Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Dua individu. Dua tempat. Dengan dua wajah?

 

Setiap mengambil handuk di jemuran lantai atas, saya menyempatkan diri menengok ke bawah. Di depan rumah saya ada sebuah rumah yang dibelah dua. Alasannya sederhana, si empunya rumah memiliki dua anak yang belum punya kediaman, maka ia membagi sudung untuk kedua anaknya. Rumah sisi kiri diisi anak tertua, sementara yang kanan ditempati anak bungsu.

 

Belum lama ini si anak sulung mengalami musibah. Saya lupa detailnya, intinya ia tak bisa lagi berjalan normal. “Waktu itu pernah ditawari operasi, tapi kemungkinannya 60-40, saya enggak berani,” ceritanya suatu kali.

 

Di pagi hari ada pemandangan yang kerap saya lihat ketika mengambil handuk. Si anak sulung duduk di kursi plastik berwarna biru. Beberapa menit kemudian istrinya akan pamit bekerja. Setelah istrinya pergi, ia lantas mengisi waktu dengan membuat kantong dari karton untuk sebuah optik.

 

Kantong untuk kacamata sedikit berbeda dengan kantong biasa. Bagian bawahnya lebih tebal, ada bagian yang dilipat agar kantong bisa ditumpuk dengan rapi, tak ketinggalan diberi ornamen tali kecil di bagian atas untuk memudahkan saat ditenteng.

 

Ketika mengantar pasangan saya membeli kacamata di sebuah mal, saya melihat kantong yang ia produksi.

 

Kantong itu terlihat berbeda. Mungkin suasana mal yang membuatnya tak sama.

 

Ada perasaan aneh yang terlintas saat itu. Ketika mengambil handuk, saya menjadi bagian dari kelompoknya. Warga pinggiran Jakarta. Kini, saya menjadi konsumen produknya. Menjadi sangat berjarak.

 

Saya merasakan ada lubang yang begitu besar antara lingkungan ketika kantong itu diproduksi dan tempat menjualnya.

 

Saya seperti tak paham, saya bagian dari kelompok yang mana.

 

Seorang rekan saya, Retti, pernah bercerita hal yang mirip. Ia bekerja di kawasan Thamrin, kompleks Bank Indonesia. Bersama suaminya ia tinggal di rumah susun (rusun) Tanah Abang. Suasana rusun itu bisa tergambar jelas di film Mengejar Matahari, rusun itulah yang menjadi lokasi film garapan Rudi Soedjarwo tersebut.

 

Ia bercerita sering melewati kawasan Grand Indonesia (GI) saat pulang kantor.

 

“Habis lewat GI terus rumah susun, jomplang kan,” kelakarnya.

 

Beberapa kali ia juga mengaku kaget dengan bagaimana orangtua memperlakukan anak-anaknya di kawasan rusun. Kata kasar bonus makian meluncur begitu saja dari mulut orangtua bila anaknya sulit diatur. “Enggak tega lihat si anak,” keluh Retti.

 

Menurutnya ada dunia yang berbeda ketika ia di kantor pun melewati GI dan saat hidup di rusun. Kebingungan yang mungkin sama dengan apa yang saya rasakan ketika melihat kantong optik di mal. Kebingungan menjadi bagian dari kelompok yang mana.

 

Kondisi yang saya dan Retti alami seperti ironi atas apa yang Marco Kusumawijaya pernah tulis. Marco menulis,

 

“Bukankah kelas menengah Jakarta suka bertandang ke Mal karena di sana mereka bertemu justru dengan orang-orang yang sederajat, bukan yang berbeda-beda dengan mereka?”

 

Saya dan mungkin Retti bingung ketika menemui bahwa kami tak sepenuhnya menjadi bagian dari mal. Bingung mendefinisikan yang “sederajat” dengan kami. Ada bagian-bagian dari keseharian yang jauh dari gemerlap pusat perbelanjaan. Sialnya kami juga tak sepenuhnya menjadi kelompok yang terasing dari kehidupan urban.

 

Bisa jadi kedekatan geografis memang tak lagi sama dengan kedekatan perasaan. Pada yang di depan rumah saya bingung bersikap. Pada yang satu lingkungan, Retti linglung menghadapinya.

 

Aziz Ansari dalam Modern Romance pernah membuat sebuah lelucon mengenai relasi kedekatan fisik dan perasaan. Ia menyitir temuan James Bossard bahwa 1 dari 3 suami-istri di Philadelphia tahun 1932, menikah dengan orang yang jaraknya tak lebih dari lima blok dari tempatnya tinggal.

 

Ia kemudian merespon temuan Bossard itu dengan menulis,

 

“Think about where you grew up as a kid…Could you imagine being married to one of those clowns?”

 

Rasanya Aziz berlebihan melekatkan “clowns” pada orang di sekitar. Tentu orangtua yang berkata kotor di rusun atau si anak sulung depan rumah saya bukan seorang “badut”.

 

Aziz tapi ada benarnya juga, mereka jangan-jangan memang “badut”, sementara saya dan Retti seperti anak kecil yang kikuk melihatnya. Terkadang menangis, sesekali mengintip, yang jelas tak pernah berani menatapnya. Kami takut kalau-kalau di wajah “badut” itu ada wajah kami yang sebenarnya.

 

8 thoughts on “Kantong Optik

  1. usye says:

    selalu keren

    Like

    1. ardiwilda says:

      kang uus bisa aje, makasih kang

      Like

  2. Yenni says:

    haruskah kita selalu menjadi bagian dari sebuah kelompok mas?

    lama ga nulis ya, mas. Hehehe

    Like

    1. ardiwilda says:

      makasih sudah menyempatkan baca ya. wah jawaban pertanyaannya bisa panjang :))

      Liked by 1 person

      1. Yenni says:

        Bisa jadi buat tema tulisan selanjutnya? Wkwkwkwk

        Like

  3. Emeraldine says:

    Keren sekali mas. Tulisanya bisa membuat saya tekesima hihi

    Like

    1. ardiwilda says:

      terima kasih ya

      Like

  4. Muhammad Azamuddin Tiffany says:

    Menunggu novel… 😀

    Like

Leave a comment