Jangan-jangan yang kita butuhkan bukan perdebatan tapi sebuah percakapan.
“Koe melu demo ra (Kamu ikut demo)? Nginep omahku nek melu.” Pesan itu saya kirim kepada seorang sahabat pada tanggal 4 November lalu. Ya, pada tanggal itu ada demo besar di Jakarta. Setelah membaca konten-konten yang ia unggah di facebook, saya menyangka ia akan pergi ke Jakarta untuk berunjuk rasa. Nyatanya ia hanya menjawab singkat, “Ora sob, aku ora melu demo.” Dugaan saya keliru.
Bukan satu kali itu saja saya mencermati konten yang ia sebarkan di facebook. Biasanya ia menyebarkan “berita” dari sumber yang miskin disiplin verifikasi. Tak jarang menyudutkan satu kelompok tertentu. Saya sering tak setuju dengan pendapatnya. Tiap-tiap kita bebas berpendapat tapi ketika kontennya bernada ujaran kebencian, tentu itu lain soal.
Beberapa kali saya kecewa dengan pendapatnya. Di lain waktu saya kesal karena ia menyudutkan tokoh agama yang saya hormati. Sialnya saya tak bisa atau tepatnya memilih untuk tak melakukan sesuatu. Memilih diam. Menghindari konflik.
Ketika bertemu teman-teman lain, ternyata banyak juga yang mencemaskan sikap sahabat saya. Mereka banyak bertanya mengenai kabarnya. Bertanya tentang pemikirannya. Nadanya hampir sama, kurang sepakat dengan pendapat-pendapatnya di media sosial. Beberapa memilih untuk memutus pertemanan dengannya di media sosial. Namun, tak ada yang mengonfrontasi pendapatnya. Ternyata bukan saya saja yang memilih diam.
Sekali lagi kami menghindari konflik. Kami tak ingin perdebatan membuat persahabatan selesai begitu saja.
Saya percaya perdebatan seperti ini bukan hanya soal memenangkan argumen, tapi memenangkan hati.
Biar bagaimanapun ia sahabat saya. Bukan sekadar sahabat, medio 2013 kami pernah tinggal bersama selama hampir setengah tahun. Bersama seorang kawan lainnya, kami bertiga tinggal di rumah saya. Kami belum punya pekerjaan tetap. Banting tulang mencari penghasilan.
Saking frustrasinya, kami pernah berpikir memecah tabungan untuk beternak sapi perah. Kami tak punya latar belakang peternakan, tanpa riset mendalam, dan tak punya pengalaman. Jelas ini rencana bodoh. Tapi kebodohan semacam itu menegaskan satu hal, ia teman seperjuangan yang tak mungkin saya lupakan.
Pekerjaan kemudian membuat kami terpisah. Kami tak lagi tinggal serumah. Frekuensi bertemu juga menurun drastis.
Entah kenapa ia banyak berubah. Konten yang ia sebarkan di facebook mulai berbeda. Saya sering kesal membacanya. Lama saya marah karena pandangannya. Untuk kemudian saya menyadari satu hal, mungkin saya dan teman-teman lainnya juga menyumbang perubahan sikapnya. Kami tak hadir ketika ia membutuhkan. Kami lupa menyapanya.
Akhirnya, saya mencoba menyapanya kembali beberapa bulan lalu. Bertanya kabar, tempat tinggalnya saat ini, dan perkembangan terbaru lainnya. Sesekali melontarkan lelucon tentang “berita-berita” yang kerap ia sebarkan. Ia ternyata tetap bisa bercanda. Dalam percakapan personal seperti ini ia tak berubah. Gojek (lawakan) Jawa Timurnya masih kental. Ia tetap sahabat yang dulu saya kenal.
Mungkin kondisinya seperti pengendara di jalan. Ketika berkendara orang akan lebih mudah memaki. Sebabnya sederhana, kaca helm dan kaca mobil membuat kita tak saling menatap. Kita seperti tak sedang bicara dengan sesama. Jalanan berubah menjadi ruang kompetisi, bukan interaksi. Ganti jalanan dengan media sosial, maka kondisinya bisa jadi sama.
Selama ini mungkin saya dan dirinya sedang memakai helm. Saling menghakimi, alih-alih menyapa dengan empati.
Saya teringat percakapan dengan seorang mentor. Ia tumbuh dan besar dalam lingkungan pesantren. Orangtuanya pengurus sebuah pesantren di Jawa Tengah. Suatu ketika saya bertanya mengapa ia bisa menjadi muslim yang taat sekaligus toleran dengan beragam pemikiran. Ia menjawab dengan sebuah analogi sederhana.
Ia mengibaratkan pergi ke sebuah restoran. Ketika kita hanya tahu satu restoran otomatis kita akan terus-terusan makan di sana. Menganggapnya sebagai restoran terbaik. Namun, ketika kita tahu ada restoran lain, kita sadar ada lebih dari satu rasa yang bisa dikonsumsi. Maka kita akan belajar untuk mengecap rasa yang berbeda. Menghormati perbedaan rasa. Menurutnya begitu pula dengan pemikiran.
“Saya banyak ketemu orang, waktu sekolah di luar, orangtua angkat saya yang agamanya beda malah sering ngingetin sholat,” ujarnya sambil tertawa.
Ketika mengingat lagi sahabat saya, terus terang saya takut saya dan teman-teman lain telah menutup “restoran” kami untuknya. Pada akhirnya, sahabat saya hanya bisa mengetuk satu “restoran”. “Restoran” dengan menu pemikiran yang sama. Bisa saja kami berkilah bahwa ia pasti tak suka dengan menu pemikiran kita. Namun, dengan selalu membuka “restoran” kita, setidaknya ia sadar ruang-ruang interaksi lain selalu terbuka untuknya.
Rasanya sudah saatnya membuka lagi “restoran-restoran pemikiran” kita untuk sahabat yang tak satu pemikiran.
“Restoran” itu bisa dibuka dengan sebuah pesan personal singkat. Bertanya apapun. Tentang sapi perah, tentang kebodohan di masa muda, tentang apapun. Bukan politik, bukan isu besar terkini.
Yang kita butuhkan saat ini mungkin cerita-cerita kecil yang mendekatkan, bukan pendapat tentang hal besar yang menjauhkan.
Saat menulis ini, telepon pintar saya berbunyi. Ada satu pesan singkat darinya. Ia bertanya alamat rumah saya. “Arep (mau) ngirim surprise,” tulisnya.
Saya bersyukur setidaknya kali ini ia mengirim kejutan, bukan mengirim “berita” bernada kebencian. Dan semua itu bermula dari sebuah percakapan.
***
Post scriptum:
Untuk sahabat yang saya tulis di sini, saya tahu kamu membaca tulisan ini. Percayalah dalam diam teman-temanmu, ada sebuah doa, doa agar lebih banyak keramahan yang kita munculkan, bukan kemarahan. Peluk erat untuk perbedaan di antara kita.
setuju…
ketimbang debat tentang hot news saat ini ,,mending bahas yang lain,,,
LikeLike
hehe iya, bahas yang santai2 aja 🙂
LikeLike
Bahas amplop aja lebih menarik We..
LikeLike
hahahaha kangen nobar nih gw can 😀
LikeLike