Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Akan selalu ada seorang dewasa yang mengajari kita cara melepas egoisme masa muda, bagi saya orang itu adalah Mas Philips.

 

Malam itu, saya baru pulang kantor ketika telepon seluler saya bergetar. Saya tak mengangkatnya karena sedang membonceng ojek daring. Beberapa menit kemudian sebuah pesan masuk, “Telepon gue kenapa kagak diangkat?”

 

Saya baca nama pengirim pesannya: Mas Philips.

 

Saya kira ia ingin menyampaikan pesan teramat penting. Nyatanya, ia hanya mengabarkan akan membuat situs baru bernama: Graying Hipsters. Semacam situs “tembang kenangan” Jakartabeat.net. Ia mengajak saya dan beberapa teman untuk kembali menulis, meminjam istilahnya: “Tulisan yang santai-santai aja.”

 

Telepon itu membuat saya bernostalgia dengan kejadian beberapa tahun lalu. Tahun ketika saya beranjak dewasa. Tahun ketika saya banyak berinteraksi dengannya.

 

Saya mengingat Mas Philips sebagai mentor yang senang mengulang-ulang cerita.

 

Mulai dari Tragedi Semanggi, kekagumannya pada sosok Munir, sampai kebodohan khas mahasiswa muda. Di antara banyak kisahnya, ada satu yang saya suka.

 

Cerita itu berhulu pada pembredelan Tempo. Ia tak menjadi aktor utama di peristiwa itu. Hanya jadi penonton. Namun, cara pandang uniknya atas peristiwa itu mengajarkan saya banyak hal.

 

Ia selalu membuka cerita itu dengan kalimat yang sama. “Zaman Tempo dibredel kan gue masih mahasiswa tuh, nah gue suka ikut diskusi-diskusinya.”

 

Dalam diskusi-diskusi itu ia menemukan fakta menarik. Menurut penglihatannya, orang-orang yang datang dan menonton diskusi itu selalu sama. Itu-itu saja.

 

Orang-orang yang menurutnya sudah paham dengan duduk permasalahannya. Plus, punya perspektif yang cenderung sama melihat masalah itu.

 

Secara berkelakar ia mengatakan, “Kayak dakwah ke orang beriman.”

 

Kelakar itu tentu tak seratus persen benar. Banyak celah untuk mengkritiknya. Namun, cerita itu menjadi menarik karena konteksnya.

 

Konteks cerita itu terjadi ketika saya dan teman-teman membantu sebuah kampanye politik beberapa tahun lalu. Frase “Berdakwah ke orang beriman” adalah sentilannya untuk saya dan teman-teman yang hanya senang mendengarkan pihak yang sama.

 

Kami tak mau memahami bagaimana cara pandang orang-orang yang berseberangan.

 

Padahal menurutnya cara pandang orang yang berbeda bisa jadi insight menarik tentang banyak hal. Mulai dari evaluasi sampai bahan menyusun strategi.

 

Setelah berjarak beberapa tahun dengan peristiwa itu, saya menyadari kenapa ia selalu mengulang istilah: “Berdakwah ke orang beriman.” Ia mengulang-ulang itu bukan hanya untuk kepentingan elektoral.

 

Mas Philips melatih saya dan teman-teman untuk memahami, bukan menghakimi yang berseberangan dengan kami.

 

Darinya saya belajar, pertanyaan, “Mengapa seseorang berpikiran berbeda dengan kita?” lebih penting dari pernyataan, “Pikiran orang itu salah.”

 

Kini, ketika opini kerap terbagi hitam dan putih saya merindukan kelakarnya.

 

Untungnya, Mas Philips tak selamanya berkelakar. Kadang ia sangat tegas. Bahkan kepada orang yang sangat dekat dengannya. Ia kerap mengkritik orang yang kami dukung.

 

Suatu ketika, saya pernah menyampaikan kritik seorang teman mengenai orang yang kami dukung melalui Mas Philips. Ia tak defensif, ia menganggap kritik itu masuk akal. Ia segera mengajak saya menyampaikan kritik itu. Esoknya ada ralat dan perbaikan.

 

”Trust” tak sama dengan taklid buta. Trust berarti menaruh kepercayaan dengan membuka ruang kritik yang sehat.

 

Itu artinya dekat dengan orang yang mengemban amanah publik berarti menjadi corong suara masyarakat, bukan malah jadi kepanjangan mulut tokoh tersebut ke publik. Secara tak langsung, saya belajar itu dari Mas Philips.

 

Malam itu, tepat saat ia menutup telepon pasca mengajak menulis untuk Graying Hipster, saya tiba-tiba terkenang sebuah kelakarnya. Kelakar tentang perbedaan ilmuwan politik dan antropologi.

 

“Ilmuwan antropologi itu makin dia terjun ke lapangan, makin cinta dia sama bidangnya. Ilmuwan politik kebalikannya, makin dia terjun ke lapangan makin pusing kepalanya.”

 

Kelakar itu kembali terlintas karena lama sekali saya tak beririsan dengannya di urusan politik. Pun, saya memang tak lagi beririsan dengan dunia tersebut. Saya pergi jauh dari sana. Bahkan cenderung membenci dunia itu.

 

Satu hal yang saya syukuri, saya bersyukur bertemu Mas Philips di tahun-tahun tersebut. Ia mengajari saya melampaui urusan elektoral.

 

Mas Philips tak sekadar mengajari cara memenangkan kompetisi, padanya saya justru belajar bagaimana mengalahkan ego diri sendiri.

 

2 thoughts on “Kelakar Mas Philips

  1. Heditia says:

    menjadi dewasa memang tidak mudah ya mas. buka telinga, buka mata dan hati. dengar sana, dengar sini, pendapat ini, pendapat itu, menghargai yang ini dan itu. Semoga kita selalu punya orang yang selalu membantu kita untuk menjadi dewasa. #lahCurhat

    Like

    1. ardiwilda says:

      hehe amin mbak 🙂

      Like

Leave a comment