Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Apa yang lebih penting dari mencapai sesuatu yang ideal? Bagi saya, memahami apa yang ideal bagi orang lain.

 

Empat orang yang duduk di depan saya langsung melantangkan suaranya ketika sate saya datang. Mereka protes kepada salah seorang tukang sate karena pesanannya belum datang. Sementara, saya yang datang belakangan sudah mendapatkannya. Saya berusaha menawarkan sate saya. Sayang, pesanan kami berbeda.

 

Beberapa detik kemudian suasana kikuk tak bisa dihindari. Saya hanya bisa bingung karena tak mengerti musabab awalnya. Si pelayan beberapa kali meminta maaf karena keluputannya. Sialnya, permintaan maafnya tak mempan. Keempat orang di depan saya memilih meninggalkan warung sate kaki lima tersebut.

 

Orang terakhir mendengus kesal sambil mengomel, “Makanya kalau orang pesan dicatat, jangan diinget doang!”

 

Si tukang sate cuma bisa menundukkan kepalanya. Ia kembali ke rekannya yang sedang membakar sate. Asap sate mengebul tinggi malam itu. Kebulannya mengantarkan saya ke sebuah momen yang mirip dengan malam itu.

 

Kejadiannya beberapa bulan lalu, saya sedang membeli sate ayam, lokasinya saja yang berbeda. Saya menunggu di pojokan warung. Setelah lelah menunggu saya baru sadar ternyata beberapa orang menyelak antrian. Ekspresi saya mirip seperti orang yang kesal di malam itu. Menganggap sistem antrian pembeli warung tersebut kacau.

 

Kini, malam ketika saya melihat empat orang meninggalkan warung sate, ada satu hal yang terlintas:

 

Mana ada warung sate kaki lima yang mencatat pesanan pelanggannya.

 

Terlalu gegabah rasanya jika menilai sistem pencatatan adalah yang paling ideal bagi tukang sate. Ia pasti juga pernah berpikir untuk mencoba mencatat. Toh, ia akhirnya memilih metode mengingat karena alasan yang agaknya luput dari perhatian kita. Yang ideal untuk saya dan empat orang tersebut jelas belum tentu ideal untuk mas penjual sate.

 

Tentang dihantam oleh apa “yang ideal” bukan hanya datang dari tukang sate. Pula, ibu ikut menghantamnya.

 

Ceritanya bermula ketika saya membantu ibu beberapa bulan ke belakang. Saya membuatkan instagram untuk toko ibu. Fungsinya menjadi gerai digital untuk usaha kecilnya. Alasan utamanya sederhana, pembeli di toko fisik hanya berasal dari orang-orang yang lokasinya dekat. Membuka toko daring akan melebarkan aspek geografis tersebut. Yang jauh juga bisa membeli dagangan ibu.

 

Ndilalah yang terjadi malah sesuatu yang tidak saya duga. Suatu hari ibu bercerita ke saya tentang calon pembelinya dari jauh. “Ono uwong soko Sulawesi ameh tuku selop, lha ongkos kirim e luih larang mbangane rego selop e (Ada orang dari Sulawesi mau membeli selop [sepatu pria di pernikahan Jawa], ongkos kirimnya pasti lebih mahal dari harga selopnya),” kisahnya.

 

Sebenarnya ongkos kirim (ongkir) bukan tanggung jawab ibu. Si calon pembeli tak masalah dengan ongkir yang mahal. Yang ibu lakukan malah meminta si calon pembeli untuk belanja selop di gerai Bata yang dekat dengan lokasinya. Alhasil, satu calon pembeli hilang.

 

Bukan sekali itu saja ibu melakukannya. Sekiranya ongkir terlalu mahal, ibu malah meminta agar tidak usah membeli di tempatnya. Ibu punya alasan untuk itu,

 

Mesakke tho le nek kelarangan (Kasihan orangnya kalau mengeluarkan banyak biaya).”

 

Dalam konteks penjualan, logika ibu tentu aneh. Ia malah memikirkan ongkos kirim yang bukan tanggung jawabnya.

 

Setelah berpikir lagi, saya malah curiga jangan-jangan yang aneh justru menghakimi logika ibu atau memaki bodohnya tukang sate karena tak mencatat pesanan.

 

Ada satu esai Umar Kayam berjudul “Dunia Sekolah dan Dunia Rumah” yang mengingatkan saya dengan tukang sate dan ibu. Pembuka esainya begini,

 

“Berapa jauh jarak antara sekolah anak-anak dengan rumah kita? Pendek dan jauh. Pendek mungkin kilometernya. Tetapi jauh dunianya.”

 

Dengan masygul, Kayam bercerita terdapat jurang besar antara rumah dan sekolah. Ia mengistilahkan jurang itu dengan dunia anak-anak tak lagi cuma satu. Ada satu paragraf yang saya suka dari esai itu.

 

“Di sekolah apa yang dia temui? Buku-buku yang asing. Buku bacaan yang berisi cerita-cerita yang pernah dijumpai bapak dan paman-pamannya tapi sudah tidak mungkin lagi atau kadang-kadang saja dia jumpai. Berapa kali seminggu anak-anak kita pergi naik delman umpamanya?”

 

Membaca esai itu rasanya mak tratap. Penilaian saya atas logika ibu atau meminta tukang sate mencatat pesanan adalah hasil dari, meminjam istilah Pak Kayam, jarak rumah dan sekolah.

 

Tentu sekolah bisa beralih rupa dengan banyak hal mulai dari akses pengetahuan sampai pergaulan. Semua aspek itu kemudian membentuk apa yang menurut saya ideal. Sialnya, saya kerap menaruh ukuran ideal itu pada orang lain. Luput memikirkan apa yang ideal bagi ibu atau si pedagang sate. Ia tanda dunia yang terlalu jauh antara saya dan ibu, pun tukang sate.

 

Karena rasa sate terakhir saya bercampur dengan kemarahan pembeli. Akhirnya tadi malam saya kembali makan sate. Ada sekitar enam pembeli dengan pesanan yang berbeda-beda. Sate ayam pakai lontong, sate kambing tanpa lontong, sate telur campur ayam dengan sambal dipisah, dan saya tak ingat lagi pesanan lainnya. Penjual satenya sama sekali tak mencatat.

 

Untungnya tadi malam tak ada yang mengomel. Tak ada yang memaki daya ingat si tukang sate.

 

2 thoughts on “Mengingat Sate

  1. Bendrat says:

    Tulisan-tulisan sampeyan selalu menarik, Mas.

    Like

    1. ardiwilda says:

      makasih apresiasinya, mas 🙂

      Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: