungi Post. Baik untuk membeli buku atau mengikuti sesi menulis. Kadang ada perbincangan soal buku di antara kunjungan itu.

 

“Ceritanya sederhana sih, jadi ada kakek-kakek harus nyelametin desa dari macan yang mau nyerang desa itu. Kayaknya tipikal cerita yang lo suka,” urai Teddy tentang buku Pak Tua Yang Membaca Kisah Cinta karangan Luis Sepulveda. Berbeda dengan tulisannya tentang penjara Filipina, uraiannya tak kering. Simpatik.

 

Teddy bukan seperti sales buku, ia seorang kawan yang sedang merekomendasikan.

 

Nyatanya buku itu memang apik. Pengantar Ronny Agustinus di buku itu sederhana dan cukup menjelaskan konteks kehadiran buku tersebut. Saya jadi tertarik membaca cerita-cerita Amerika Latin karena buku itu.

 

Teddy pula yang merekomendasikan Na Willa pada saya. Bagi saya itu buku terbaik yang saya baca tahun ini. Teddy punya kontribusi di sana.

 

Awalnya saya ingin menyamakan Post seperti toko buku The Shop Around The Corner milik Kathleen Kelly (Meg Ryan) di film You’ve Got Mail.

 

Sama-sama sederhana, kecil, dan hangat. Pun Meg Ryan dalam film itu juga sering merekomendasikan buku ke pelanggannya.

 

Post dan The Shop Around The Corner mungkin mirip secara karakteristik. Tapi perbedaan keduanya justru yang membuat Post menarik.

 

Meg Ryan dalam You’ve Got Mail seperti karakter yang terlalu ideal untuk hadir di dunia nyata. Ia simpel, pintar, dan memiliki sebuah toko buku kecil. Toko buku itu hadir dalam semangat personal atas kesenangan membaca.

 

Kemudian toko buku itu bernegasi dengan Joe Fox (Tom Hanks). Hanks hadir sebagai sosok yang lain, ia representasi dari sebuah toko buku besar. Toko buku yang mekanis, tersistem, dan tanpa kehangatan. Dalam sebuah scene, Meg Ryan datang ke toko buku besar dan melihat seorang anak kecil yang mencari (atau meminta rekomendasi buku) kepada seorang petugas di toko buku itu. Petugas itu tak tahu, ia bekerja, bukan sedang beraksara. Meg kemudian mendatangi anak itu, menunjukkan buku yang anak itu inginkan.

 

Maka kita seperti melihat dua oposisi, satu penuh kehangatan, satu asing cum berjarak dengan pembaca.

 

Post tak hadir dalam konteks itu. Ia bukan oposisi atas yang besar atau tersistem. Teddy menurut saya justru bagian kecil dari yang tersistem itu.

 

Saya ingat Teddy beberapa kali telat datang ke sesi-sesi penulisan dengan seragam lengkap kantoran. Dengan tatapan lelah orang kantoran. Ia bukan Meg Ryan, ia Tom Hanks.

 

Teddy hanya orang kebanyakan. Ia bukan Meg Ryan yang ideal. Tapi justru di titik itu Post milik Teddy menjadi menarik. Ia punya perspektif orang biasa. Melalui Post ia melihat kesenangan membaca pun berkesenian bukan dalam kacamata khas orang yang memuja line Seno Gumira, “Alangkah mengerikannya menjadi tua…dengan kehidupan seperti mesin.”

 

Bagi saya Post justru dengan tertawa mengatakan, “Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan menghakimi orang tua lainnya yang menjalani hidup seperti mesin.”

 

Lihat misalnya dalam sesi #MenulisDiPasar, sesi ini memang tak bicara ndakik khas diskusi kesenian. Sesi ini hanya arena mengobrol sederhana. Dengan orang-orang yang juga datang dengan hasrat yang biasa, sekadar belajar.

 

Dalam sebuah sesi ada anak SMP yang hadir, sesi lainnya seorang anak SMA datang. Ketika diminta membuat cerita, mereka membuat kisah cinta remaja. Ia nyaman bercerita. Polos. Tanpa tendensi apa-apa. Ia hanya tergila-gila akan cerita.

 

Saya merindukan ruang orang biasa seperti ini. Ruang yang jauh dari hiruk pikuk perdebatan yang terlalu jauh dari kehidupan keseharian. Ruang yang menegaskan pada kita bahwa Meg Ryan dan Tom Hanks bukan oposisi biner.

 

Mendatangi Post seperti mendatangi kepolosan keseharian.

 

Kita yang tak mungkin menjadi Meg Ryan karena tuntutan keseharian, pun tak mungkin menjadi mesin ala Tom Hanks. Kita hidup dalam tarik menarik antar keduanya. Teddy melalui Post seperti medan magnet yang membuat saya sadar akan tarik menarik itu.

 

Saya membuka tulisan ini dengan mengatakan bahwa saya ingat bagaimana pertama memerhatikan Teddy. Saya ingin mengatakan bahwa saya juga ingat terakhir kali melihat Teddy. Ia tidak memakai kemeja kantoran. Ia mengenakan kaos T sederhana. Gayanya santai.

 

Sayangnya, Teddy di mata saya tetaplah Teddy yang berkemeja kantoran. Bedanya, pandangan tentang kemeja Teddy kini tak lagi sama. Kemeja Teddy tak membuat saya berpikir ia orang kantoran biasa. Dan mungkin semua orang yang berkemeja kantoran juga bukan orang kantoran biasa. Ada narasi di dalamnya, ada kisah di dalamnya.

 

Bagi saya kisah itu bernama Post.

 

10 thoughts on “Kemeja Post

  1. andreot says:

    Salah satu tujuan utama ketika keliling Jakarta setelah pulang nanti. Terima kasih Awe.

    Like

    1. ardiwilda says:

      ditunggu kepulangannya ndre 🙂

      Like

  2. didi says:

    Klo ada kelas penulisan yang ‘ndak ndakik2’ dan sederhana kayak rumah makan padang, aku dijak ya we.

    Like

    1. ardiwilda says:

      siap di 🙂

      Like

  3. Kak May says:

    we FX yuk we

    Like

    1. ardiwilda says:

      YONA MANA YONA? :))

      Like

  4. Keren!
    Mas boleh minta kontak?

    Like

    1. ardiwilda says:

      sila kirim surel melalui kolom kontak di blog ini mas, terima kasih 🙂

      Like

  5. Pingback: Lima Terasyik |

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: