Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Selalu ada seorang teman yang membuat kita menyesal karena tak pernah mencoba melakukan apa yang kita percaya. Bagi saya teman itu bernama Efan.

 

Sorot lampu panggung hanya mengarah ke tengah. Sinarnya dominan menerangi duo vokalis. Sisi kanan panggung cenderung gelap. Yang terlihat hanya gitar washburn semi hollow berwarna merah. Rambut kribo dan baju hitam membuat sang gitaris semakin tak terlihat. Perlu beberapa detik untuk memastikan di sisi kanan panggung ada sosok yang lama tak saya temui, Efan.

 

Sabtu (15/10), Efan bermain bersama band barunya, Sungai, dalam acara bertajuk Future Folk Volume 2 di Institut Francais Indonesia (IFI), Thamrin, Jakarta. Ini penampilan perdana band dengan formasi enam orang tersebut di ibukota.

 

Saya keliru karena tak menaruh ekspektasi besar pada Sungai sebelum menonton. Sungai bermain dengan sangat memukau. “Ewer-ewer”, sebutan mereka untuk alat musik sejenis drum, perkusi, dan bass betot yang biasa dipakai waria, benar-benar memberi warna tersendiri malam itu. Pengalaman menonton Sungai mirip dengan menyaksikan Trees and The Wild ketika membawakan “Derau dan Kesalahan” dengan formasi lawas.

 

Menjadi semakin menyenangkan karena Efan, seorang teman menjadi bagian dari band itu. Maka sepanjang konser saya tak bisa menampik beberapa kenangan tentang Efan.

 

Saya mengenal Efan sekitar enam tahun lalu. Efan bukan teman yang hadir karena kesamaan tempat nongkrong atau kebodohan-kebodohan yang kami lakukan bersama. Saya mengenal Efan karena kemampuannya di bidang audio.

 

Medio 2010 Efan menangani audio film dokumenter saya, Maaf, Bioskop Tutup. Saya ingat ketika itu ia hanya punya sound card, sejenis alat untuk merekam dan mengatur suara, berukuran besar. Besarnya seukuran permukaan coffee table. Beratnya sekitar 2-3 kg. Efan konsisten menggotongnya ke beberapa lokasi pengambilan gambar. Hanya ada satu momen ia meminta absen. Alasannya sungguh manis, “Aku kudu ngeterke bojoku (Saya perlu mengantar pacar).”

 

Selepas film tersebut, saya selalu meminta Efan untuk mengurus audio ketika mengerjakan beberapa pekerjaan di bidang audio visual. Terakhir, saya mengajaknya dalam pembuatan dokumenter Menonton Penonton pada 2014 silam.

 

Audio seperti satu kata yang terlintas ketika mendengar kata Efan. Di kamarnya ada beberapa gitar, bas, dan alat-alat perekaman. Efan jelas cinta dengan dunianya.

 

Tentu seperti kisah-kisah klise lainnya, banyak hal yang Efan korbankan untuk itu. Kuliahnya belum tuntas. Kisah cintanya ikut kandas.

 

Bagi banyak orang, mungkin Efan seperti tokoh Hari di Hari Untuk Amanda. Ia yang kerap dicibir dengan, “Kamu enggak berubah ya?”.

 

Anggapan itu mungkin ada benarnya. Efan menjadi anomali ketika melihat beberapa teman memilih mengubah arah hidupnya. Memutar balik kariernya. Membuat pilihan yang cenderung aman. Tentu semua pilihan tersebut beralasan dan sah.

 

Efan adalah tipikal teman yang membuat sebal atas apa yang tidak sempat kita coba alih-alih menyesal dengan apa yang saat ini kita jalani.

 

Ada satu fragmen dalam buku Kami Tak Ingin Tumbuh Dewasa yang mengingatkan saya dengan Efan. Buku ini berisi cerita persahabatan Puthut EA (si penulis) dengan kawan-kawannya. Persahabatan mereka diwarnai oleh judi, mabuk, dan keseruan khas masa muda lainnya. Sampai di satu titik, ketika berada di fase akhir perkuliahan, mereka perlu beradaptasi dengan kehidupan “normal”. Ada satu pertanyaan (retorik) yang muncul dari si penulis kepada seorang temannya, “Kamu sudah mulai panik dengan kehidupanmu sendiri ya?”

 

Efan mungkin sedang mengalami fase itu. Pun saya dan mungkin kita pernah mengalaminya. Satu per satu teman Efan pergi dari Jogja. Umurnya menuntut untuk melakukan sesuatu yang “normal”. Dan kemudian pilihan menjadi satu di antara kerumunan teman-teman lain menjadi pilihan yang akan termaafkan untuknya. Sialnya atau untungnya, Efan belum memutuskannya.

 

Selepas pentas, saya mengobrol sebentar dengan Efan. Ia menceritakan perkembangan skripsinya. Mengabarkan beberapa proyek yang sedang ia garap, salah satunya album kedua Sungai. Ia berharap kualitas rekaman album kedua lebih baik dari yang pertama.

 

Sikapnya sedikit kikuk ketika membahas mengenai skripsi. Beberapa kali ia ingin mengubah topik obrolan. Saat membahas mengenai rencana-rencana musiknya, wajahnya kembali merona.

 

Cerita Efan sebenarnya bisa jatuh pada narasi kacamata kuda. Mengajak percaya buta dengan apa yang kita yakini.

 

Nyatanya, kisah Efan bukan cerita tentang renjana.

 

Narasi renjana seperti di pesan-pesan motivasi dan beberapa iklan komersil jelas mengecoh. Ia seperti berada di ruang vakum. Tak ada tuntutan, nihil tanggung jawab, dan alergi dengan kompromi. Efan justru sedang berada dalam semua konteks tersebut.

 

Yang Efan lakukan bisa jadi sekadar berstrategi untuk meneruskan apa yang ia cintai.

 

Ia seperti tokoh Ardi dan Nino dalam Mengejar Matahari. Setelah kehilangan teman-temannya, berkompromi dengan orang tua dan tuntutan lingkungan, mereka bertemu kembali di gang rumah susun. Melakukan kegemarannya di masa kecil, mengejar matahari.

 

Tiap-tiap kita pasti punya matahari masing-masing. Yang mengintip di sela-sela tuntutan keseharian.

 

Sore itu saya melihat Efan sedang berusaha mengejarnya. Di sisi kanan panggung, Efan berusaha mengejar sekuat-kuatnya, semampu yang ia bisa.

 

 

9 thoughts on “Di Sisi Kanan, Efan

  1. Nangis nih bacanya. Kemarin ketemu Efan pas nonton Scaller, dan dia kasih topik awal ngobrol, “Mba, kemaren aku ketemu Mas Awe lho.” -_- ini dia hasilnya

    Like

    1. ardiwilda says:

      aku rung tau nonton scaller #salahfokus

      Like

  2. ajenk says:

    waah, jadi pengen kenalan sama temennya Mas Awe :3

    Like

    1. ardiwilda says:

      nanti katanya desember mau konser lagi di jakarta. nonton aja jeng 🙂

      Like

  3. akhirnya mas awe updet.. 😀

    Like

    1. ardiwilda says:

      hehe terima kasih sudah baca ya 🙂

      Like

  4. ramadhan says:

    tulisan mu selalu jadi sumber inspirasi mas

    Like

    1. ardiwilda says:

      terima kasih udah nyempetin baca ya 🙂

      Like

    2. ardiwilda says:

      terima kasih udah nyempetin baca ya 🙂

      Like

Leave a comment