Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Memahami, mungkin berbeda dengan menggauli. Dalam kasus saya, pasar.

 

Saya baru meletakkan tas di ruang tamu ketika ibu menerima telepon. Ia sempat bingung saat melihat nama penelepon, “Ngopo (kenapa) Lanut telepon?”

 

Lanut adalah pedagang kaki lima di depan toko ibu. Dagangannya payung lipat, mantel, dan segala hal untuk melindungi diri dari hujan. Jarang sekali Lanut menelepon, hanya saat ada urusan penting. Malam itu sangat penting.

 

Nada bicara ibu di telepon menandakan ada yang tidak beres. Saya mematikan televisi agar bisa menerka apa yang terjadi. Bapak mendekat ke ibu. Kurang dari lima menit, ibu menutup teleponnya. Ia hanya mengatakan, “Pasar kebakaran.”

 

Bapak langsung mengambil kunci mobil, kami bertiga berangkat menuju pasar. Kami tergesa, sayang jalanan macet. Di tengah perjalanan, telepon seluler ibu kembali berdering. Sekali lagi Lanut menghubungi. Ia mengabari kebakaran terjadi di Pasar Jatinegara Lantai 2, sementara toko ibu berada di luar. Artinya toko aman.

 

Kami tetap melanjutkan perjalanan untuk melihat kondisi sebenarnya. Malam itu pasar ramai. Ada lebih dari seratus orang mengecek kondisi tokonya masing-masing. Benar kata Lanut, toko aman.

 

Lama saya tak mengunjungi toko ibu, kabar kebakaran mengundang saya kembali mengunjunginya.

 

Seperti biasa, malam itu beberapa pedagang kaki lima di depan toko menginap di pasar. Lapak dagangan mereka tutupi dengan terpal biru. Tali nylon mengikat terpal-terpal itu agar aman.

 

Bukan tanpa alasan mereka menginap, ibu pernah cerita banyak barang dagangan kaki lima yang dicuri. Jas hujan dagangan Lanut pernah raib tak bersisa. Para pedagang kaki lima akhirnya memutuskan menginap di pasar. Seutuhnya jadi orang pasar.

 

Ibu sangat akrab dengan para pedagang tersebut. Ibaratnya ini rumah keduanya. Bersama mereka ibu mengais rezeki. Sebaliknya saya merasa berjarak dengan suasana pasar. Saya paham dan senang dengan kehangatan para pedagang, namun seperti bukan menjadi bagian darinya.

 

Ibu menghidupi saya dari pasar, namun saya tak hidup dalam narasi kehidupan pasar.

 

Perasaan mengunjungi pasar mengingatkan saya pada obrolan dengan seorang teman, Sita. Saya menemuinya untuk mengambil buku Sukra’s Eyes and Other Tales karangan Gunawan Maryanto. Kami bertemu di Ruang Seduh, Kemang.

 

Saat itu bulan puasa, sambil menunggu waktu berbuka, kami mengobrol banyak hal. Mulai dari aktivitas teaternya sampai alasannya datang ke ibukota. Kami kemudian mengobrol soal film Prenjak. Sita punya perspektif menarik soal kekuatan film-film Wregas.

 

Ia berpendapat Wregas menarik karena menghabiskan waktu sekolah di Jogja untuk kemudian kuliah di Jakarta.

 

“Dia bisa memahami Jawa tapi sekaligus memandang Jawa secara berjarak,” kata Sita.

 

Tentu ini berbeda dengan misalnya Umar Kayam yang menggauli Jawa secara intim. Atau Gunawan Maryanto yang berakrobat dengan pengetahuan wayang secara mengagumkan dalam setiap ceritanya. Bagi Sita, Wregas menarik karena memilih mengambil jarak.

 

Memahami, mungkin berbeda dengan menggauli. Dalam kasus saya, pasar. Sita mengajukan kasus lain, Jawa. Pun seorang teman pernah risau ketika ibunya meminta meneruskan bisnis kuliner miliknya. Ia hidup dari sana, tapi tak tahu apakah bisa menghidupi sumber penghidupannya selama ini, kuliner.

 

Keadaannya seperti “antara”, beranjak dari akar namun tak sepenuhnya meninggalkan. Tak seperti pameo “kacang lupa kulit” atau paling ekstrem kisah Malin.

 

Pun, kisah Malin pernah berada di posisi antara.

 

AA Navis pernah menggubah Malin yang lain dalam cerpennya, “Malin Kundang, Ibunya Durhaka”.

 

Cerpen itu bercerita tentang rencana pementasan teater di sebuah kampung saat libur lebaran.

 

Buya Nauman, tetua kampung, meminta pesan moral teater bisa menyadarkan anak-anak muda yang makin liar. Rasidin, sang sutradara, memilih pentas Malin dengan premis yang berbeda. Premisnya kira-kira: Anak tak mungkin durhaka jika tak ada penyebabnya.

 

Ada satu bagian cerpen itu yang menggelitik. Anis, wakil sutradara, melontarkan sebuah pendapat iseng. “Dalam kenyataannya, kita mengutuk ibu bapak kita karena macam-macam sebab dan alasannya bukan? Tapi oleh karena kita hanya mengutuk mereka dalam hati, mereka tidak pernah menjadi batu. Melainkan menjadi hantu, momok yang selalu menakuti kita.”

 

Wakil sutradara itu bisa jadi benar. Akar dan latar belakang kita bisa jadi adalah momok yang selalu mengikuti. Seberapa jauh berlari momok itu akan terus ada. Pasar yang terbakar, narasi Jawa, pun bisnis kuliner. Dan masing-masing kita boleh jadi adalah Malin. Yang sesekali kembali dengan perasaan membatu.

 

2 thoughts on “Lanut Memanggil Malin

  1. Yenni says:

    lama ga nulis mas awe. 🙂
    senang baca tulisannya lagi.

    Like

    1. ardiwilda says:

      terima kasih sudah mampir mbak hehe

      Like

Leave a comment