Apakah Sintas melulu soal keterbatasan penglihatan? Atau cara pandang (kita) yang terbatas melihatnya seperti itu?
Lampu belum seluruhnya menyala ketika Dimas Ario berlari menuju panggung. Sambil menaiki anak tangga panggung, ia cekatan menjulurkan tangannya. Di depan Dimas, berdiri seorang pria yang mencoba menggapai uluran tangannya. Telapak tangan pria yang mengenakan sweater krem plus topi pet hitam tersebut berhasil menggapai jari-jari Dimas. Bersamaan dengan itu, seorang penonton di depan saya berbisik kepada temannya, “Cakep mainnya Adrian.”
Kejadian itu terjadi pada acara bertajuk “Supersonik 18” beberapa pekan lalu di IFI Jakarta. Sore itu, Adrian Yunan menjadi penampil pembuka untuk Band Sore. Ia membawakan beberapa nomor di album solo perdananya bertitel Sintas.
Ketika Adrian digandeng keluar panggung, saya baru sadar penglihatannya belum (seratus persen) pulih.
Menonton Adrian mengingatkan saya pada tipikal gelar wicara “inspiratif” di televisi. Narasinya biasanya begini, seorang berkebutuhan khusus memiliki keterampilan di bidang tertentu. Kemudian narasi digiring pada kehebatannya di tengah keterbatasan. Tentu tak ada yang salah dengan hal itu, namun ada satu hal yang kerap luput:
Apa pengaruh “kebutuhan khusus” tersebut terhadap hasil karyanya?
Saya rasa konteks itu penting untuk memandang individu tersebut dalam porsi yang ideal sebagai pembuat karya.
Setelah menyaksikan Adrian, mau tak mau saya bertanya, apakah ia menarik karena bisa mencipta di tengah gangguan penglihatan atau lagu-lagunya memang apik tanpa embel-embel lain.
Di tengah kebingungan itu, cakram digital Sintas terus saya putar di kamar. Lagu-lagu Adrian membawa saya pada salah satu pengalaman yang mirip dengannya.
***
Saat itu tahun 1997, saya duduk di kelas 3 SD. Sebuah kecelakaan membuat mata kiri saya tertusuk gunting.
Setelahnya adalah sebuah perjalanan yang melelahkan.
Saya dirawat lebih dari satu bulan di Rumah Sakit Mata Aini, Jakarta. Mata kiri saya sama sekali tak bisa melihat ketika itu. Meminjam istilah Efek Rumah Kaca (ERK), saya hanya menggunakan “Sebelah Mata” untuk melihat. Saya bersyukur operasi mata saya berjalan baik. Kini, mata kiri saya hanya berfungsi layaknya lensa kamera yang tak fokus.
Pengalaman tersebut membuat saya merasakan bahwa ruang rawat rumah sakit mata adalah sebuah tempat yang ganjil. Saya ingat di ruangan saya ada seorang teknisi listrik yang mengalami kecelakaan kerja pada matanya, seorang guru yang akan menjalani operasi retina, dan beberapa pasien yang menunggu giliran operasi.
Fisik kami bugar. Kami masih bisa mengobrol dengan santai. Sayangnya kami tak bisa melihat dengan jelas siapa teman bicara kami.
Suasana menjadi sedikit berbeda ketika malam, saat lampu-lampu dimatikan. Pada jam-jam itu kami biasanya mengobrol dengan orang terdekat. Saya melihat ibu berdoa, ia sesekali membaca buku Yasin kecil. Kadang saya menguping si teknisi listrik yang berbincang dengan istrinya mengenai calon donor mata dari Sri Lanka.
Di titik itu kami sadar bahwa kami tetaplah deretan yang sakit.
Lagu-lagu Adrian adalah gambaran paling pas suasana malam hari di ruang rawat Aini.
***
Yang relevan untuk Adrian mungkin memang bukan pertanyaan apakah lagunya menarik karena dibuat saat sakit atau memang sejatinya apik. Sintas menjadi album yang menyenangkan karena Adrian dengan lancar menceritakan bagaimana pengalamannya sebagai “penyintas” masalah penglihatan dalam memandang dunia sekitarnya.
Misalnya dalam lagu favorit saya di album ini, “Mainan”, Adrian menceritakan dengan kikuk kebodohannya merusak mainan anaknya. Lagu ini tentu sulit muncul jika Adrian menjalani keseharian layaknya ayah yang baru pulang saat anaknya sudah terlelap. Atau lihat ironi dalam salah satu baris lagu “Mikrofon”, “Waktu sehat sakitnya kawan, kunikmati khusyuknya kawan”.
Tengok juga lirik “Ruang Yang Sama”, yang membuat batas antara keluhan dan gugatan menjadi begitu tipis. Adrian menulis, “Karena melihat tak hanya mata, dunia adalah serat yang diraba. Karena mendengar tak hanya telinga, suara adalah gerak yang dirasa.”
Mendengarkan Sintas seperti melihat Adrian yang tetap bisa tertawa namun cemas dalam momen-momen tertentu.
Dalam Sintas, Adrian tak cerewet mengomentari kehidupan di luar, melainkan menengok kembali keadaan dirinya. Ia seperti refleksi atas kebimbangan seorang pasien. Yang berusaha sekaligus pasrah, yang menggugat sekaligus mengeluh.
Saya senang merasakan suasana kebimbangan dalam album Sintas. Melalui kebimbangan itu, Adrian seperti menyentil cerita klise soal inspirasi berkarya dalam keterbatasan.
Yang dibutuhkan jangan-jangan bukanlah menciptakan kehebatan dalam keterbatasan, tapi kesadaran untuk terus memaknai keterbatasan itu sendiri.