Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Saya menengok ke kiri. Kepala ibu sejajar dengan bahu saya. Kini, saya jauh lebih tinggi darinya.

 

Siang itu, saya dan ibu berjalan menuju Stasiun Klender Baru. Ibu hendak pergi ke tokonya di Jatinegara, saya menuju Cikini. Kereta kami searah.

 

Butuh waktu sekitar lima belas menit dari rumah sampai stasiun. Di perjalanan ibu bercerita tentang stok baju di tokonya, langganan yang bertambah, dan banyak berita baik lainnya. Tipikal, ia tak pernah menceritakan kabar buruk.

 

Sampai di stasiun, ia mengajak saya menuju peron bagian belakang. “Nanti biar pas turun dekat sama pintu keluar,” sarannya. Saya tersenyum. Ibu tak berubah, sangat detail.

 

Kereta datang 10 menit kemudian. Sayang, kami tak mendapat tempat duduk. Melewati dua stasiun, seorang anak muda dengan baik hati merelakan bangkunya. Ibu menengok kepada saya, memberi kode agar saya yang duduk. Saya menolak.

 

Ibu kemudian pamit ketika kereta sampai di Stasiun Jatinegara. Benar saja, gerbong yang kami naiki berada tepat di depan pintu keluar.

 

“Jangan malem-malem pulangnya,” pesannya sebelum turun.

 

Di kejauhan ia berjalan perlahan. Tak segesit saat saya kecil dulu.

 

Lama saya tak berjalan, dalam arti sebenarnya, dengan Ibu. Ketika ibu turun di Jatinegara, saya sedikit berpikir. Ia masih memperlakukan saya layaknya anak kecil. Ia tak pernah bisa menerima bahwa kini saya lebih tinggi dua puluh sentimeter darinya.

 

Saya sampai tak bisa menghitung berapa kali ia “kabur” saat saya hendak mengantarnya ke stasiun. Atau saya selalu kalah cepat membeli stok peralatan mandi di rumah.

 

Saya tak pasrah begitu saja. Beberapa kali saya berharap relasi kami bisa sejajar. Sayangnya saya selalu menjadi sub-ordinatnya.

 

Relasi anak laki-laki dan ibu berbeda dengan relasinya dengan bapak.

 

Anak laki-laki dan bapaknya akan selalu sejajar. Ketika relasi itu tak sejajar, maka ada yang salah dengan relasi itu. Tapi apakah mungkin relasi anak laki-laki dan ibunya bisa sejajar?

 

Saat kecil kita pasti jadi sub-ordinatnya, ketika besar maka giliran ibu menjadi sub-ordinat si anak.

 

Ada sebuah cerpen A.S. Laksana yang dekat dengan relasi ini, judulnya “Pada Sebuah Kuil”. Ceritanya mengenai seorang anak laki-laki tunggal dan ibunya. Mereka punya rutinitas sebelum tidur. Si Ibu akan membacakan dongeng untuk anak laki-lakinya. Kebiasaan tersebut membuat anak laki-laki itu punya cita-cita sederhana.

 

“Kalau sudah tua nanti, gantian aku yang akan bercerita untukmu.”

 

Sayang cita-cita si anak laki-laki gagal terwujud, sebabnya sederhana, “Aku bangun tidur pada suatu pagi hari dan ibu tidak bangun selamanya.”

 

Si anak laki-laki gagal memosisikan diri “di atas” ibunya. Ia tetap jadi yang di bawah asuhan.

 

Anak laki-laki yang suka didongengi itu tak sendiri. Narasi menjadi sejajar dengan ibu selalu gagal. Yang ekstrem tentu Sangkuriang. Pun secara tidak sadar kita terus merawat narasi itu, mau tidak mau.

 

Pengeras suara di stasiun membuat saya tersadar dari lanturan pikiran. Kereta sudah tiba di Cikini. Ketika hendak mencari bajaj di depan stasiun, telepon seluler saya berdering.

 

Sebuah pesan masuk. “Udah sampe belum?” di atas pesan itu tertera nama pengirimnya, ibu.

15 thoughts on “Dua Puluh Senti di Atas Bahu

  1. Noel Asnoer says:

    Selalu menjadi pembaca pertama di tulisan – tulisan Maz Awe ini, terutama soal IBU. Libur nanti mau mengunjungi IBU di Pondok Kopi 🙂

    Like

    1. ardiwilda says:

      siap, ditunggu bung noel 🙂

      Like

  2. Rivanlee says:

    manis sekali, mas.

    saya jg merasa hal yang sama. sepertinya, anak seumur hidup menjadi anak-anak di mata ibu

    Like

    1. ardiwilda says:

      betul mas, mau udah segede apa tetep dianggap anak2 sama ibu 😀

      Like

  3. Dita says:

    tapi gerbong belakang bukannya gerwani? eh gerbong khusus wanita maksudnya 😀 *salah fokus*

    Like

    1. ardiwilda says:

      (((GERWANI))) haha enggak plg belakang bgt kok mbak, tapi tergolong gerbong bagian2 belakang 🙂

      Like

  4. Minjam istilah adik saya, “Mamak ki romantis Mas.” :))

    Like

    1. ardiwilda says:

      ah betul bener ini, blog mas bastian asik juga nih dibaca2 *lagi baca2* 😀

      Like

  5. Ibn Habib says:

    Adakah cara membahagiakan ibu yang sudah tidak bangun-bangun lagi? Dan dengan melakukan itu, kita tahu pasti si ibu akan bahagia?

    Like

    1. ardiwilda says:

      yg bisa kita lakukan ya berbuat baik terus dan ngormatin ibu aja mas 🙂

      Liked by 1 person

  6. Akalikal says:

    Saya memergoki sampeyan menonton Pandai Besi di Menteng kemaren, saya ragu sampeyan mengenal saya lantas saya memilih membiarkan sampeyan menikmati musiknya daripada mengganggu,
    Teringat sidekicknya awe, lantas saya buka, dan mendapati postingan yg seperti biasa, menyentuh dengan caranya sendiri, kali ini ibu yg jadi tokohnya, benar saja jika bicara tentang ibu, saya selalu luluh. Karena setinggi apapun kita kita memang perlu selalu merunduk dihadapannya, karena dikata surga ada di telapak kakinya,

    Like

    1. ardiwilda says:

      wah salam kenal mas, lain kali disapa aja, hehe iya kemarin nonton sama pasangan saya di taman menteng 🙂

      Like

  7. penerbitoak says:

    Rasa hangatnya sampai ke hilir hati, euy 😉

    Like

    1. ardiwilda says:

      ini mbak dewi ya? hehe makasih mbak dewi 🙂

      Like

  8. Kinkin says:

    *sedang membayangkan seorang Awe romantis sama Mamaknya* 🙂

    Like

Leave a reply to Ibn Habib Cancel reply