Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Buku pwissie Beni Satryo, Pendidikan Jasmani dan Kesunyian.

Buku pwissie Beni Satryo, Pendidikan Jasmani dan Kesunyian.

 

Saya rasa puisi Beni mirip dengan ruang tunggu BRI. Sederhana. Ada harapan dan putus asa khas orang kebanyakan.

 

Kaus anak itu berwarna merah jambu. Gambarnya tugu monas. Bahannya yang kasar menyebabkan beberapa sisi sablonan retak. Lelah menunggu, ia bersandar di pundak ibunya.

 

Si Ibu mengenakan bando plastik putih polos. Rambut panjangnya terikat kurang rapi. Beberapa uban terlihat. Ia menghitung uang lima puluh ribuan dan beberapa lembar lima ribuan. Matanya melihat ke papan nomor antrian, menunduk lagi. Belum gilirannya.

 

Kasir kemudian memanggil nomor urut “209”. Ibu itu beranjak. Anaknya membuntuti. Transaksi tak sampai lima menit. Mereka keluar membawa buku tabungan.

 

Setelah nomor “209”, wanita paruh baya bersandal jepit maju. Disusul seorang ibu yang sedang membuka laman facebook di telepon pintarnya. Tak ketinggalan seorang pensiunan.

 

Di ruang tunggu Bank Rakyat Indonesia (BRI) itulah saya membaca buku pwissie karangan Beni Satryo, Pendidikan Jasmani dan Kesunyian.

 

Seorang teman kerja pernah meledek saya karena menggunakan BRI. Saat akan mengirim uang, ia selalu bertanya, “Enggak ada BCA?” Kini, saya memang hanya punya satu tabungan, BRI. Sebabnya dua: pekerjaan saya yang lama mewajibkan menggunakan BRI; kedua, saya suka sekali dengan suasana ruang tunggu BRI.

 

Ruang tunggu BRI di cabang pinggiran selalu berisi orang-orang dengan tampilan seadanya. Biasanya ibu-ibu berusia 40-50an tahun yang membawa anak, pensiunan, atau guru. Antriannya selalu mengular. Suasananya memang kurang nyaman, tapi itu yang jadi klangenan.

 

Saya senang memerhatikan wajah-wajah setelah transaksi. Melihat mereka menghitung uang yang tak seberapa untuk ditabung. Pun ketika memasukkan beberapa lembar uang setelah transaksi. Di ruang tunggu BRI, uang menjadi harapan. Lembarannya adalah soal melanjutkan kehidupan.

 

Dan puisi Beni adalah ruang tunggu BRI.

 

Puisi Beni mirip dengan ruang tunggu BRI. Sederhana. Ada harapan dan putus asa khas orang kebanyakan.

 

Bukan puisi yang membuat saya tertarik pertama kali dengan tulisan Beni, tapi tugas jurnalistiknya. Dalam sebuah sesi di kursus Pantau, kami ditugaskan menulis deskriptif. Beni datang dengan kisah temannya yang suka menjual hewan. Isinya komikal yakni tantangan dan kebodohan-kebodohan ketika menjual hewan. Saya lupa detail tulisan itu, tapi ia membuat satu kelas tertawa lepas. Mentor kami sampai berharap agar ia fokus membuat tulisan lucu alih-alih jurnalistik.

 

Barulah lewat twitter saya terhubung dengan puisi-puisi Beni. Bensat, begitu nama populernya, tak menyusun puisinya dalam kata-kata rumit dan eksotis.

 

Saya kutip satu puisi favorit saya di buku itu:

 

Di Pantura

 

Air mata dan samudera mesra berkawin.

Berbulan madu di cakrawala.

Menjadi sebutir telur asin.

 

Selain telur asin, ada puisi dengan tema pecel lele, klepon, metro mini, bahkan nota warung makan. Jika ada satu hal paling penting yang ditawarkan puisi Beni, bisa jadi adalah kedekatan.

 

Sapardi dalam sebuah pengantar buku puisinya kurang lebih pernah menulis begini: Seorang penyair harus belajar dari banyak pihak. Ia juga perlu menguping, termasuk menguping pendapat pembacanya. Tujuan semua itu menurut Sapardi adalah tanda bahwa penyair tak hidup sendirian saja di dunia; itulah pula tanda bahwa puisi yang ditulisnya benar-benar ada.

 

Beni mungkin terlalu banyak melihat dan menguping kehidupan orang-orang biasa.

 

Saya rasa beberapa puisi saat ini justru kehilangan hal tersebut. Harapan untuk terlihat begitu “puitis” dan “indah” justru memberi jarak. Keadaannya mirip seperti ruang tunggu BCA. Penuh gincu.

 

Gincu itu yang berhasil Beni hapus. Cara menghapusnya mengingatkan saya dengan pengalaman pertama membaca puisi-puisi Jokpin, penuh kesan main-main dan nakal. Tapi Beni sama sekali tak mengekor Jokpin. Beni memahami Jokpin dengan sepenuhnya. Mungkin baginya cara terbaik mengambil teladan dari Jokpin adalah dengan tak mengekor.

 

Dalam ekstrem lain lihat misalnya buku Perkara Mengirim Senja. Buku kumpulan tulisan itu adalah persembahan bagi Seno Gumira, tapi yang terjadi adalah mengekor massal. Menjadi sangat kitsch.

 

***

Papan antrian di ruang tunggu menampilkan angka “213”. Saya maju. Menabung sekadarnya.

 

Buku Beni saya tenteng. Saya sekali lagi memandang ruang tunggu BRI. Membayangkan Beni membaca puisi di pojokan. Si anak berkaus monas bisa jadi bertanya ke ibunya siapa yang ada di pojokan.

 

Ibunya mungkin akan menjawab enteng, “Penyair yang harus kita bayar.”

 

11 thoughts on “Beni di Ruang Tunggu BRI

  1. veskadinda says:

    Mas AWE!!!!
    Aku maish rutin setiap Senin buka blog ini…
    Berminggu-minggu menunggu tulisan-tulisan berikutnya..
    Finally today…

    Aku hampir gak pernah belajar menulis secara langsung dengan Mas Awe, tapiiii
    patut ku sadari, pencapaian ku menjadi penulis di hari ini adalah hasil dari mengobservasi tulisan-tulisan Mas Awe.

    Makasih yaaahhh Mas Awe…
    Semoga suatu saat ada waktu untuk belajar ‘langsung’.

    Like

    1. ardiwilda says:

      terima kasih. saran saya mending baca buku2 yg lebih bagus aja buat belajar, saya jg masih belajar 🙂

      Like

  2. marsharamadhan says:

    Mas Awe

    tulisan Mu selalu kutunggu saat jengah dikantor.

    banyak inspirasi dari tulisan tulisan Mu.

    Like

    1. ardiwilda says:

      terima kasih kalau ternyata tulisannya berguna hehe

      Like

  3. Saya juga selalu menunggu ada yang baru di atas Sapardi di Cilebut, akhirnya muncul juga yang nais nais owsom ini

    Nais!

    Like

    1. ardiwilda says:

      terima kasih mas. lebih penting menunggu buka puasa daripada tulisan saya mas #kriuk

      Like

  4. horaaaaay akhirnya. tulisan mas asiik, selamat menunaikan ibadah puasa dan maaf lahir batin mas 🙂

    Like

    1. ardiwilda says:

      halo mas, maaf baru balas. sukses ngebandnya mas 😀

      Like

  5. pitor says:

    Keren, Mas Awe. Saya jadi teringat ruang tunggu BRI di Agats yang terik. AC tak ada gunanya dan internet berjalan seperti siput. Orang2 yang gusar, entah Asmat atau pendatang, entah karyawan atau nasabah. Tapi benar, memang ada kedekatan disana. Sesuatu yang, entah bagaimana, tak ada di ruang tunggu bank2 lain.

    Like

    1. ardiwilda says:

      wah sesama nasabah bri hehe, salam kenal mas 🙂

      Like

  6. Muhammad Azamuddin Tiffany says:

    Masih tidak bosan membaca tulisan ini, walau sudah berkali-kali.

    Like

Leave a comment