Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Anak-anak selalu punya cerita sederhana nan unik. Masalahnya, cara menemukannya tak sesederhana ceritanya.

 

Beberapa waktu lalu saya membantu SabangMerauke (SM) untuk menuliskan cerita-cerita kecil tentang kegiatannya. Secara singkat, SM adalah program pertukaran pelajar antar daerah di Indonesia untuk mendorong semangat toleransi. Tahun ini ada lima belas Adik SabangMerauke (ASM) dengan latar belakang agama, daerah, dan etnis yang beragam. Maka, selama tiga minggu saya pun berinteraksi dan menggali beragam cerita unik dari adik-adik tersebut.

 

Ada satu momen yang menjadi pemicu saya membuat tulisan ini. Saat itu salah seorang relawan bercerita kesulitannya menggali cerita dari anak-anak. “Soalnya aku baru sekali wawancara anak-anak,” ujarnya.

 

Ucapan relawan tersebut sangat beralasan. Seturut pengalaman saya, mewawancarai dan menggali cerita dari anak-anak memang memerlukan pendekatan yang berbeda.

 

Tulisan ini adalah upaya saya untuk mengarsipkan pengalaman mewawancarai anak-anak baik dalam kegiatan SM maupun saat menjadi guru bantu. Tentu langkah-langkah ini jauh dari sempurna, maka saya juga mengajak teman-teman untuk ikut berbagi di kolom komentar jika memiliki pengalaman serupa.

 

Berikut ini beberapa langkah yang saya lakukan saat mewawancarai anak-anak.

 

Menjadi Teman yang Menyenangkan

 

Layaknya seorang teman yang sedang curhat, cerita-cerita penting dan berarti hanya akan ia ceritakan pada teman terdekatnya, bukan orang asing. Pula, dengan anak-anak. Mereka tak akan tiba-tiba menceritakan hal menarik saat sebuah perekam suara ditodongkan ke mulutnya. Mereka akan bercerita ketika nyaman dengan kehadiran kita. Pertanyaannya kemudian, bagaimana agar ia merasa nyaman?

 

Caranya tentu saja dengan menjadi temannya. Ingat, teman terbaik bukan diukur dari nominal atau hadiah yang kita berikan. Merayu anak-anak dengan sebuah hadiah setelah selesai wawancara saya rasa tidak efektif. Teman terbaik akan memberikan sesuatu yang paling mahal, Waktu!

 

Pertama, alokasikan waktu untuk bermain dan mengobrol dengan anak-anak sebelum “sesi wawancara”.

 

Cara paling sederhana adalah dengan makan bareng sambil mengobrol. Mulai obrolan dengan hal-hal yang ia sukai, misalnya tanyakan siapa pemain sepakbola favoritnya atau girl band korea idolanya. Lantas, gali kenapa ia menyukainya. Beri apresiasi kecil saat ia bercerita, contohnya dengan merespon, “Wah bagus juga ya” atau “Aku baru tahu dari kamu lho”. Cobalah menjadi pendengar yang baik, jangan tergoda menceritakan tentang diri kita sendiri jika ia tak bertanya.

 

Kedua, keadaan kikuk biasanya muncul karena anak-anak menganggap kita lebih tua. Coba potong anggapan tersebut dengan menjadikan diri kita sejajar dengannya.

 

Ambil contoh, posisikan mata kita sejajar dengan matanya saat mengobrol. Jika tinggi badannya sejajar dengan saat kita duduk, maka duduklah. Pun, ketika anak ingin mencium tangan coba alihkan dengan mengajak high five.

 

Kejar Fakta, Bukan Sekadar Pendapatnya

 

Beberapa kali saya melihat anak-anak diwawancara di televisi dan jawabannya sangat kering, seperti: “Seru”, “Bagus”, atau “Senang”. Jawaban tersebut biasanya muncul karena mereka dimintai pendapat atas sesuatu yang abstrak. Misalnya, mereka ditanya bagaimana pendapatnya tentang acara x atau kegiatan y, tentu saja jawaban seperti itu yang muncul.

 

Menurut saya, dalam sebuah cerita yang penting adalah fakta yang unik, bukan sekadar pendapat yang menarik. Fakta yang unik atau penting hanya akan muncul lewat pertanyaan yang tepat.

 

Cara simpel untuk menggali fakta adalah dengan bertanya hal-hal yang konkret dan kronologis kepada anak-anak.

 

Misalnya, alih-alih bertanya, bagaimana kesannya saat mengikuti kegiatan x, lebih baik bertanya apa saja yang dilakukannya. Tanya secara kronologis.

 

Contohnya ketika seorang anak muslim baru pertama kali mengunjungi pura. Daripada bertanya, “Bagaimana pengalaman pertama ke pura?” coba tanya, “Apa yang pertama kamu lihat di pura?” Kemudian minta dia menceritakan secara kronologis kegiatannya. Tanyakan hal-hal konkret seperti melihat apa, bertemu dengan siapa, apa yang diobrolkan, dst.

 

Pilih satu kegiatan atau momen paling penting untuk menjadi pijakan utama dalam cerita.  Setelah menemukan kegiatan atau momen yang menarik, ada dua hal yang biasa saya lakukan.

 

Pertama, mintalah sang anak untuk mendeskripsikan secara detail momen tersebut.

 

Caranya yakni dengan bertanya hal konkret seputar momen tersebut, misalnya: apa saja benda yang ada di ruangan tersebut, pakaian apa yang dikenakan oleh orang-orang di tempat itu, atau apakah ada bau tertentu yang ia hirup. Sekali lagi, tanyakan hal-hal yang konkret. Ini penting untuk mendeskripsikan momen tersebut dalam tulisan.

 

Kedua, mengajak anak merefleksikan momen tersebut.

 

Bagi saya ini bagian paling penting dan sulit. Refleksi adalah usaha untuk mendudukkan cerita si anak dalam konteks yang lebih besar.

 

Contohnya begini, pengalaman pertama seorang anak katolik mengunjungi masjid tentu menarik. Tapi mengapa itu menarik bagi dirinya? Apa arti kunjungan tersebut bagi dirinya? Pandangan apa yang berubah setelah kunjungan tersebut?

 

Poin refleksi bukan pada kejadiannya tapi pada konsekuensi-konsekuensi akibat kejadian tersebut.

 

Saya pun masih mencari formula pertanyaan yang pas untuk mengajak anak berefleksi. Namun, pola narasi “Dulu saya kira … tapi ternyata …” sejauh ini cukup membantu dalam membangun narasi.

 

Menggali Informasi dari Orang Terdekatnya

 

Ini klise tapi penting, cari tahu cerita tentang anak yang ingin ditulis dari berbagai sumber. Saat di SM, saya biasa menggali kisah adik-adik dari Kakak SabangMerauke (KSM) atau saat menjadi guru bantu saya kerap bertanya kepada wali kelasnya.

 

Satu hal yang penting adalah jangan langsung mengonfirmasi fakta dari narasumber kepada anak tersebut.

 

Misalnya begini, saya menemukan fakta bahwa pesantren tempat seorang anak belajar juga diajar oleh dua orang frater (calon pastor). Frater tersebut mengajar matematika dan bahasa inggris. Pun, mereka menjadi contoh toleransi di daerah tersebut, sesuatu yang manis menurut saya.

 

Ketika mendapat fakta menarik seperti itu, jangan sekadar mengonfirmasi langsung dengan pertanyaan semacam, “Katanya ada frater yang ngajar di pesantrenmu ya?” lebih baik tanya, “Di pesantren mengambil mata pelajaran apa saja?” lalu perdalam lagi dengan bertanya, “Nama gurunya siapa saja?”. Ia pasti menyebut kedua frater tersebut sebagai gurunya, barulah saat kedua frater itu disebut, gali lagi lebih dalam. Contohnya, “Nama guru matematika sama bahasa inggrisnya kenapa beda sendiri?” lalu lanjutkan dengan pertanyaan konkret seperti sejak kapan mereka mengajar, berapa jarak sekolah kepastoran dengan pesantrennya, apa saja yang mereka lakukan di pesantren selain mengajar, dst.

 

Pertanyaan yang sifatnya mengonfirmasi biasanya bersifat tertutup. Konsekuensinya, jawabannya pun sering kali hanya  “iya” atau “tidak”.

 

Pertanyaan yang sifatnya sekadar mengonfirmasi perlu dihindari karena anak akan berpikir kita sudah tahu fakta itu. Hasilnya, ia merasa tak perlu lagi menceritakan hal tersebut. Sementara, bila itu muncul dari si anak sendiri, ia akan lebih antusias dalam bercerita karena menganggap kita baru tahu informasi tersebut.

 

***

 

Tiga langkah di atas menurut saya adalah pembeda penting saat mewawancarai anak-anak. Saya yakin ada lebih banyak pembeda yang belum saya ketahui.

 

Maka, sekali lagi saya berharap teman-teman juga mau berbagi di kolom komentar jika memiliki pengalaman mewawancarai anak-anak.

 

Saya percaya anak-anak adalah sumber cerita yang sangat kaya. Sayang, kita kerap menggampangkan proses mewawancarai anak-anak dengan hanya bertanya “Bagaimana perasaanmu?” atau “Senang enggak tadi?”. Padahal, kerap kali yang menarik dari anak-anak bukanlah apa yang terucap melainkan apa yang tidak terucap.

 

Bagi saya fungsi mewawancarai anak pada akhirnya menjadi ruang bagi adik-adik kita untuk berani mengatakan apa yang selama ini sulit mereka ucapkan.

 

 

Post scriptum: Tulisan ini sekaligus menjadi edisi perdana tagar #NulasNulis dalam blog saya. Nama tagar ini diambil dari ucapan ibu dan bapak ketika melihat saya menghabiskan banyak waktu menatap layar komputer jinjing di kamar. Tagar ini akan berisi refleksi pengalaman saya dalam proses menulis. Pun, tak menutup kemungkinan berisi wawancara dengan penulis-penulis yang saya senangi.

6 thoughts on “Bagaimana Mewawancarai Anak-anak?

  1. pzti ini pengalaman dr anak sendiri ya mas 😀

    Like

    1. ardiwilda says:

      dari anak kerinci mas lukman #lah

      Like

  2. bitebybite2017 says:

    wah, saya nunggu episode #nulasnulis selanjutnya Mas Awe

    Like

    1. ardiwilda says:

      terima kasih, nanti kalo lagi selo #nulasnulis lagi 🙂

      Like

  3. veskadinda says:

    Mas Aweeeee….
    It’s so helpfulllll for meee…

    Tapi biasanya aku mulai dari cita-cita, mainan kesukaan atau hobi, kegiatan sehari-hari, atau sejenisnya..
    Aku mau share sekalian aah.. tantangan terbesar ku justru soal waktu, gimana dalam waktu sejam dua jam bisa dapat cerita-cerita seorang anak, dibalik dia sebagai seorang beneficary..
    Aku sering juga terjebak dengan (misal): “gimana rasaanya diimunisasi? seneng gak sekarang udah bisa sekolah lagi?….” daaaaan laiiin sebagainyaaaa, padahal aku sendiri udah tahu pasti jawabannya apa.HAHA..
    Teirmakasiiiih Mas Aweee…. Aku jadi dapat ide baruuuuu….

    Buka blog mas awe di setiap senin, gak pernah sia-sia yaa emaangg.HAHAHAHA

    Like

    1. ardiwilda says:

      makasih ya buat tips2 tambahannya 🙂

      Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: