Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Buku Menjejal Jakarta karya Viriya Paramita terbitan Pindai (2015).

Buku Menjejal Jakarta karya Viriya Paramita terbitan Pindai (2015).

 

Namanya sederhana, Slamet. Sayang akhir hidupnya tak sesuai namanya. Slamet si pedagang angkringan itu mati bunuh diri.

 

Goenawan Mohamad (GM) menuliskan kisah Slamet dalam salah satu Catatan Pinggir (Caping). Ia mengurai kematian Slamet dalam konteks yang lebih luas, krisis kedelai.

 

GM menarasikan Slamet hanya bisa membawa pulang Rp 8.000, sementara belanja bahan yang ia perlukan mencapai Rp 100.000. Ia kemudian dengan cerdik menjadikan Slamet sebagai sebuah indikator perubahan besar.

 

“Ia yang lahir di Ciamis dan mati di Pandeglang, tak ditentukan nasibnya di sana, melainkan di kejauhan: oleh para birokrat Departemen Pertanian dan Perdagangan, oleh pasar dunia yang bergejolak, oleh ladang dan lumbung di Amerika, oleh pusat-pusat makanan di Cina, oleh cuaca dan panen di Brazil, oleh struktur agribisnis di Argentina,” tulis GM.

 

Kini, silakan ganti Slamet dengan Syaiful. Tukar Pandeglang dengan Jakarta. Ubah angkringan dengan tahu gejrot. Tak ketinggalan krisis kedelai dengan harga bahan bakar. Bedanya, tak seperti Slamet, Syaiful untungnya selamat.

 

Syaiful akan membawa kita menemui sebuah reportase berjudul “Tahu Gejrot Syaiful” dalam Buku Menjejal Jakarta karya Viriya Paramita.

 

Menjejal Jakarta berisi 24 reportase Viriya tentang Jakarta. Ibukota dalam kacamata mantan wartawan The Geo Times ini bukan sekadar konteks geografis, Jakarta baginya bersinonim dengan geliat warga perkotaan.

 

Membaca buku perdana terbitan Pindai ini membuat saya terus mengingat Slamet. Pasalnya ada dua. Pertama, secara penceritaan Viriya kerap menggunakan teknik yang mirip. Ia beberkan hal-hal mikro untuk kemudian memberi konteks. Kedua, temanya pun banyak membahas “voice of the voiceless”.

 

Dalam “Fanatisme dan Delusi JKT48” ia bercerita soal fenomena penggemar idol group JKT48. Premisnya sederhana: jangan menghakimi bila belum mempelajari. “Maut dan yang Berisik Setelahnya” mengambil tema fenomena pemakaman mewah. Kisahnya soal subjek-subjek marginal di sana, mulai dari satpam sampai pemilik warung makan. Dua puluhan cerita lainnya mengambil tema beragam, dari Jokowi sampai kursus tari, dari Jose Rizal Manua hingga jurnalisme bencana.

 

Viriya mungkin hendak bercerita mengenai, istilah klisenya, sisi lain Jakarta.

 

Tema itu sebenarnya masih menarik, toh ruang untuk tema itu memang tak banyak diisi. Saya hanya ingat beberapa buku yang mencoba menarasikan Jakarta.

 

Marco Kusumawijaya melalui Jakarta, Metropolis Tunggang Langgang pernah mencobanya. Buku Marco seperti tarik menarik antara Jakarta sebagai metropolis dan kampung yang besar. Affair: Obrolan Tentang Jakarta ala Seno Gumira juga menjadi karya klasik dengan tema Jakarta. Seno seperti menjadi pengintip atas kegagapan warga Jakarta. Dalam khasanah fotografi, Erik Prasetya pernah merilis Jakarta, Estetika Banal. Erik menawarkan istilah “banal” untuk menggambarkan geliat warga metropolitan. Bagaimana dengan Menjejal Jakarta?

 

Sebagai sebuah potret Jakarta buku ini jelas penting, sayangnya Jakarta butuh lebih dari sekadar potret.

 

Potret Jakarta ala Viriya adalah potret dua kutub yang begitu tegang. Antara yang kaya dan miskin. Yang berkuasa dan korban. Dan beragam oposisi lainnya.

 

“Maut dan yang Berisik Setelahnya” secara tidak langsung terjebak dalam oposisi macam ini. Paling ekstrem adalah “Sehari Bersama Jokowi” justru jatuh menjadi layaknya advertorial pemimpin politik yang dekat dengan rakyat. Sebabnya Viriya menjadikan Jokowi sebagai anomali dari pemimpin politik lainnya, menjadi yang berbeda di tengah kerumunan.

 

Peluang untuk keluar dari pakem narasi juxta posisi sebenarnya terbuka lebar. Saat membahas mengenai JKT48, Viriya bisa saja berfokus bukan hanya pada fenomenanya, tapi hasrat menggemari Nabila dkk. Mengapa menggemari JKT48 menjadi berbeda? Juga daripada bicara tentang Transjakarta, mengapa Viriya tak membahas hasrat warga Jakarta dalam mengkredit mobil. Mengapa “bermobil” menjadi begitu penting di ibukota?

 

Fokus-fokus cerita Viriya kadang terjebak hanya menjadi sebuah fenomena, bukan indikator dari sesuatu yang lebih besar.

 

Hanya sedikit cerita Viriya yang bisa lepas dalam pakem narasi dikotomi. “Lelucon Pamungkas Sukiu” menurut saya paling berhasil lepas dari itu. Kisah ini sebenarnya menawarkan sebuah ironi. Tentang seorang aktor teater yang sukses di panggung namun punya “masalah” dalam kehidupan pribadi. Menariknya ironi itu justru seperti saling mengisi, bukan menjadi dikotomi. Viriya berhasil menggambarkannya tanpa penghakiman sama sekali.

 

Narasi dalam beberapa cerita buku ini bagi saya terlalu usang untuk menggambarkan Jakarta sekarang.

 

Jakarta bukan lagi seperti ketika Mocthar Lubis menulis Senja di Jakarta. Jakarta hari ini mungkin lebih dekat dengan transaksi dan kompromi daripada ironi.

 

Menjejal Jakarta pada akhirnya mirip sebuah foto headline media massa. Memotret ketegangan tepat pada saat puncaknya, pada saat ironinya. Begitu gamblang. Sayangnya Jakarta tak lagi segamblang itu.

 

Dalam konteks film misalnya, kita punya Selamat Pagi, Malam yang dengan cerdik memotret Jakarta masa kini. Tentang si miskin yang ingin berlagak kaya. Pun si kaya yang berpura-pura nyaman dengan pergaulannya. Dan kita sebagai penonton akan tertawa melihatnya, sekaligus tanpa sadar sedang menghakimi.

 

Menjejal Jakarta benar-benar berjejal, penuh sesak. Penuh sesak dengan kompetisi. Berjejal dengan ironi.

 

Tapi lupa untuk memberi ruang bagi cara warga Jakarta mengakali kehidupan ibukota, untuk bertransaksi dengan ironi itu sendiri.

 

Saat menutup Caping Slamet, GM menulis, “Slamet memang tak menggugat siapa-siapa, tapi ia tetap sebuah kontras.”

 

Slamet menjadi kontras karena ia berada jauh dari Jakarta. Sementara, Syaiful si tukang tahu gejrot dan puluhan tokoh lainnya dalam Menjejal Jakarta berada di pusaran ibukota. Mereka semestinya lebih dari sekadar kontras.

 

Jika Jakarta sekadar kontras mungkin Syaiful akan gantung diri karena harga tahu gejrotnya ikut naik ketika harga cabai melonjak. Nyatanya ia tetap bertahan, memilih bertahan di tengah ironi yang ia alami, tak seperti Slamet. Mungkin itu kenapa Jakarta menjadi berbeda, meski tahu sulit untuk selamat, Syaiful dan kebanyakan kita tetap tinggal di dalamnya.

 

Sayangnya Menjejal Jakarta hanya mengingatkan saya pada kontras Slamet, bukan akal-akalan Syaiful menghadapi kerasnya ibukota.

 

—-

 

Buku Menjejal Jakarta karangan Viriya bisa dipesan dengan mengirim surel ke buku@pindai.org

7 thoughts on “Syaiful, Bukan Slamet

  1. Michel Irarya says:

    Sederhana tapi menarik

    Like

    1. ardiwilda says:

      terima kasih mas, jangan lupa beli bukunya juga mas 🙂

      Like

  2. winnymarlina says:

    ini tulisan sendiri kah kak? kelihatannya menarik

    Like

    1. ardiwilda says:

      halo winny salam kenal. kalau pertanyaan yang dimaksud adalah apakah buku yang saya review hasil tulisan satu orang saja jawabnya iya. yang menulis namanya viriya paramita. iya menarik kok, sila baca saja bukunya, untuk mendapatkannya saya mencantumkan caranya di bawah tulisan saya. terima kasih

      Like

  3. Saya baru membeli bukunya, belum sempat membacanya. 😀

    Like

    1. ardiwilda says:

      segera dibaca dong, buku menarik ini 🙂

      Liked by 1 person

  4. Muhammad Azamuddin Tiffany says:

    Masih separuh perjalanan: “Dari Buku Pindai ke Buku Pindai lainnya.”

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: