Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Maria masih bingung kenapa Pak Gunarso memanggilnya ke ruang guru. Biasanya, teman-temannya ke ruangan tersebut saat dihukum atau mau ikut kompetisi olahraga. Maria tak melakukan kesalahan apapun. Ia juga tak berbakat main raket dan tak terampil main kasti. Maka, ia hanya bisa menebak-nebak alasan Guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) tersebut mengajaknya ke ruang guru.

 

Lima menit kemudian, Pak Gunarso datang membawa dua cangkir teh. Satu untuk dirinya, satu untuk Maria. Pak Gunarso seperti tahu kebingungan muridnya, sambil duduk ia mengatakan, “Bapak mau minta tolong.”

 

Pak Gunarso memulai omongannya dengan mengingatkan bahwa ujian akhir tinggal seminggu lagi. Ujian ini akan menentukan nasib murid-murid. Kalau hasilnya bagus, murid-murid akan masuk ke SMP favorit.

 

“Bapak bangga punya murid seperti Maria, selalu juara kelas. Sekarang saatnya kamu membantu teman-teman saat ujian,” kata Pak Gunarso.

 

Maria mengerutkan dahinya, ia tak mengerti. Pak Gunarso memahami mimik tersebut, ia melanjutkan, “Saat ujian nanti Maria perlu menolong teman-teman yang tak sepintar Maria. Kalau ada yang tanya jawaban, tolong Maria kasih tahu jawabannya. Maria juga boleh tanya ke teman kalau tidak tahu. Itu kan namanya gotong royong.”

 

Pak Gunarso menjelaskan cara gotong royong dalam ujian yang bentuknya pilihan ganda. Mengelus alis kalau jawabannya A, memegang bibir untuk B, menggaruk telinga kalau C, menggosok dagu untuk D. “Gampang kan?”

 

Meski tak gampang, Maria memilih menganggukkan kepala.

 

Ia justru semakin bingung, setahu Maria itu namanya mencontek tapi gurunya bilang gotong royong.

 

Namun, ia tak berani bertanya. Ia memilih diam.

 

Pak Gunarso bilang bila Maria melakukan itu, ia bisa sekelas lagi dengan teman-temannya di SMP negeri favorit. “Kamu juga bisa jadi pahlawan sekolah, SD kita akan jadi bagus karena murid-muridnya masuk SMP favorit,” tambah Pak Gunarso.

 

Maria kembali menganggukkan kepala karena tak tahu harus mengatakan apa.

 

Saat di rumah, ia tak menceritakan pertemuannya dengan Pak Gunarso kepada ibu. Ia bingung bagaimana menceritakannya, toh ibu juga hanya bertanya nilai yang Maria dapatkan di sekolah.

 

Dapat 100 ibu senang, dapat jelek ibu berang.

 

Setelah itu ibu akan terus mengingatkan untuk belajar dan belajar, “Maria, belajar biar bisa masuk SMP negeri, SMP swasta bayarannya mahal.”

 

Bukan hanya ibu yang berkata demikian, Ibunya Parmin juga kerap memarahi Parmin, teman sekelas Maria. Saat melewati rumah Parmin sepulang mengaji, omelan ibunya Parmin selalu terdengar. “Udah magrib masih main bola mulu, kalau enggak masuk SMP negeri, kagak gue sekolahin lagi lo!”

 

Mendengar semua itu yang bisa Maria lakukan hanya belajar dan belajar. Pasal-pasal UUD sudah ia hafal, rumus persegi panjang ia ingat di luar kepala, dan deretan planet tata surya bisa ia dendangkan. Maria siap menghadapi ujian.

 

Ketika hari ujian tiba Maria disambut Pak Gunarso di gerbang sekolah. Maria mengira Pak Gunarso ada di gerbang karena hari ini ujian PKn, mata pelajaran yang diampu gurunya tersebut.

 

Maria baru tahu dugaannya salah saat Pak Gunarso menepuk pundaknya sambil berkata, “Maria, jangan lupa gotong royong dengan teman-temannya.”

 

Saat ujian teman-teman Maria betul-betul mengajaknya bergotong royong. Taufiq meminta jawaban nomor 12, Ismail bertanya jawaban nomor 23, Mei menagih jawaban nomor 25, dan Karta memohon untuk melihat lembar jawaban Maria. Maria memilih berpura-pura tidak tahu jawabannya. Maria terus berpura-pura sampai waktu ujian tinggal hitungan menit.

 

Teman-temannya marah, Pak Gunarso yang berada di luar ruangan gelisah.

 

Lima menit sebelum ujian berakhir, Parmin memanggil Maria. Parmin tampak gelisah. Wajahnya berkeringat seperti saat main bola kala magrib. Dengan suara amat pelan, Parmin bertanya ke Maria, “Nomor 3 apa?”

 

Maria menggelengkan kepala. Parmin membalasnya dengan mengatupkan kedua telapak tangannya, memohon dengan sangat. Seketika Maria mengingat omelan ibu Parmin. Yang ada di kepalanya adalah Parmin yang gagal ke SMP favorit dan tak lagi sekolah.

 

Di luar kelas, melalui sela-sela pintu Pak Gunarso menatap Maria. Mulutnya bergumam, “Tolong Parmin!”

 

Maria menyerah, ia membaca soal nomor 3.

 

“Mematuhi perintah guru merupakan tindakan?”

 

A. Terpuji

B. Tercela

 

Maria tak tuntas membaca pilihan jawaban nomor 3. Ia memilih langsung menatap Parmin, sekali lagi menggelengkan kepala. Kali ini Maria benar-benar tak tahu jawabannya.

 

8 thoughts on “Pilihan Ganda

  1. Waaa mas a.w ini baguss.sehat selalu ya mas.

    Like

    1. ardiwilda says:

      makasih mas, sehat selalu juga buat mas 🙂

      Like

  2. mas bro says:

    Potret pendidikan saat ini. Kalau ada murid yang nilainya buruk, atau bahkan gak lulus UN, Kepala Sekolah malu, bisa dimutasi. Kepala Dinas Pendidikan juga bakalan kena marah Kepala Daerah.

    Akhirnya ya gitu deh

    Like

    1. ardiwilda says:

      hehe semoga sekarang sudah tidak ada yg begini2 ya mas. salam kenal 🙂

      Liked by 1 person

  3. Nadia says:

    Terusin We nulis cerpennya, simple, bagus.

    Like

    1. ardiwilda says:

      makasih kak nad, kapan kita bersua ini?

      Like

      1. Nadia says:

        Senin malem selo nggak, We? Di Selatan2 aja tapi

        Like

      2. ardiwilda says:

        watsap wae kak nad

        Like

Leave a comment